Lindawati Lumpena, Perempuan yang Belajar dari Keragaman untuk Perdamaian

Ayah Lindawati Lumpena berasal dari Sunda sedangkan ibunya darah keturunan Tionghoa. Keduanya dipertemukan oleh cinta. Begitu juga dengan sang buah hati, yang akhirnya menjadi sosok yang senang berbagi kasih sayang cinta damai. 

Sebagai anak yang lahir dari kedua orang tua yang berbeda etnis dan agama tidak lantas membuat Linda menjadi sosok yang memiliki hidup berantakan, justru ia banyak mengambil hikmah dari perbedaan tersebut. 

Lindawati Lumpena, Perempuan yang Belajar dari Keragaman untuk Perdamaian

Hal itu berawal dari kisah cinta kedua orang tuanya yang tidak direstui karena perbedaan agama dan suku, Sunda-Tionghoa. Orang tua dari sang ibu enggan merestui hubungan anaknya namun perlahan mereka akhirnya bisa bersatu. 

Lalu mereka menikah melalui tantangan yang tidak mudah. Jika ujian tersebut diberikan kepada orang yang tidak sabar maka ia akan segera mencari penggantinya.

Dari peristiwa itu, Linda berpikir kenapa orang-orang Indonesia sulit menerima perbedaan, keragaman atau warna-warni identitas yang melekat sejak mereka lahir. 

Padahal jika hal tersebut dilakukan akan memberikan dampak yang luar biasa untuk keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara yang aman, damai, dan sejahtera sebagaimana dicita-citakan Undang Undang Dasar 1945. 

Hal itu yang menyebabkan perempuan berdarah Sunda-Tionghoa itu bergabung dengan salah satu organisasi yang konsentrasi di bidang perdamaian yaitu, Peace Generation Indonesia. 

Di organisasi tersebut Linda bekerja bersama untuk menyebarkan dan menerapkan nilai-nilai perdamaian, khususnya kepada kawula muda. 

Ia ingin anak-anak muda sadar akan keragaman yang ada di Indonesia sehingga tidak menimbulkan radikalisme seperti yang selama ini terjadi. Salah satu contoh sederhananya adalah kasus yang terjadi kepada kedua orang tuanya sebelum menikah.

Untuk hal ini, Linda bersama kawan-kawan lainnya menyambangi sekolah-sekolah untuk sebuah gerakan nyata perdamaian.

Namun, saat pertama kali ia datang ke beberapa sekolah untuk memperkenalkan dan memberikan pemahaman terkait hal tersebut, ia justru sempat mendapatkan pandangan negatif dan skeptis.

Orang-orang di sekolah tersebut menggap yang ia lakukan merupakan bentuk upaya Kristenisasi, penyebaran paham radikalisme, dan lain sebagainya. 

Namun ia tidak patah semangat mendapatkan tantangan tersebut. Ia tetap bergerak mendatangi sekolah-sekolah demi memberikan pemahaman kepada seluruh siswa bahwa keragaman itu sungguh merupakan anugerah yang mesti disyukuri. Artinya, tidak untuk saling menghakimi satu sama lain sehingga di kemudian hari menimbulkan pertengkaran yang tidak diinginkan. 

Hari terus berjalan. Ia bersama teman-teman lainnya terus melakukan evaluasi terkait metode yang mereka gunakan. Akhirnya mereka berinisiatif untuk membuat sebuah permainan yang diberi nama, board game. 

Dari game tersebut mereka secara tidak langsung diajarkan bagaimana cara menerima perbedaan satu sama lain. Mereka membagi para siswa ke dalam beberapa kelompok yang kemudian mereka saling bertanya seperti, “Apa yang kamu rasakan hari ini?”

Linda merasa senang berada dalam organisasi tersebut. Ia merasa hidupnya lebih bermakna karena bisa memberikan manfaat kepada sesama, khususnya anak-anak muda yang lebih sering dianggap sebagai pemberontak atau pembuat “Onar” padahal mereka memiliki potensi besar untuk membawa perubahan.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top