“Anak-anak bodoh atau tidak mengerti itu tergantung ibunya, jika ibunya bodoh anaknya juga bodoh.”
Itulah kalimat yang sering dilontarkan Anton, bukan nama sebenarnya, kepada Atik, istrinya. Pernyataan itu tidak hanya menyakitkan, tetapi juga menegaskan beban yang tidak adil dan ditimpakan kepada perempuan. Atik adalah ibu rumah tangga yang sebelumnya menjadi guru PAUD. Ia mengundurkan diri sebagai guru atas paksaan suaminya. Sedangkan Anton adalah seorang suami yang memilih merantau ke Kalimantan untuk bekerja. Dalam waktu satu tahun, ia kadang tidak pulang, kadang pulang sekali, dan maksimal 3 kali saja. Ketidakhadiran ini membuat Atik harus memikul tanggung jawab penuh atas 3 (tiga) anak mereka yang masih berusia kurang dari 10 tahun, di tengah tekanan lingkungan yang memiliki pandangan konservatif ekstrem.

Atik dan suami tinggal di salah satu desa di wilayah Boyolali, Jawa Tengah yang didominasi oleh simbol-simbol agama tertentu, seperti ‘jilbab besar dan bercadar,’ ‘celana cingkrang’, hingga pandangan bahwa ‘istri yang mau dipoligami hadiahnya surga’. Anton dan keluarganya merupakan pengikut organisasi keagamaan Salafi, sedangkan istri dan keluarganya mempraktikkan amaliah Nahdlatul Ulama (NU). Perbedaan ini kerap menjadi sumber konflik dalam rumah tangga mereka.
Atik sebenarnya merupakan satu-satunya guru yang memiliki pandangan toleransi dalam beragama dan secara tidak langsung selalu berupaya mempraktikkan kesetaraan gender. Ia menganggap bahwa ranah domestik bukanlah kodrat perempuan semata. Namun, suami dan lingkungannya memandang sebaliknya
“Saya jualan baju online saja tidak diizinkan, harus di rumah cukup mengurus anak. Padahal masalah anak itu urusan berdua dalam bertanggung jawab yaitu istri dan suami. Kita sering berdebat, kadang saya sampai dilempari barang-barang, dipukul, dan dicekik.”
Ironisnya, lingkungan tempat tinggalnya seolah-olah membenarkan kekerasan tersebut, menjadikannya hal yang “pantas” diterima seorang istri yang dianggap tidak patuh kepada suami. Namun, di tengah semua ini, Atik tetap berusaha mempertahankan prinsip dan ketahanannya. Dalam salah satu percakapannya, ia menyatakan bahwa dirinya tidak menentang poligami, asalkan para istri suaminya tidak tinggal satu atap dengan dirinya dan anak-anak. Pernyataan ini menunjukkan kepasrahan sekaligus negosiasi yang Atik lakukan demi menjaga stabilitas keluarga dan mentalnya sendiri.
Atik dan Lingkungan yang Menjerat
Desa tempat tinggal Atik tidak hanya menjadi saksi bisu atas penderitaannya, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial yang lebih besar. Boyolali termasuk dalam Karesidenan Surakarta atau Solo Raya. Solo dikenal sebagai “tempat tumbuh subur” untuk jaringan radikal, termasuk jaringan afiliasi Al-Qaeda di Asia Tenggara, serta laskar-laskar paramiliter Islam yang terlibat dalam konflik antar-suku dan agama. Konflik Kristen-Muslim di Poso dan Ambon pada tahun 1997–2001, serangan bom di Bali pada tahun 2002 dan 2005, dan pengeboman Marriott Hotel di Jakarta menunjukkan keterkaitan dengan kelompok radikal yang berbasis di Solo (Hartono & Suyanto, 2016: 2–3). Beberapa kali, Datasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror telah menangkap terduga teroris di daerah Boyolali. Salah satunya SC yang ditangkap karena returnee (mantan) Jamaah Islamiyah (JI) dari Suriah (Sukoyo, 2020). Kemudian tahun 2021, TEP ditangkap karena diduga terlibat dalam aksi teroris di Ambon, Maluku sebagai penggalang dana (Ria, 2021). Artinya, tekanan yang dialami Atik tidak hanya berasal dari keluarganya, tetapi juga dari norma sosial yang mengakar kuat di komunitas tersebut.
Kehidupan di komunitas yang sarat dengan simbol agama tertentu sering kali menempatkan perempuan dalam posisi yang subordinatif. Nilai-nilai seperti “keluar rumah harus izin suami,” “melahirkan anak sebanyak-banyaknya,” dan “poligami hadiahnya surga” memperkuat patriarki dan membatasi ruang gerak perempuan. Dalam kasus Atik, nilai-nilai ini tidak hanya membelenggu, tetapi juga memperparah ketidakadilan yang ia alami di rumah tangganya. Atik sering kali tidak memiliki ruang untuk menyuarakan pandangan atau mencari dukungan. Hal ini dikarenakan hambatannya sebagai perempuan berdaya berasal dari keluarga dan lingkungan sekitar yang tidak paham dan tidak mendukung (An’an Yuliati, 2022). Atik adalah gambaran perempuan yang berjuang, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk anak-anaknya yang ia harapkan tumbuh dalam lingkungan yang lebih inklusif dan setara.
Referensi
Hartono, P., & Suyanto, A. (2016). Laskar dan Mennonite: Perjumpaan Islam-Kristen untuk Perdamaian Indonesia. PT BPK Gunung Mulia.
Ria. (2021, August 13). Densus Ringkus Terduga Teroris di Sambi, Boyolali: Terlibat Aksi Ambon. https://radarsolo.jawapos.com/daerah/boyolali/13/08/2021/densus-ringkus-terduga-teroris-di-sambi-boyolali-terlibat-aksi-ambon/
Sukoyo, Y. (2020, October 1). Terduga Teroris yang Ditangkap di Jateng Mantan Kombatan Suriah. Beritasatu. https://www.beritasatu.com/nasional/682477/terduga-teroris-yang-ditangkap-di-jateng-mantan-kombatan-suriah
Yuliati, A. (2022). An’an Yuliati: Dialog untuk Perlindungan Perempuan Korban. She Builds Peace Indonesia. https://www.youtube.com/watch?v=tWNG-yAUvHk