Kesetaraan Gender Sebagai Upaya Pencegahan Radikalisme Terhadap Perempuan

Kesetaraan gender dalam urgensi manfaatnya memenuhi aspek kesejahteraan sosial. Penting menjadi fondasi yang kokoh bagi stabilitas dan harmoni sebuah bangsa. Berlaku dalam konteks pencegahan radikalisme dan terorisme, serta penggerakan sikap nasionalis yang inklusif, kesetaraan gender menjadi elemen krusial yang tidak bisa diabaikan. Sebab dengan mengabaikan salah satu keterlibatan gender, keharmonisan bangsa tetap belum terwujud. 

Dengan mengakui dan memperjuangkan kesetaraan hak dan kesempatan antara jenis kelamin, kita tidak hanya membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis tetapi juga membentuk pertahanan yang kuat terhadap ideologi-ideologi radikal yang berpotensi merusak keberagaman dan stabilitas sosial. Apabila membaca radikalisme, dalam teori kekerasan Neumann menyebutkan ada lima fase yang dapat membuat seseorang terpengaruh paham radikalisme. 

Kesetaraan Gender Sebagai Upaya Pencegahan Radikalisme Terhadap Perempuan

Lima fase tersebut di antaranya adalah kondisi latar belakang dari rasa ketidakadilan, kebutuhan emosional dari titik jenuh, mulai terpapar dari pertemuan dengan ideologi radikal, kemudian individu yang berpengaruh dari narasi doktrin, hingga kemudian menormalisasi kekerasan. Mengutip penjelasan Nur Rofiah dalam kesempatannya pada pembahasan Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) menyebut bahwa radikalisme dalam beragama biasanya dikonotasikan dengan keterlibatan aktor laki-laki atau kacamata patriarki. Perempuan memiliki peran penting dalam gerakan radikalisme agama. 

Awal perempuan sebagai subjek perilaku ekstremis adalah sebagai pemain pendukung bagi laki-laki. Perempuan terkadang dikaitkan degan radikalisme atau kekerasan yang menarik untuk berperang dan perannya dibuat sebagai kepentingan. Kehadiran perempuan menawarkan bantuan moral dan material. Misalnya, membeli zat mentah untuk mengumpulkan bom dari bahan keluarga, memberikan makanan, menyampaikan pesan khusus untuk pelaku individu, dan keserbagunaan lain di dekatnya. 

Layaknya di Indonesia sendiri perempuan dikatakan sebagai pelaku bom bunuh diri karena berbagai manipulasi oknum teroris untuk merendahkan perempuan. Perempuan menerima bahwa aktivitas mereka merupakan jihad melawan ketidakadilan sehingga upaya yang dilakukannya adalah menhancurkan permainan kotor di bumi ini. 

 

Ketidakadilan Gender: Sumber Masalah Radikalisme

Ideologi radikalisme agama dihayati sebagai kebenaran tunggal agama sehingga tafsir agama yang berbeda dipandang sebagai kesesatan. Cara kerja radikalisme berkelindan dengan sistem patriarki karna keduanya sama-sama memiliki pola relasi kuasa yang timpang, yakni pihak yang lemah pasti tunduk, bahkan secara mutlak, pada yang kuat. 

Radikalisme dalam beragama memiliki ciri narasi perang melalui konsep jihad. Permainannya,  posisi perempuan dalam arus radikalisme beragama itu semakin kuat sangat dimungkinkan dijadikan alat seksual dan mesin reproduksi.

Keterkaitan radikalisme dan perempuan dalam mesin reproduksi adalah karena perempuan dimungkinkan untuk menjadi mesin produksi guna melahirkan anak. Demikian juga dalam hal poligami, satu laki-laki dapat memiliki empat mesin produksi untuk melahirkan jihadis. Pun, keberadaan alat kontrasepsi akan tertolak karena alat itu menjadi penghalang lahirnya jihadis. Sehingga dalam hal ini patriarki dan radikalisme sangat berjodoh.

