Di desa tempat saya tinggal, saya mendirikan sebuah tempat yang saya sebut Kawan Kecil. Awalnya, Kawan Kecil hanyalah ruang kecil di rumah saya, tempat belajar sederhana bagi anak-anak sekitar. Namun, seiring berjalannya waktu, tempat ini berkembang menjadi lebih dari sekadar ruang belajar, melainkan menjadi komunitas kecil yang dirawat dengan penuh cinta, tempat anak-anak belajar bukan hanya pelajaran sekolah, tetapi juga nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan literasi yang lebih mendalam.

Anak-Anak sebagai Target Rentan
Keputusan saya untuk membangun Kawan Kecil di desa bukanlah tanpa alasan. Desa sering kali memiliki keterbatasan dalam hal akses pendidikan dan fasilitas yang memadai. Banyak anak-anak di desa saya yang tidak memiliki tempat belajar yang layak atau bahkan akses yang cukup untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Di era digital ini, anak-anak menghadapi berbagai ancaman serius, salah satunya adalah risiko terpapar ideologi radikal melalui media sosial. Kelompok ekstremis semakin gencar menggunakan platform digital untuk merekrut anggota baru, termasuk anak-anak dan remaja. Anak-anak di desa sering kali menjadi target rentan karena keterbatasan akses pendidikan kritis, kurangnya pengawasan orang tua, dan minimnya pemahaman tentang literasi digital. Bahkan, kasus perkawinan anak kerap menjadi pintu masuk eksploitasi, termasuk perekrutan ke dalam jaringan ekstremis.
Media sosial sering digunakan sebagai alat untuk memanipulasi emosi anak-anak. Dengan konten yang terlihat “menarik,” seperti video pendek, meme, atau cerita inspiratif yang dibumbui dengan narasi religius atau nasionalis ekstrem, kelompok radikal memanfaatkan rasa ingin tahu, ketidakpuasan, dan pencarian identitas anak-anak. Mereka juga mengeksploitasi rasa kesepian atau pengalaman diskriminasi untuk membangun keterikatan emosional. Tanpa filter kritis, anak-anak mudah percaya bahwa narasi tersebut mewakili kebenaran, yang pada akhirnya menyeret mereka pada pola pikir ekstrem.
Kekerasan Berbasis Gender di Kalangan Anak-Anak
Selain menjadi target rekrutmen kelompok ekstremis, anak-anak terutama anak perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Kelompok radikal sering memanfaatkan isu-isu gender untuk menarik simpati. Misalnya, mereka menampilkan narasi “perlindungan” bagi perempuan atau menjanjikan “peran mulia” dalam kehidupan domestik sebagai istri atau ibu dalam komunitas mereka. Padahal, di balik itu, perempuan sering kali dipaksa untuk tunduk dalam sistem patriarki yang menindas, bahkan menjadi korban kekerasan fisik dan seksual.
Di Kawan Kecil, kami menekankan pentingnya literasi digital untuk melindungi anak-anak dari bahaya ini. Setiap minggu, anak-anak saya bersama anak-anak berdiskusi tentang konten yang mereka temui di media sosial. Remaja SMP mulai mahir menganalisis dan membantu saya menjadi pemandu untuk adik-adiknya yang masih SD untuk memverifikasi informasi, mengenali tanda-tanda manipulasi, dan mengembangkan pola pikir kritis. Dengan pemahaman ini, mereka dapat membedakan antara informasi yang valid dan propaganda berbahaya.
“Bu Fatwa, bagaimana kita tahu bahwa suatu berita itu benar atau palsu?” tanya salah satu kawan kecil Dari pertanyaan itu terpantiklah semua hal yang pernah mereka tonton, bagaimana mereka menilai sesuatu, sehingga saya bisa menganalisis kebutuhan pengetahuan mereka. Kami kerep bermain dan berdialog untuk menganalisis contoh kasus seperti berita palsu atau komentar provokatif yang memicu kebencian. Kegiatan ini memberikan mereka kemampuan untuk berpikir logis dan tidak mudah terpengaruh.
Selain literasi digital, seni menjadi alat penting untuk membangun kesadaran anak-anak tentang perdamaian. Melalui kegiatan seperti menggambar, menulis cerita, dan bermain peran, anak-anak diajak untuk mengekspresikan perasaan mereka dan belajar memahami sudut pandang orang lain. Misalnya, dalam sebuah drama bertema toleransi, anak-anak memerankan tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang yang berbeda. Ini membantu mereka memahami pentingnya menghormati keberagaman dan menolak kekerasan sebagai solusi.
