“Jika kamu membalas perlakuan buruk orang lain terhadapmu dengan keburukan yang lain, maka ibarat kamu menaruh bara api di atas kepalanya. Jadi, biarlah Tuhan saja yang membalas. Kita sebagai manusia hanya perlu terus berbuat baik kepada sesama,” begitulah kutipan salah satu ayat dalam Alkitab yang senantiasa menjadi pegangan Obertina Modesta Johanis atau Obet. Seorang pendeta di Gereja Kristen Pasundan (GKP) Dayeuhkolot Bandung.
Sebagai seorang perempuan dari kelompok minoritas yang kerap mengalami bullying sejak kecil seperti sebutan kafir, cina, walanda dan tidak sunat, membuat Obet tak pernah putus asa untuk tetap terus merajut toleransi dengan kelompok berbeda. Awalnya perempuan berdarah Maluku ini tinggal merantau sedari kecil bersama kedua orang tuanya di Bogor. Meski kerap dibully, ia memiliki kenangan manis buah dari toleransi ajaran dari orangtuanya saat ia kecil setiap menjelang natal.

Belajar Toleransi dari Orang Tua
Obet teringat ibunya yang selalu membuat kue bolu dan diantarkan ke tetangga. Ketika lebaran tiba, mereka juga ikut bersalam-salaman turut merayakan hari raya umat Islam. Ketika natal mereka membagikan kue kepada tetangga. Tidak hanya itu, Obet juga ingat bahwa ibunya pernah menyusui seorang anak perempuan yang ibunya meninggal. Keluarga muslim inilah yang menjadi saudara muslim Obet di Bogor.
Bahkan Obet ingat bahwa Papanya pernah menjadi kepala dusun dan kepala sekolah di kampung lamanya di Bogor. Selama menjadi kepala sekolah, Papa Obet memperbolehkan orang tua murid membayar SPP dengan hasil kebun. Tidak segan orang tua Obet memberikan pinjaman uang kepada warga. Meskipun mereka juga masih membutuhkan uang. Banyak orang datang untuk meminta nasehat dan sekedar curhat.
Namun seiring berjalannya waktu, perempuan yang lahir pada tahun 1977 ini merasa kerukunan tak lagi hadir dalam hidupnya sejak maraknya penyebaran berita palsu dan bohong di media sosial. Selain itu, hadirnya sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap warga minoritas, kepemimpinan yang tidak tegas terhadap kasus pelarangan beribadah membuat ruang perjumpaan di masyarakat semakin tidak ada. Dampaknya penolakan dan resistensi kepada kelompok minoritas termasuk orang Kristen meningkat.
Ketika Obet Menjadi Korban Intoleransi
Obertina menempuh pendidikan teologi yang menghantarkannya hingga menjadi seorang pendeta. Tahun 2005 saat warga Kristiani beribadah di Gereja Kristen Pasundan atau GKP Dayeuhkolot kabupaten Bandung tempat Obertina melakukan pelayanan, sejumlah masa mengaku sebagai anggota AGAM atau Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan dan BAP (Barisan Anti Pemurtadan) meminta ibadah dihentikan.
Sejumlah masa ini memprotes kegiatan beribadah karena dianggap tidak memiliki IMB. Padahal sejak tahun 1995 pihak gereja sudah berusaha mengurus IMB, tetapi tidak kunjung mendapatkan hasil bahkan berlanjut di tahun 2015 hingga saat ini yang belum juga membuahkan hasil. Sebagai seorang pendeta perempuan, peristiwa penolakan ini dianggap janggal, karena sebenarnya keberadaan gereja sudah lama dan masyarakat telah menganggapnya sebagai bagian dari mereka.
Kehadiran sejumlah warga yang menolak keberadaan gereja tidak membuat ciut nyali Obet. Tetapi sebaliknya, problematika ini Obet anggap sebagai tantangan yang harus dihadapi untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara dan kontribusinya membangun generasi yang lebih baik. Pendeta Obertina menerima tugas mulia ini karena sejumlah pengalaman diskriminasi dan perundungan yang pernah diterimanya semasa kecil hingga kini membuatnya secara mental menjadi siap.
Ya, ketika sudah menjadi pendeta di GKP Dayeuhkolot pun, rumah pastor yang ia tinggali sering dilempari oleh anak-anak muda yang lewat di depan rumahnya. Bahkan sejumlah warga kerap secara tiba-tiba menggerebek rumahnya tetapi untungnya Obet tidak sedang berada di rumah.
