Kisah Erni Kurniati Mendampingi Istri Mantan Napiter hingga Menjadi Juru Damai (Cerita 1)

Prolog – Cerita I

Erni Kurniawati, peneliti, pendamping, dan program di Division for Applied Social Psychology Researh (DASPR), tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk menjadi pendamping istri dan keluarga mantan napiter. Ia sebelumnya bergabung di DASPR untuk menjadi asisten peneliti. Kemudian ia mendapat kesempatan untuk  melakukan proses observasi dan terlibat intervensi langsung. Saat itu awalnya ia menjadi pendamping anak-anak. Erni melihat secara langsung bahwa anak-anak mantan napiter juga seperti anak pada umumnya. 

Kisah Erni Kurniati Mendampingi Istri Mantan Napiter hingga Menjadi Juru Damai (Cerita 1)

Begitu juga saat bersinggungan langsung dengan istri mantan napiter. Mendengar atau mengucapkan kata “terorisme” dalam bayangan Erni adalah sesuatu yang seram. Ia awalnya berpikir bahwa para istri mantan napiter ini kaku dan Erni merasa harus menjaga bahasa atau pakaian, tapi ternyata tidak. Mereka seperti ibu-ibu pada umumnya. 

 

Bagaimana Penangkapan Pelaku Terorisme Berdampak pada Istri, Anak, dan Keluarga? 

Saat mendapat kesempatan untuk melakukan intervensi langsung, Erni mengetahui bahwa penangkapan ayah atau suami yang terlibat terorisme ternyata menyimpan duka dan menimbulkan trauma bagi keluarga. Anak-anak yang menyaksikan langsung ayahnya ditangkap dan bahkan sempat dibawa ke kantor polisi mengalami trauma. Ada yang mengalami mimpi buruk, ada pula yang refleks teriak ketika mendengar suara motor. Keadaan tersebut juga diperburuk dengan anak-anak yang rentan mendapat bully. Mereka bahkan sampai harus pindah sekolah atau rumah. 

Begitu juga dengan para istri mantan napiter yang harus menanggung beban berat keluarga karena harus menjadi ibu dan kepala rumah tangga sekaligus. Mereka mengalami kesulitan ekonomi. Mereka juga mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Padahal, tidak semua istri tau bahwa suaminya tergabung dalam kelompok radikal. Mereka hanya tau bahwa suaminya pergi mengikuti kajian. Meski beberapa istri juga ada yang mengetahui, tetapi mereka tidak bisa berbuat apapun karena sistem masyarakat masih patriarki. Istri dituntut untuk sami’na wa atho’na

 

Faktor dan Nilai yang Dipegang Erni dalam Mendampingi Keluarga Mantan Napiter

Keterlibatan Erni secara langsung kepada anak dan istri mantan napiter membuat ia semakin penasaran pada alasan ayah atau suami mereka tergabung dalam gerakan terorisme. Selain penasaran, Erni juga merasa bahwa apa yang mereka alami tidak jauh dari pengalaman pribadi ketika mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan di lingkungan keluarga/sekolah/bermain. Terdapat persamaan rasa sakit yang dialami sehingga bisa memahami kondisi mereka dan tergerak untuk mendampingi mereka. 

Nilai yang diyakini Erni dalam mendampingi keluarga mantan napiter adalah nilai kemanusiaan. Ia meyakini bahwa berjalan sendiri adalah proses yang sulit dan panjang sehingga Erni merasa terpanggil hatinya untuk merangkul mereka dan meyakinkan bahwa mereka tidak sendiri. Sebagai manusia, ia memaknai gerakannya sebagai proses dakwah yang Tuhan inginkan. Kendati demikian, niat baik Erni tidak serta-merta bisa diterima dengan baik pada awalnya. 

Pada saat pertama kali melakukan pelatihan, DASPR pernah mendapatkan penolakan dan sulit mengumpulkan keluarga mantan napiter yang mau mengikuti kegiatan. Gerakan DASPR dicurigai sebagai gerakan yang hanya ingin mengulik informasi atau mengambil data mereka lalu ditinggalkan begitu saja. Erni menganggap bahwa respon mereka adalah hal yang wajar karena keadaan mereka memang sedang tidak baik. 

Membangun kepercayaan adalah proses yang panjang dan penuh tantangan. Salah satu langkah penting dalam pendampingan istri atau keluarga mantan napiter adalah menciptakan ruang yang aman dan nyaman untuk membantu mereka berdamai dengan trauma. Dalam pelatihan, digunakan pendekatan psikososial, sosial-ekonomi, dan ideologi. Pada tahap awal, peserta diajak untuk melepaskan emosi dan trauma melalui sesi support group.

Selama pelatihan, topik yang berkaitan dengan suami, ayah, atau isu terorisme sama sekali tidak disinggung untuk menjaga kenyamanan mereka. Sebaliknya, konsep jihad diperkenalkan kembali dengan pemaknaan yang relevan di masa kini, seperti perjuangan mencintai diri sendiri, berdamai dengan masa lalu, dan hal-hal positif lainnya, bukan lagi sebagai tindakan perang terhadap kelompok agama lain.

Pendekatan ini berhasil membuat peserta merasa nyaman dan mampu bertahan hingga akhir pelatihan. Kesuksesan kelompok pertama bahkan menarik banyak keluarga mantan napiter lainnya untuk mengikuti kegiatan serupa.

 

Sumber Tulisan:

Podcast berjudul “Seni Menjadi Pendamping: Mendengar dan Tidak Menghakimi” yang diakses melalui kanal YouTube WGWC https://youtu.be/TVLZgs819w0?si=YyKTM3d8r_IYAhCr 

 

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top