Kekuatan Perempuan Sambut Kembali Mantan Napiter

Bayangkan seorang ibu yang berani mempertaruhkan segalanya demi harapan sembuh bagi anaknya. Dibutakan oleh propaganda, ia terbang jauh ke Suriah dengan janji fasilitas kesehatan modern untuk anaknya yang autis. Namun, harapan itu sirna, berganti menjadi kenyataan pahit hidup di wilayah konflik. Ketika akhirnya ia kembali ke tanah air, apa yang menantinya bukan hanya stigma, tetapi juga perjuangan panjang untuk kembali diterima di tengah masyarakat. Di sinilah peran perempuan lain, sesama ibu, menjadi titik terang untuk mengulurkan tangan, mendengarkan dari hati ke hati, dan membantu mereka menemukan jalan pulang. Kekuatan empati dan kolaborasi inilah yang membuktikan bahwa wanita memiliki peran strategis dalam membangun kembali kehidupan dan harmoni sosial.

Namun, ini bukan sekadar kisah individu. Ini adalah cerminan dari betapa pentingnya kekuatan perempuan dalam menghadapi tantangan pasca-konflik. Dari mendampingi korban hingga mendukung proses pemulihan sosial, perempuan memiliki keunggulan unik yang menjadikan mereka agen perubahan yang tak tergantikan. Mengapa? Karena perempuan tidak hanya berperan sebagai penopang keluarga, tetapi juga sebagai penjaga keutuhan komunitas.

Kekuatan Perempuan Sambut Kembali Mantan Napiter

Wanita memiliki peran strategis dalam pencegahan, perlindungan, partisipasi, serta upaya pemulihan sosial pasca-konflik. Hal ini semakin nyata dalam proses reintegrasi sosial mantan deportan dan narapidana terorisme (napiter). Pendekatan berbasis empati dan kolaborasi menunjukkan bagaimana kekuatan perempuan dapat menjadi motor penggerak perubahan di masyarakat.

Mega Prianti, yang telah bekerja dengan organisasi EMPATIKU sejak 2017, membuktikan bahwa empati adalah kunci dalam mendekati para deportan dan mantan napiter. Banyak perempuan yang menjadi korban propaganda ISIS, seperti janji adanya fasilitas kesehatan modern di Suriah, memilih meninggalkan tanah air demi harapan sembuhnya anak-anak mereka. Kesadaran bahwa mereka adalah korban kondisi dan propaganda mengubah cara pendekatan menjadi lebih manusiawi dan penuh empati.

Dilansir dari podcast bersama tim WGWC Talk, pada tahun 2018, Mega terlibat dalam sebuah proses reintegrasi sosial mantan narapidana terorisme (napiter) di Depok, yang mengisahkan pengalaman mendalam. Salah satu kasus yang ditangani adalah seorang ibu napiter yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus, yaitu autisme. Ibu ini menghadapi kesulitan mencari sekolah yang dapat memberikan terapi gratis untuk anaknya, tanpa mempertimbangkan latar belakangnya. Dalam situasi ini, Bu Mega bersama tim EMPATIKU berupaya untuk memberikan solusi dengan menjalin komunikasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk Luran dan Kepala Sekolah setempat, untuk memastikan anak tersebut mendapatkan akses pendidikan yang layak tanpa memandang latar belakang sang ibu.

Bu Mega memandang bahwa peran perempuan sangat penting dalam proses reintegrasi sosial ini. Oleh karena itu dengan bantuan Lurah setempat, ia membentuk Tim Tangguh, yang terdiri dari tokoh-tokoh perempuan setempat, untuk membantu mengawal proses tersebut. Bu Mega percaya bahwa pendekatan berbasis perempuan dapat mempermudah komunikasi dan membangun kepercayaan di antara masyarakat.

Di lapangan, pendekatan ini dilakukan melalui metode dialog reflektif terstruktur, yang bertujuan untuk membangun pemahaman dan membuka ruang diskusi antara individu. Dengan pendekatan komunikasi yang penuh empati, tim berhasil mengajak masyarakat untuk melihat masalah ini dari perspektif kemanusiaan dan memberikan kesempatan kedua kepada mantan napiter untuk diterima kembali ke dalam masyarakat. Proses ini menunjukkan bagaimana peran perempuan dalam masyarakat dapat mempercepat proses pemulihan sosial dan membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.

Hal ini menunjukan bahwa perempuan memiliki kemampuan luar biasa dalam membangun kepercayaan. Dalam proses reintegrasi, tokoh-tokoh perempuan menjadi ujung tombak untuk mendekati komunitas. Mereka hadir sebagai role model yang mampu membuka ruang dialog di masyarakat. Tim Tangguh, misalnya, mengedepankan pendekatan personal satu per satu, menjelaskan situasi para eks deportan dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya inklusi sosial.

Kerjasama ini menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan bukan hanya untuk menyelesaikan masalah keluarga tetapi juga menjadi solusi bagi konflik sosial yang lebih luas.

Proses reintegrasi sosial adalah perjalanan panjang yang membutuhkan waktu dan konsistensi. Dimulai dari rehabilitasi individu hingga pembauran kembali ke masyarakat, setiap tahap membutuhkan dukungan dari semua pihak. Mega Prianti bersama timnya telah membangun sistem yang tidak hanya fokus pada eks deportan, tetapi juga menyiapkan masyarakat untuk menerima mereka kembali.

Sekali lagi, perempuan memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mendukung proses pencegahan, perlindungan, partisipasi, relief, dan recovery sosial. Dalam konteks reintegrasi eks deportan, pendekatan berbasis empati dan kolaborasi menunjukkan bahwa peran perempuan tidak hanya sebagai pendamping, tetapi juga sebagai agen perubahan yang tangguh.

Dengan menumbuhkan kesadaran bahwa setiap orang berhak atas kesempatan kedua, kita tidak hanya membantu individu untuk kembali ke masyarakat tetapi juga membangun fondasi bagi perdamaian yang berkelanjutan. Perempuan, dengan kekuatan empatinya, adalah jantung dari transformasi sosial ini.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top