Kisah Novi Malinda Djamhuri Mendampingi Keluarga Eks-Napiter

Konflik poso yang terjadi sejak tahun 1999 hingga 2002 menyisakan banyak konsekuensi sebagaimana tempat konflik lain. Meski telah berakhir dengan hadirnya Perjanjian Malino yang ditandatangani pada 20 Desember 2001, namun Poso kini menjadi tempat yang strategis bagi para teroris. Di Gunung Biru hingga saat ini dijadikan tempat berlatih Mujahidin Indonesia Timur (MIT). 

Menurut catatan polisi dalam podcast She Builds Peace Indonesia, dalam 8 tahun terakhir, terjadi 22 serangan teroris di Poso yang menargetkan petani dari latar belakang Islam dan Kristen. Poso telah menjadi markas dari kelompok teroris MIT. Masyarakat sekali lagi berada dalam situasi rentan, terutama mereka yang tinggal di kaki Gunung Biru, seringkali menjadi target teroris baik sebagai pemasok logistik maupun untuk pembunuhan.

Kisah Novi Malinda Djamhuri Mendampingi Keluarga Eks-Napiter

Kerentanan lain yang dialami oleh masyarakat Poso saat ini adalah kembalinya mantan narapidana teroris. Mereka telah menjalani hukumannya dan sekarang kembali ke masyarakat, ditempatkan sedemikian rupa sehingga mereka masih bisa menyatu. Saat ini ada 39 mantan narapidana yang tinggal di Poso, salah satunya berada di Tamanjeka, Desa Masani, Pesisir Poso. Beberapa warga membantu reintegrasi mantan narapidana dan keluarganya untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat termasuk Novi.

 

Novi Malinda Djamhuri

Novi Malinda Djamhuri adalah salah satu fasilitator Sekolah Perempuan Perdamaian, yang merasa terpanggil untuk melakukan pendampingan kepada para mantan napiter dan keluarganya. Sejak pertemuannya dengan para mantan napiter di kantor Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS), Novi merasa terpanggil untuk mencoba kemampuannya melakukan pendampingan pada kelompok yang ditakuti oleh masyarakat. Keterampilan yang dia dapatkan dari berbagai tempat, salah satunya proses di Sekolah Perempuan Perdamaian, menjadi bekal utama Novi untuk menetapkan niatnya untuk mengambil pekerjaan ini. Bagi Novi mereka adalah manusia seperti kita yang punya hak dan kesempatan kedua.

Sebagai single parent, Novi telah berhasil mengantarkan ketiga anaknya ke perguruan tinggi. Seolah tak mau kalah dengan anak-anaknya, Novi pun akhirnya lulus perguruan tinggi. Pengalaman ini lah yang dipakai oleh Novi untuk membangkitkan semangat para istri napiter. Bahwa perempuan bisa menghadapi hidup tanpa suami.

 

Proses Pendampingan yang Tidak Mudah

Pendampingan para mantan napiter dan keluarganya bukanlah hal yang mudah. Selain medan tempuh yang cukup jauh dan beresiko karena kondisi berbatu dan menanjak. Jalan yang dilalui Novi selalu sepi. Sangat memungkinkan bagi Novi dan rekannya untuk bertemu dengan orang tidak dikenal atau kelompok teroris. Untuk menjaga keselamatannya, Novi selalu kembali pulang sebelum jam empat sore.

Memenangkan hati dan pikiran para mantan napiter dan keluarganya bukanlah hal yang mudah. Novi yakin dengan ketulusan, keteguhan, dan keberanian dalam menghadapi keluarga mantan napiter ini, lama-lama pintu akan terbuka. Sebagai seorang perempuan pembangun perdamaian, Novi menyadari bahwa pendekatan kemanusiaan adalah kunci keberhasilan.

Masih tingginya ketergantungan para istri mantan napiter kepada suami mereka, ditambah kuatnya doktrin bahwa perempuan harus di rumah, perempuan keluar rumah harus izin suami. Juga doktrin kuat tentang ridho suami adalah ridho Allah membuat para istri mantan napiter menghabiskan waktu di dalam rumah.

