Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya dan sahabat saya Tiara (nama samaran). Suatu ketika, kami berdua ngafe di warung kopi yang ada di sekitar lingkungan kampus Islam; karena memang itulah universitas tempat kami berkuliah. Pada mulanya kegiatan kami berjalan biasa saja. Saya sibuk berkutat dengan laptop untuk mengerjakan tugas, sama halnya dengan Tiara.
Hingga datang satu teman sekelas kami; perempuan, menghampiri kami, ikut bergabung di meja kami, dan melontarkan satu pertanyaan ‘fatal’ setelah basa-basi singkatnya kepada kami. “Tiara kamu kok enggak pakai kerudung? Kamu kan Muslim?”. Tiara kala itu terdiam seperti mati kutu, karena memang hanya dia perempuan di meja kami yang tidak mengenakan jilbab.

Sebelum cerita ini saya bawa ke mana-mana. Saya ingin menyoroti perihal ujaran yang dilontarkan teman perempuan kami kepada Tiara. Saya yakin jika hal tersebut tidak hanya dialami oleh Tiara, melainkan banyak Muslimah lain yang tak berjilbab mengalami kejadian hampir serupa.
Dinamika Norma Pemakaian Jilbab Bagi Perempuan Muslim
Fenomena tentang perempuan dan jilbab diakui masih menjadi perdebatan tidak berujung di kehidupan sosial keberagamaan kita. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara lain yang memiliki komunitas muslim. Misalnya kasus Mahsa Amini (2022) di Iran yang meninggal karena dianiaya oleh polisi moral lantaran dianggap tidak menggunakan jilbab sebagaimana mestinya (sedikit dari rambutnya terlihat). Dari kejadian tersebut muncul aksi protes para perempuan Iran membakar jilbab dan memotong rambut sebagai ekspresi kebebasan.
Berkebalikan dengan itu, terjadi kasus tentang jilbab di India (2022). Sebuah institusi pendidikan di Karnataka mengeluarkan aturan pelarangan berjilbab bagi siswi muslim di lingkungan sekolah yang berujung pada aksi protes antara komunitas muslim dan hindu sayap kanan di sana.
Meski belum melahirkan gerakan protes besar seperti yang terjadi di Iran dan India, tapi persoalan jilbab sebagai “simbol agama” tersebut berperan signifikan terhadap munculnya kontroversi dan kontestasi dalam kehidupan sosial beragamaan di Indonesia. Leila Ahmad dalam argumennya berjudul Veil of Ignorance di Foreign Policy Magazine (2022), memberi dua perspektif terhadap praktik berjilbab: jilbab sebagai alat penindasan, seperti yang terjadi di Iran, dan sebaliknya, sebagai simbol pembebasan, seperti yang terjadi di India.
Dualitas praktik berjilbab tersebut sejatinya pernah terjadi di Indonesia. Kala Orde Baru, jilbab menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintahan otoriter Soeharto yang menerapkan larangan penggunaan jilbab di instansi pemerintahan, dan membiarkan stigma buruk terhadap perempuan berjilbab berkembang; perempuan berjilbab sering diasosiasikan dengan kelompok radikal, tidak trendi, dan kuno.
Sekarang, justru sebaliknya. Jilbab seolah menjadi standar baru identitas perempuan Muslim di Indonesia. Ia selain merupakan bentuk fesyen, juga menjadi standar yang dianggap mewakili kriteria perempuan muslim ideal. Sehingga, para Muslimah yang tak mengenakan jilbab dipandang tidak utuh dalam menjalankan syariat Islam.
Perspektif ini pun akhirnya mengundang persoalan, ketika jilbab tidak lagi menjadi pilihan bebas perempuan di Indonesia. Jilbab mulai menjadi alat kontrol otoritas tubuh perempuan. Banyak contoh kasus terjadi, misalnya pemaksaan penggunaan jilbab di lingkungan sekolah oleh guru atau komite sekolah, di antaranya SMPN 5,7, dan 11 Yogyakarta; SMPN 3 Genteng, Banyuwangi; dan SMAN 2 Rambah Hilir, Rokan (data tahun 2022).
Esensi jilbab sebagai simbol pembebasan jadi memudar seiring dengan tekanan yang diberikan kepada perempuan. Tubuh perempuan lagi-lagi menjadi objek atas otoritas keagamaan dan standar moralitas. Para Muslimah yang tak mengenakan jilbab dipandang sebagai umat tak saleh, sementara para Muslimah yang berjilbab tapi ahli minum khamr, ahli zina, dan suka memfitnah tertutup dosanya oleh lebarnya kain penutup kepala.
Agaknya pandangan kesalehan yang hanya menganalogikan tubuh perempuan dengan demikian merupakan pikiran dangkal dan banal. Kesadaran diri yang diwujudkan pada perbuatan atau tindakan yang tidak merugikan orang lain, bagi saya merupakan bentuk kesalehan. Terlepas dari apakah Muslimah tersebut berjilbab atau tidak. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah mengglorifikasi perempuan Muslim yang berjilbab (sudah pasti) memiliki derajat kesalehan yang lebih tinggi ketimbang mereka yang tidak mengenakan jilbab.
Setiap orang dibekali dengan hak atas kebebasan berpikir, nurani, agama, dan keyakinan, termasuk juga kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkan atau melakukannya sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, yang sudah terbungkus rapi di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Semua orang memiliki hak tersebut, yang menjadikan kebebasan kita tetap terbatasi oleh hak orang lain.
Kembali pada konteks cerita saya dan Tiara, secara kasat mata, ujaran yang dilakukan oleh teman kami dengan nada mengolok tersebut, sah saja, sebab itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang publik. Masalahnya, sergahan yang dilontarkan teman kami tersebut melukai hak kebebasan berekspresi Tiara, karena telah melewati batasan sosial dalam dimensinya.
Secara detail, hak beragama, berkeyakinan, dan berekspresi dalam aturan Hak Asasi Manusia, memiiki dua dimensi. Yaitu dimensi individual dan dimensi kolektif. Dimensi individual di sini berartikan wilayah spiritual seseorang yang sangat privat dan individual (wilayah internum), mencakup hak untuk melaksanakan agama dan keyakinannya di dalam lingkup privat. Sementara dimensi kolektif adalah wilayah tempat manifestasi agama atau keyakinan seseorang ke ruang public (wilayah eksternum).
Konteks jilbab yang dibawa oleh teman kami, tidak memiliki keterkaitan dengan sikap kesalehan yang dimiliki dan diamalkan oleh Tiara, pun juga sebaliknya. Sebagai penutup, saya tuliskan kutipan omongan Tiara yang masih terekam dalam ingatan saya, “Pakai kerudung atau enggak, kan urusanku sama Gusti Allah. Enggak ada kaitannya sama orang lain. Toh aku enggak berbuat jahat ke mereka. Dibiarin aja apa susahnya sih?”