“Saat bekerja di Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), saya mengunjungi lapas dan tanpa sengaja bertemu dengan beberapa anak yang usianya kisaran 17-18 tahun. Mereka ditahan karena terlibat kasus tindak pidana terorisme. Saya sungguh terkejut dan merasa terpanggil karena mereka sejatinya adalah korban. Jika saya diposisi mereka, usia 17 tahun, satu sisi merasa dikelompoknya sebagai hero karena pegang senjata, tapi sisi lain mereka ditangkap tanpa orang tua, pengacara atau pembela hukum, membayangkannya begitu sedih.” Cerita Khariroh Maknunah pada serial podcast yang tayang melalui akun youtube WGWC Grup edisi 5/12/2024.
Khariroh Maknunah yang akrab disapa Nuna adalah perempuan yang luar biasa, khususnya pengalamannya dalam isu-isu radikalisme dan terorisme. Ia bergelut dengan isu itu sejak akhir tahun 2013, kemudian pada bulan November 2016 mulai bergabung dengan Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP). Saat ini, ia fokus dalam pendampingan anak korban jaringan terorisme.

Lika-liku pendampingan
Bagi Nuna, sudah menjadi hal biasa jika awal pendampingan pasti tidak diterima, tapi ia selalu meyakini rumus terpaan, satu kali datang tidak diterima, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali sampai membuat orang tidak sadar atau tidak sengaja menerima karena terbiasa.
“Saya selalu mengatakan bahwa datang karena peduli. Saya punya ideologi, kamu punya ideologi, jadi kita tidak boleh menganggu ideologi satu sama lain. Kita saling support.” Ucap Nuna.
Dari Nuna, kita bisa belajar bahwa proses pendampingan tidak akan berhasil jika awalnya sudah judgemental kalau mereka salah. Hal pertama yang dilakukan adalah memberikan dukungan person to person. Artinya jangan menggunakan pendekatan melalui ideologi, karena mereka sudah punya ideologi yang mereka yakini. Tetapi yang bisa kita lakukan adalah memberikan insight (pemahaman mendalam), advice (saran), dan knowledge (informasi atau fakta) baru bagi anak korban jaringan terorisme dan secara fundamentalis merekalah yang harus menentukan jalan mereka sendiri. Itulah kenapa fase pendampingan ini disebut sebagai fase menemani, baik sebagai teman, kakak, hingga orang tua. Agar tercipta fase selanjutnya yaitu dialog. Dalam intensitas bertemu dan komunikasi, penting menemukan hingga menciptakan golden time atau titik balik agar mereka secepatnya menemukan jalan yang lebih moderat dan damai.
“Terkadang kita sudah menemani sampai tahunan, tapi ternyata residivis. Dulu pas awal-awal juga sedih, tetapi setelah Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) punya catatan progres anak-anak korban terorisme, kalau ada anak yang tertangkap lagi, kita lebih siap. Dan saya selalu menganggap tidak ada yang sia-sia, semuanya ada pembelajarannya.” Kata Nuna.
Resilien yang tangguh
Nuna merasa beruntung memiliki support system yang baik, seperti keluarga dan teman-teman kerjanya. Selama ini, dalam setiap kegiatan dan ruang yang dipilih khususnya masalah-masalah pendampingan anak korban jaringan terorisme, sang ayah selalu mendukung. Ayahnya merasa bahwa pekerjaan ini harus dilakukan dengan sepenuh hati karena anak-anak itu adalah korban.
“Keluarga saya baik-baik, orang tua tahu pekerjaan saya, pasangan juga tahu bahkan banyak membantu. Apalagi teman-teman kantor, biasanya setelah saya dari lapas dan pulang ke kantor, saya tidak bekerja. Kemudian, Taufik Andrie, Direktur Eksekutif YPP akan menyiapkan makan siang sambil mendengarkan cerita saya secara detail untuk merilis emosi. Sepanjang melakukan pekerjaan sejak 2016 sampai sekarang, saya selalu memastikan bahwa saya tidak dalam kondisi sakit fisik maupun mental. Hal ini karena di awal atau di tengah jalan, saya sering perang batin. Kemudian banyak pertanyaan yang terlintas, misalnya: ‘apakah anak-anak yang saya dampingi akan benar-benar berubah atau jangan-jangan mereka hanya kamuflase?,’ ‘bagaimana jika mereka terlibat lagi?,’ bagaimana kata orang nanti, saya pasti dianggap mendukung kelompok mereka’, dan lain-lain. Nah, saya ngobrol dengan pasangan dan rekan kantor, ternyata itu meberikan kekuatan lagi.” Ucap Nuna.
Relasi kesalingan yang dibangun dalam keluarga maupun tempat kerja menjadi pendorong utama dalam setiap langkah Nuna. Jika keluarga dan lingkungan selalu memberi hal-hal positif, bukanlah hal yang mustahil bahwa akan ada banyak sosok Nuna yang memberikan inspirasi bagi perempuan-perempuan lain untuk terus bergerak memperjuangkan hak-hak anak korban jaringan terorisme.