Memiliki rasa yang sama merupakan salah satu pondasi Erni Kurniati menjalani profesinya sebagai pendamping para perempuan yang mengalami masalah akut dalam hidupnya. Sebut saja mereka yang memiliki suami teroris, narapidana, pecandu narkoba, dan lain sebagainya.
Bisa dikatakan, Kurniati adalah perempuan berhati sutra karena pekerjaan yang sedang digeluti saat ini bukan sebuah mimpi yang telah direncanakan jauh sebelumnya. Pada waktu itu, ia hanya datang ke tempat para perempuan itu berada untuk memulihkan diri untuk melakukan penelitian, namun pada akhirnya ia tertarik untuk terus membersamai mereka dalam suka maupun duka sebab ia tahu rasanya menghadapi masalah tanpa orang-orang terdekat di sampingnya sebagaimana pernah ia alami sebelumnya, tidak mudah dan butuh waktu yang lama.

Kendati demikian, Kurniati sempat merasa khawatir dan takut ketika memantapkan hati untuk bergabung bersama mereka, apalagi ketika telinganya mendengar kata ‘Teroris’ sontak yang muncul dalam pikirannya adalah perempuan berjubah, berkerudung panjang, menutup wajahnya dengan cadar dan memiliki pemikiran yang eksklusif.
Namun ternyata, pikiran dan realitanya tidak sama, para perempuan yang ditemuinya adalah manusia yang sama seperti dirinya. Mereka juga manusia yang memiliki emosi, tidak ingin suaminya berada dalam lingkaran kriminal tersebut tetapi apalah daya, mereka hanya bisa murka dan meluapkannya sesuai dengan ekspresi mereka masing-masing. Hal semacam ini yang menurut Kurniati membutuhkan bantuannya.
Memulai sesuatu yang baru bukan perkara mudah, seperti halnya yang dirasakan perempuan anggota Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) itu. Butuh cara untuk bisa akrab bersama mereka, saling menuangkan rasa, dan cerita. Untuk itu, ia melakukan pendekatan dengan cara memberi rasa nyaman. Ia mengajak mereka yang butuh pendampingan piknik, dan lain sebagainya, yang terpenting adalah membuat mereka nyaman terlebih dahulu bersamanya.
Diawali langkah tersebut, tanpa ia minta, mereka akan terbuka sendiri kepadanya, menceritakan banyak hal yang menjadi masalah mereka selama ini. Dari proses ini, maka akan semakin mudah baginya menemukan solusi dari masalah mereka sehingga mereka bisa kembali diterima di masyarakat atau menerima segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya. Namun dalam hal ini ia tidak sendiri, ia juga bekerja sama dengan Psikolog klinis agar dapat lebih mengerti kondisi serta suasana hati mereka.
“Ada Psikolog klinis juga yang membantu kami. Jadi hal pertama yang kita lakukan adalah membuat mereka senyaman mungkin, yang membuat situasi itu tidak seolah-olah kita misalnya berkaitan dengan kasus suami mereka dengan terorisme dan lain sebagainya. Apalagi kita bawa jalan-jalan, anak-anak dan Ibu-ibunya, ya kayak pikniklah,” jelasnya kepada Ruby Kholifah yang bertugas sebagai Host di acara Podcast WGWC.
Seiring berjalannya waktu hati mereka mulai merasa nyaman dan mulai berani untuk mengutarakan masalahnya. Kendati demikian, hal tersebut bersifat rahasia sebab metode yang digunakan seperti konseling Psikolog, bahkan Kurniati mengungkapkan tidak bisa mendengarkan cerita mereka jika ia bukan orang yang bertanggung jawab untuk mendampingi mereka.
Namun kepercayaan yang didapatkan Kurniati hingga kini tidak serta merta jatuh bak durian runtuh. Ia belajar seperti bayi, mulai dari tengkurap, merangkak, berjalan hingga berlari. Ketika ia memutuskan untuk menjadi pendamping, ia diberikan tugas untuk mendampingi anak-anak terlebih dahulu.
Hal itu terjadi sebab para Ibu membawa anaknya ketika sesi pemulihan (ruang untuk mengutarakan emosi), namun saat program tersebut akan dimulai, terpaksa harus dipisah untuk sementara waktu. Untuk itu dibuatlah ruang dan sesi tersendiri bersama anak-anak mereka.
“Jadi orang tua punya ruang sendiri untuk mengurai emosinya, kan mungkin mereka punya perasaan malu kalau nangis di depan anak. Ada mungkin kondisi-kondisi tertentu yang mereka tidak bisa bagikan ke anak,” ujarnya.
Kurniati sempat merasa sedih ketika ada seorang istri yang mengungkapkan tidak tahu menahu akan kejahatan yang dilakukan suaminya. Meski demikian, jiwa penelitinya belum hilang, setelah mengetahui kisah tersebut ia perlu sekali memastikan dengan melihat kondisi di lapangan, yaitu mendatangi rumah mereka atau dengan cara lainnya untuk membuktikan kebenaran.“Kita perlu hati-hati, apakah betul memang seperti itu,” ujarnya.