 

Satu per Satu Pintu Interaksi Mulai Terbuka

Novi putar otak agar dapat membuat para istri mantan napiter keluar rumah. Novi bersama Lembaga Penguat Masyarakat Sipil (LPMS) menggunakan pendekatan bernama “Mendekatkan Pasar dengan Dapur Umi” adalah sebuah upaya memenuhi kebutuhan dapur dengan cara bertanam di halaman rumah. Novi dan sejumlah warga membagikan sejumlah polybag yang ditanami dengan sayuran kepada para istri mantan napiter.

Seiring dengan pertumbuhan sayuran, sebuah keajaiban mulai nampak. Para istri mantan napiter mulai terlihat keluar rumah meskipun sebagian hanya di halaman. Mereka mau menyirami tanaman dan merawatnya. Bahkan para istri mantan napiter sudah mulai menjangkau pagar rumah manakala sebuah kegiatan anak-anak di gelar di tanah lapang yang tidak jauh dari rumahnya. Anak-anak mereka terlibat dalam sebuah program literasi. Mereka bernyanyi dan berlari-lari. Para ibu berdiri di dekat pagar sambil memperhatikan anaknya.

Dalam pendekatan reintegrasi, Novi menggunakan pendekatan literasi pada anak-anak. Mengetahui bahwa banyak anak-anak para mantan napiter memiliki doktrin kuat tentang jihad, maka Novi dan pendamping lain mendirikan taman bacaan. Tujuannya untuk menginstal nilai baru kepada anak-anak agar memiliki watak cinta tanah air dan pancasila.

Suatu waktu ketika kegiatan menggambar berlangsung, Novi dikejutkan dengan kecenderungan anak laki-laki menggambar senjata. Anak perempuan menggambar jilbab. Mereka menceritakan harapan abi dan uminya. Novi dengan sabar meluruskan cara berfikir mereka, “Di negara kita yang boleh pegang senjata adalah polisi dan tentara. Perempuan juga bisa menjadi apapun seperti laki-laki”. Novi tak pernah lelah dan terus menanamkan nilai-nilai baru agar kelak anak-anak ini bisa menjadi orang berguna.

 

Kearifan Lokal menjadi Ruang Perjumpaan

Ruang-ruang pembauran yang lebih luas diciptakan dengan cara melakukan Tapurung. Sebuah tradisi lokal makan bersama dengan melibatkan semua orang. Melalui Tapurung inilah Novi menemukan gagasan bahwa jahe merah bisa tumbuh subur di Tamanjeka. Novi membicarakan tentang penanaman jahe merah dan pengelolaan produk jahe merah. Para istri mantan napiter dan warga lokal bersama-sama mengelola program jahe merah. Di sinilah ruang pertukaran terjadi.

Interaksi dengan semua warga terjadi sehingga semakin tipis sekat antara orang-orang lokal dan para pendatang. Naluri Novi sebagai perempuan peace builder terus berkembang untuk mengajarkan tentang pentingnya menerima perbedaan. Pondasi yang diberikan oleh AMAN Indonesia dalam program Sekolah Perempuan Perdamaian tampaknya begitu kuat mempengaruhi cara berfikir dan bertindak yang dilakukan oleh Novi.

Kunci dari sebuah masyarakat yang resilien adalah kemauan menerima perbedaan yang ada. Sebagai single parent yang dianggap cukup sukses, Novi tak henti-hentinya memompa semangat para istri mantan napiter untuk menjadi perempuan aktif. Berusaha bertahan hidup meski suami tidak bersamanya dan terus meyakinkan bahwa anak-anak memiliki masa depan yang harus didukung oleh ibunya dengan ketulusan, keteguhan dan keberanian.

Sedikit demi sedikit gunung es di hati para istri mantan napiter bisa diluluhkan para suami yang juga aktif dalam program bertanam dan beternak ayam juga mulai membuka diri. Bahasa kemanusiaan memperlakukan para mantan napiter dan keluarganya dengan manusiawi akan menciptakan kepercayaan dan membuka interaksi. Pendekatan dari hati ke hati akhirnya mampu meluluhkan hati para istri mantan napiter untuk kembali berinteraksi dengan masyarakat. Inilah yang sudah Novi buktikan selama mendampingi keluarga eks napiter di Tamanjeka.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top