“Dulu saya menyakini bahwa jihad qital adalah jihad Fisabilillah dengan melakukan perang, sehingga merupakan jihad yang paling tinggi. Maka wajib bagi kita untuk berlomba-lomba melakukan upaya amaliyah untuk mendapatkan syafaat tersebut. Tetapi sekarang saya mengerti bahwa jihad seperti itu tidak tepat diterapkan di Indonesia yang damai. Selain itu, setelah saya pelajari lagi, meski secara tertulis Undang-Undang tidak menyatakan hukum Islam, namun dasar negara ini tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam.” Ungkap Ika Puspitasari dalam serial podcast yang tayang melalui akun youtube Ruangobrol.id, 2022.
Perempuan ini berasal dari Desa Brenggong, Kecamatan/Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Ia adalah mantan buruh migran Indonesia yang terpapar paham radikalisme melalui media sosial. Berawal dari melihat video peristiwa bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo (25/09/2011), Ika mulai tertarik pada persoalan jihad, daulah, dan khilafah. Ika secara rutin mengikuti perkembangan umat Muslim Rohingya, Mujahadin Filipina dan gerakan Al Qaeda melalui situs Ar-Rahmah, VOA Islam, Al Mustaqbal, dan sebagainya. Pada September 2014, Ika akhirnya berbaiat kepada ISIS melalui aplikasi Telegram. Selama menjadi anggota ISIS, Ika disuguhi cerita, berita, bahkan video mengenai kezaliman yang terjadi pada umat Islam.

Melalui akun Facebooknya, ia sering menyebarkan paham-paham ekstrem, seperti cara membuat bom, ajaran Bahrul Naim, dan berita-berita peperangan di Palestina, Afghanistan, Suriah, dan lain-lain. Sedangkan di aplikasi Telegram, Ika bahkan melakukan perekrutan kepada Riswandi alias Abi, Abdullah Azzam, Zaenal Akbar, dan Abu Jundi. Awalnya mereka telah menyusun perencanaan pengeboman di Bandung dan bom bunuh diri di Bali. Namun, sejumlah rencana tersebut gagal karena pihak aparat telah mengetahuinya. Penangkapan Abu Jundi, termasuk suaminya Zaenal Akbar, mengungkapkan jaringan dan aktivitas ekstrimisnya. Sampai akhirnya pada Desember 2016, Densus 88 Anti Teror berhasil menangkap Ika di rumah orang tuanya di Purworejo, Jawa Tengah dan divonis hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan beserta denda Rp.50.000.000.
Dari kasus Ika, kita bisa mengetahui bahwa partisipasi perempuan dalam terorisme di Indonesia mengalami peningkatan, terutama setelah kehadiran Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang mengubah dinamika peran perempuan sebagai pelaku serangan. Jihadis perempuan yang sebelumnya hanya berperan secara pasif dan suportif, kini mulai terlibat secara teknis seperti dalam perekrutan, pelatihan ideologis, penggalangan dana, hingga eksekutor aksi teror.
Menemukan jalan yang damai
Perjalanan Ika untuk menemukan jalan kedamaian dan kembali menjadi warga negara yang baik dimulai dengan tantangan berat. Selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Ika diketahui masih mempertahankan pemahaman keagamaan yang sangat radikal. Ia mengkafirkan orang-orang disekitarnya dan menganggap siapa pun yang bekerja untuk negara sebagai thagut. Bahkan setelah dibebaskan pada Agustus 2021, Ika tetap menjalin hubungan dengan kelompok ekstremisnya, terutama mantan suaminya, Zaenal Akbar, dan ia berencana untuk hidup bersama setelah Zaenal pulang dari Papua.
Namun demikian, perubahan Ika terlihat usai 4 bulan kebebasannya. Ika mulai aktif terlibat dalam kegiatan masyarakat, membuka dialog dan diskusi dengan mantan narapidana terorisme yang sudah moderat di Yayasan Persadani dan Gerakan Masyarakat Salih dan Amanah (Gema Salam). Kedua organisasi ini bergerak dalam bidang deradikalisasi dan pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, aman, dan damai.
Melalui diskusi-diskusi ini, Ika mulai mempertanyakan kembali pandangannya mengenai konsep-konsep yang selama ini ia yakini, seperti daulah, khilafah, dan jihad. Ia pun mulai membandingkan pendapat kelompoknya dan pendapat para Ikhwan dan Ummahat yang ada di Yayasan Persadani dan Gema Salam. Hingga pada satu waktu Ika menyadari bahwa apa yang selama ini dia yakini mengenai konsep jihad, daulah Islamiyah, dan negara Islam masih salah. Ika menyadari bahwa selama ini ia masih belum mempelajari Islam secara menyeluruh atau kaffah.
Selain sering melakukan dialog dengan Ikhwan dan Ummahat dengan pemikiran yang lebih inklusif, sejak Januari 2022, Ika juga aktif menulis dan terlibat podcast di beberapa media yang mengusung kontra-narasi terhadap radikalisme. Dalam kegiatan ini, Ika berbagi pengalamannya dan menyampaikan pesan penting mengenai perubahan yang telah dilaluinya. Ika mengungkapkan bahwa setelah dirinya bebas dari penjara, keluarga dan masyarakat senantiasa mendukung perubahan dirinya menuju arah yang lebih baik, serta bertekad untuk tidak kembali lagi ke kelompoknya dulu.
Perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi pemahaman keagamaannya, tetapi juga kehidupan pribadinya. Ika akhirnya memutuskan untuk bercerai dengan Zaenal Akbar dan menikah dengan Achmad Supriyanto, mantan narapidana terorisme yang terlibat dalam kasus Bom Thamrin. Seperti Ika, Achmad Supriyanto juga bercerai dengan istrinya setelah keluar dari penjara dan memilih untuk kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Setiap anggota ISIS yang kembali ke NKRI dianggap musuh dan dilabeli ‘murtad’ bahkan ‘kafir.’ Saya juga sering mendapatkan bullying dari kelompok sebelumnya,” Kata Ika.
Meskipun menghadapi banyak tantangan dan stigma sosial yang berat, Ika dan suaminya kini memutuskan untuk membangun hidup baru secara damai di kampung halamannya, Desa Brenggong. Mereka merintis usaha dengan membuat jajanan keripik gedebog pisang dan menjual kue-kue basah. Kisah Ika menunjukkan bahwa proses deradikalisasi bukanlah hal yang instan atau dapat diselesaikan dengan hanya memberikan intervensi pemahaman. Intervensi pemahaman yang dimaksud merupakan pengaruh kajian keagamaan yang menjadi motivasi atas pengambilan keputusannya kelak. Faktor lingkungan sekitar juga sangat mempengaruhi perjalanan seseorang untuk berubah dan membangun kembali kehidupan yang lebih baik.