Peran Gereja untuk Antar Umat Beragama
Meski begitu Obet tetap merajut toleransi. Obet masih ingat bahwa dulu saat menjelang lebaran, warga menggunakan pelataran gereja untuk takbiran dan memukul bedug karena posisi gereja yang menghadap Jalan Raya. Selain itu, saat peringatan 17 Agustus warga juga menggunakan pelataran gereja untuk melaksanakan perlombaan dalam rangka merayakan hari kemerdekaan.
Obertina juga membangun relasi dengan warga sekitar melalui sejumlah kegiatan sosial dan aksi kemanusiaan. Obet bersama pihak gereja membagikan kupon kesehatan, sembako, makanan dan pakaian layak pakai. Bahkan setiap banjir Pak RT selalu menghubungi dirinya untuk mengabarkan kalau warganya belum mendapatkan dukungan makanan dan pakaian layak pakai.
Selain itu, untuk menjaga agar relasi dengan warga tidak dicurigai, Obet menghilangkan simbol-simbol Kristen di dalam bantuannya. Meskipun sebagian warga masih bersekutu dengan para pembenci gereja, Obet tetap melanjutkan misi kemanusiaan ini.
Obet juga mendekati anak-anak melalui program belajar Bahasa Inggris dan Matematika. Tujuannya adalah membuka ruang perjumpaan diantara anak-anak dari keluarga Muslim dan Kristen dengan mengajak para mahasiswa dari gereja sebagai pengajarnya. Ada juga perpustakaan mini yang menyediakan buku-buku Islami untuk anak-anak yang bisa bebas dibaca.
Kolaborasi
Selain itu Obet juga membuka ruang-ruang dialog dengan berbagai pihak khususnya pihak pemerintah lokal mulai RT, RW, dan kecamatan karena semua orang merupakan saksi sejarah atas keberadaan gereja. Keterlibatan perempuan dalam negosiasi untuk upaya peace building juga dilakukan oleh Obet dengan pihak kecamatan dengan berdialog untuk meminta dukungan. Bahkan pihak gereja juga pernah meminta bantuan keamanan yaitu polisi untuk mengamankan selama ibadah meskipun biaya pengamanan ditanggung secara keseluruhan oleh gereja yang berasal dari sumbangan Jemaat gereja.
Obet juga melakukan sejumlah pendekatan dengan kaum pembencinya untuk menemukan titik kompromi. Mantan korlap kelompok AGAM secara intensif berhubungan dengan gereja untuk mencari solusi meskipun belum menemukan jalan keluar. Sampai saat ini warga Jemaat GKP Dayeuhkolot masih belum bisa beribadah secara leluasa di gereja mereka. Tetapi usaha Obet untuk membangun kohesi sosial dan memperbaiki rusaknya hubungan sosial terus berlanjut.
Bersama dengan Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jaka Tarub) dan Gereja Kristen Pasundan Obertina merintis forum perjumpaan para anak-anak muda lintas Iman bernama Youth Interfaith Camp (YIC). YIC merupakan sebuah kegiatan anak-anak muda lintas Iman untuk belajar keberagaman di Indonesia yang telah menghasilkan lebih dari 10 angkatan alumni yang sudah tersebar di berbagai kota untuk membangun gerakan interfaith lokal serta membentuk kader-kader perdamaian dari kalangan anak-anak muda hingga beberapa dari mereka mampu membangun komunitasnya masing-masing.
Penutup
Obertina masih optimis bahwa ada sejumlah warga yang mendukungnya karena dia juga mendengar dari sejumlah pihak bahwa pengerahan masa dibayar. Meski demikian dia juga melihat ada banyak anak-anak muda dekat gereja tidak menerima bayaran yang sebetulnya hanya nongkrong-nongkrong saja di depan gereja.
Dia juga masih yakin bahwa pendekatan kemanusiaan jauh lebih efektif sehingga Obet tetap fokus merajut toleransi dengan kelompok berbeda melalui pendekatan non kekerasan. Obertina sangat yakin bahwa memperbanyak ruang-ruang perjumpaan pemuda lintas iman akan jauh lebih menginspirasi mereka untuk membangun ruang-ruang perjumpaan yang lainnya. Jika hal ini dapat konsisten dan berkesinambungan, maka hubungan antar umat yang berbeda akan semakin kuat dan harmonis. Meski tentu tidak mudah, tetapi harapan akan selalu ada. Karena perempuan punya banyak cara untuk mewujudkan perubahan.