Pendidikan Agama yang Damai
Setiap hari Senin hingga Jumat, anak-anak di Kawan Kecil membaca buku bersama. Tidak hanya untuk menambah pengetahuan, tetapi juga untuk membangun kebiasaan baik dalam diri mereka. Buku yang kami pilih bukan hanya tentang pelajaran sekolah, tetapi juga cerita-cerita yang mengajarkan tentang kehidupan, perdamaian, dan kesetaraan. Kami diskusikan buku-buku tersebut secara bersama-sama, memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengungkapkan pendapat mereka, bertanya, dan berbagi cerita.
Suatu hari, ketika kami sedang membaca buku anak tentang kemanusiaan dan perdamaian, salah satu anak dari kelas SMP, Rafi, bertanya, “Mbak Fatwa, kenapa sih ada orang yang suka bikin kekerasan, bahkan sampai terorisme? Apa mereka nggak tahu kalau itu salah?”
Saya terdiam sejenak. Ini adalah pertanyaan yang penting. Anak-anak ini mulai memahami dunia di luar mereka, dan saya tahu saatnya untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam. “Bila, memang benar, ada banyak orang yang terlibat dalam kekerasan, terorisme, bahkan perang. Tapi mereka biasanya berpikir kalau mereka melakukan itu untuk tujuan yang baik, meskipun itu salah. Ada yang merasa bahwa dengan kekerasan mereka bisa merubah dunia, padahal justru kekerasan membuat dunia lebih rusak.”
“Jadi, kalau begitu, kita harus ngapain, Mbak?” tanya Bila, tampak serius.
“Salah satu yang bisa kita lakukan adalah memahami agama kita dengan baik,” jawab saya. “Islam mengajarkan kita untuk menyebarkan kedamaian. Jadi, kalau ada orang yang mengatasnamakan agama untuk menyebar kebencian atau kekerasan, itu bukan ajaran Islam yang sebenarnya. Kita harus berpikir dengan kepala dingin dan menggunakan akal sehat, agar tidak terhasut oleh hal-hal yang bisa merusak kedamaian.”
Di sisi lain, Ayu, yang masih duduk di bangku SD, dengan polos bertanya, “Tapi, Mbak Fatwa, kenapa sih ada orang yang tega menyakiti orang lain? Bahkan kadang tanpa alasan yang jelas.”
“Sebabnya bisa banyak, Yu. Ada yang merasa marah atau kecewa, ada yang merasa tidak didengarkan, dan ada juga yang mungkin tidak tahu cara yang benar untuk menyelesaikan masalah. Tapi, kita sebagai umat manusia harus bisa memilih cara yang baik, yang damai, dan yang penuh kasih sayang, seperti yang diajarkan dalam agama kita,” jawab saya.
Sebagai bagian dari pendidikan, agama Islam (karena kami semua muslim) memegang peran yang sangat penting. Namun, kami berusaha untuk mengajarkan agama dengan cara yang lebih dalam dan kontekstual. Anak-anak di Kawan Kecil diajarkan bahwa Islam bukan sekadar mengikuti aturan, tetapi lebih pada pemahaman yang mendalam tentang ajaran kasih sayang dan kedamaian. Dengan memahami Islam sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam kita tidak hanya belajar untuk beribadah, tetapi juga bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan alam dengan penuh kasih, menghargai perbedaan, dan menciptakan harmoni dalam kehidupan sehari-hari.
Seiring berjalannya waktu, hasil dari berbagai kegiatan yang dilakukan di Kawan Kecil mulai terlihat. Anak-anak tidak hanya lebih memahami dunia, tetapi mereka juga menunjukkan sikap empati yang tinggi. Ketika ada temannya yang sakit, mereka bergotong royong membantu tanpa diminta. Mereka lebih peka terhadap lingkungan sekitar, saling mendukung ketika ada yang mengalami musibah, dan mereka belajar untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan.
Meskipun anak-anak SD masih perlu banyak latihan untuk bisa berpikir lebih logis dan tidak mudah terhasut, mereka mulai menunjukkan kemajuan. Mereka mulai berpikir lebih terbuka, lebih memahami arti perdamaian, dan memiliki kesadaran sosial yang lebih tinggi. Bagi saya, Kawan Kecil bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah tumbuh bagi anak-anak dan saya pribadi.