Ketidakadilan gender pada akhirnya menjadi akar masalah memicu tumbuh pesatnya sikap radikalisme dan terorisme dalam masyarakat. Dalam hal ini, ketika perempuan tidak merasa diakui atau mendapatkan perlakuan yang adil, hal tersebut akan menciptakan ketidakpuasan dan alienasi yang menjadi sarang bagi paham-paham ekstrem. Sehingga dari perasaan tidak adil ini akan memicu kemarahan dan frustasi yang kemudian dieksploitasi oleh kelompok radikal untuk merekrut anggota baru. 

Banyak permasalahan ketidakadilan gender menjadi penyebab munculnya radikalisme maupun diskriminasi agama. Selain perempuan ditempatkan pada posisi lemah, stigma yang melekat pada perempuan juga menjadi sumber masalah dalam tatanan sosial. Perempuan dinilai radikal biasanya terlihat dari pakaian yang dikenakannya. 

Dengan memakai pakaian tertutup syar’i dan bercadar sehingga yang terlihat hanya tesisa mata dan telapak tangan. Stigma ini menunjukkan bahwa perempuan menjadi sumber fitnah.Padahal, kategorisasi pelaku terorisme yang dilekatkan dengan perempuan berkerudung panjang, berbaju syar’i dan bercadar adalah persepsi yang fatal. Sehingga perempuan dalam radikalisme sangat dirugikan akibat dari stigma maupun dorongan perekrutan yang merugikan perempuan. 

Selain itu, di lingkup pendidikan dampak dari radikalisme agama salah satuya ketika hadir kebijakan berbusana muslim di sekolah umum. Pasalnya, dalam kejadian lain, perempuan ketika sudah tergabung dalam kelompok radikal, mereka memiliki keinginan kuat dalam perjuangan yang diyakini, yaitu jihad melawan kezaliman. Para perempuan ini aktif mengikuti pengajian dan aktif dalam kegiatan anti kafir. 

Kebijakan intoleran ini mewajibkan siswi untuk berjilbab tanpa melihat latar belakang agama atau kepercayaan siswi. Aturan ini menjadi kurang tepat untuk diterapkan di sekolah umum karena pada akhirnya untuk menguatkan identitas Islam dalam bermasyarakat di Indonesia sebagai mayoritas. Beberapa aspek diskriminasi dalam aturan ini terdapat pembatasan pada hak asasi manusia atas kebebasan berekspresi. 

 

Keterhubungan Kesetaraan Gender sebagai Pencegahan

Kesetaraan gender tentu tidak hanya menghilangkan ketidakadilan terhadap perempuan, tetapi juga memperkuat jaringan sosial dan solidaritas dalam masyarakat. setiap individu saat diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang dan berpartisipasi akan mencipakan ikatan yang lebih kuat antarwarga negara. Dengan solidaritas inilah menjadi pertahanan yang efektif terhadap upaya-upaya radikalisme yang mencoba memecah-belah masyarakat.

Pelibatan perempuan utamanya dalam upaya menangkal radikalisme harus menjauhi generalisasi stereotipe gender yang berbahaya terhadap perempuan. Sejalan dengan ini, beberapa hal ditemukan dalam situasi khusus. Pertama, tidak membayangkan bahwa perempuan hanya selamat dari fanatisme kekerasan atau pengaturan dalam pertempuran melawannya. Kedua, tidak dengan mengikutsertakan perempuan begitu saja karena kemampuannya sebagai ibu dan pasangan, tetapi juga mempertimbangkan pengalaman dan penguasaannya. Ketiga, membahas perempuan tidak hanya tentang konteks perempuan dan seks, tetapi juga soal realitas mereka di tingkat kehidupan. Keempat, melibatkan laki-laki sebagai kaki tangan dan sekutu dalam perang melawan radikalisme, bukan menempatkan mereka sebagai musuh perempuan. 

Menurut David Little dari Lies Marcoes melihat bahwa peran agama membuat signifikan dan jelas dalam kerjasama, terutama dalam hermeneutika perdamaian, jalinan penuh kasih, dan perhatian yang eksklusif dan perjanjian non-agresi. Perempuan hakikatnya adalah sumber harmoni yang signifikan dalam mengalahkan bentrokan dan penghianatan. Sehingga jelas bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki amanah melekat. Mandat kemaslahatan itu berlaku untuk kedua belah pihak dalam ruang mana pun. Mendudukkan semua dalam posisi subek penuh meniscayakan mendudukkan setiap orang sebagai manusia seutuhnya. 

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top