Keteguhan Perempuan Aceh dalam Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan Sosial Pasca-Konflik

Pembangunan Negeri Serambi Makkah tidak dapat dipisahkan dari kontribusi perempuan Aceh yang berperan signifikan dalam mewujudkan perdamaian di wilayah tersebut. Namun demikian, meskipun telah tercapai kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), persoalan kekerasan yang menimpa perempuan Aceh tidak lantas serta merta langsung berkurang. Isu-isu yang dihadapi perempuan di wilayah konflik sering kali terabaikan dalam diskusi utama dan tidak tercantum dalam kesepakatan perjanjian damai. Dengan kata lain, secara resmi peran penting perempuan dalam proses dialog perdamaian telah diabaikan. Perempuan masih harus berjuang keras agar perdamaian yang tercipta benar-benar dapat dirasakan oleh mereka.

Salah satu contoh keteguhan tersebut terlihat pada Suraiya Kamaruzzaman, seorang aktivis perempuan pemberani yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan Aceh hingga ranah internasional, terutama selama dan setelah konflik bersenjata. Ia juga merupakan pendiri Flower Aceh, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkomitmen pada pemberdayaan dan penguatan perempuan di komunitas pedesaan dan perkotaan miskin.

Keteguhan Perempuan Aceh dalam Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan Sosial Pasca-Konflik

Suraiya aktif memberikan advokasi dan pendampingan bagi perempuan, terutama dalam isu-isu untuk hidup aman dan layak, kemandirian ekonomi, serta hak-hak reproduksi. Baik untuk korban konflik maupun mantan kombatan, yang pernah menjadi pejuang tangguh di medan perang, kini menghadapi tantangan baru dalam beradaptasi dengan kehidupan pasca-konflik. Karena itu, ia juga memberikan perhatian khusus bagi perempuan eks-kombatan Inong Balee, pasukan prajurit perempuan rakyat Aceh, untuk memastikan pemulihan dan dukungan yang mereka butuhkan untuk dapat kembali ke hidup mereka, yang seringkali terpinggirkan dalam proses rekonstruksi dan pembangunan perdamaian, karena mereka menghadapi tantangan stigma akibat keterlibatan mereka dalam konflik dan diskriminasi gender yang masih berlangsung.

Ia juga secara khusus memperhatikan nasib perempuan yang menjadi korban konflik, karena konflik telah meninggalkan luka mendalam khususnya bagi perempuan yang mengalami kekerasan seksual, kehilangan anggota keluarga, dan menghadapi kesulitan ekonomi akibat konflik. Ia berupaya untuk memberikan dukungan psikologis, bantuan hukum, dan pemberdayaan ekonomi bagi mereka.

Selain aktif di Flower Aceh, Suraiya juga aktif dalam mendorong kebijakan yang berpihak pada perempuan melalui keterlibatannya sebagai presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), sebuah organisasi yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dengan mendorong partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan serta kepemimpinan perempuan di tingkat lokal dan nasional. Suraiya terus berupaya memperkuat posisi perempuan dalam masyarakat untuk memastikan perlindungan terhadap hak-hak kelompok perempuan dan memastikan bahwa suara mereka didengar dalam pengambilan keputusan, khususnya mereka yang menjadi korban kekerasan seksual. Serta ia juga gigih memperjuangkan alokasi anggaran yang lebih besar untuk program-program pemberdayaan perempuan, dan memfasilitasi berbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan.

Selain itu, melalui Balai Syura, Suraiya juga berjuang mengadvokasi revisi Qanun Jinayat, Peraturan Daerah Provinsi Aceh yang mengatur penyelenggaraan pemerintah dan kehidupan masyarakat Aceh, yang dinilai menghambat dan inkonsisten terhadap Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual. Dalam advokasinya, ia mengupayakan lingkungan yang lebih aman dan berkeadilan bagi korban kekerasan seksual, khususnya perempuan dan anak. 

Kehadiran Suraiya dengan berbagai kerja keras dan perjuangannya demi memastikan bahwa perdamaian yang diraih tidak hanya mengakhiri konflik bersenjata, tetapi juga menciptakan kondisi yang adil dan setara bagi semua pihak, termasuk perempuan. Terutama setelah berakhirnya konflik dengan GAM dan dalam konteks pasca-Perjanjian Helsinki. Di tengah tantangan kebijakan yang belum mengakomodasi kebutuhan mereka dan bahkan cenderung mendiskriminasi perempuan, Suraiya beserta perempuan Aceh lainnya, mereka menunjukkan ketahanan yang luar biasa dalam mendorong perubahan, melawan norma yang berlaku, serta memperjuangkan hak-hak mereka di ranah publik, dan berkontribusi pada pembangunan pasca-konflik.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top