Jihad Palsu: Manipulasi Sejarah dalam Propaganda ISIS

Merujuk data terakhir dari Kementerian Hukum dan HAM di tahun 2020, jumlah warga Indonesia yang terperangkap jebakan ISIS di Suriah mencapai 1.276 orang. Bukan hanya orang dewasa yang terdampar di sana, tapi juga perempuan dan anak-anak. Mereka hingga kini masih belum jelas statusnya karena pemerintah belum memastikan kebijakan terbaik apa yang akan diberlakukan kepada mereka, terlebih di tanah air, masih kuat ketakutan publik akan ancaman terror yang mungkin mereka gencarkan jika difasilitasi untuk pulang ke Indonesia. 

Dengan begitu banyak warga Indonesia yang terjebak di sana. Pertanyaan orang awam tentu mengarah pada: bagaimana mereka bisa sampai di negeri yang tengah dilanda konflik berkepanjangan tersebut? Apa strategi ISIS hingga mampu merekrut ribuan warga Indonesia untuk berperang mengorbankan nyawa?

Jihad Palsu: Manipulasi Sejarah dalam Propaganda ISIS

 

Media Sosial, Arena ‘Jihad’ Kelompok Ekstremis

Merujuk pada data riset Susanti, dkk (2023), para dedengkot ISIS banyak berselancar di media sosial untuk menyebarkan propaganda radikal dan merekrut anggota baru. Platform media sosial yang mereka gunakan pun beragam, dari Telegram hingga WhatsApp. ISIS menggunakan berbagai saluran ini untuk menyebarkan pesan-pesan radikal dalam bentuk artikel, video, buletin digital, dan pesan provokatif yang disesuaikan dengan bahasa dan budaya lokal, termasuk Indonesia. Salah satu contohnya adalah buletin digital Al-Fatihin, yang memuat pujian terhadap aksi teror dan berisi propaganda yang mendorong kekerasan.

Media sosial memungkinkan ISIS menjangkau generasi muda yang menjadi target utama perekrutan mereka. Dengan menyesuaikan pesan untuk audiens muda, mereka memanfaatkan krisis identitas dan rasa ketidakpuasan sosial yang sering dialami kelompok ini. Pola perekrutan juga melibatkan interaksi personal di grup daring seperti Telegram dan WhatsApp, di mana anonimitas dan keamanan relatif memungkinkan mereka membangun jaringan tanpa terdeteksi​. 

Dalam arena media sosial ini, secara umum mereka menjalankan empat strategi utama untuk membenarkan pandangan dan tindakan radikal mereka. Pertama, mereka mengelabui orang awam yang tidak paham sepenuhnya mengenai sejarah Islam. ISIS sering mengklaim bahwa mereka mewakili kebangkitan Islam seperti pada masa keemasan Khilafah. Dalam propaganda mereka, ISIS mengaitkan tindakan kekerasan mereka dengan konsep jihad yang dimuliakan dalam sejarah Islam. Dengan demikian, mereka berusaha menciptakan narasi bahwa perjuangan mereka adalah kelanjutan dari perjuangan para tokoh Islam masa lalu.

Selanjutnya, mereka kerap memainkan simbol dan mitos dalam sejarah Islam untuk membangun legitimasi. Pendekatan cocoklogi ISIS ini bisa dikatakan ampuh untuk memainkan logika publik yang tidak pernah mempelajari Islam dengan komprehensif. Misalnya, mereka sering menyebut nama-nama besar dalam sejarah Islam atau peristiwa seperti perang Badar untuk menginspirasi keberanian dan kesetiaan para pengikut mereka. 

Tidak hanya sebatas penyalahartian simbol dan mitos, anggota ISIS juga secara militan bergerilya di forum keagamaan. Mereka menggunakan narasi sejarah untuk memberikan kesan bahwa tindakan kekerasan adalah kewajiban agama, dengan mengabaikan konteks dan interpretasi sejarah yang lebih luas. Mereka bahkan tak segan-segan menyebarkan pandangan bahwa hanya mereka yang benar dan bahwa kelompok lain yang menolak ideologi mereka adalah kafir. Propaganda ini tidak hanya memanfaatkan sejarah tetapi juga mendistorsinya, menjadikan Islam sebagai justifikasi tindakan kekerasan terhadap sesama Muslim yang berbeda pandangan​. 

Distorsi sejarah dan agama yang dilakukan ISIS ini tentu menciptakan kebingungan di kalangan masyarakat, terutama generasi muda yang menjadi target utama. Minimnya literasi agama dan akses luas terhadap konten radikal di media sosial membuat banyak individu menjadi sangat rentan terhadap manipulasi ideologis. Fenomena ini menjadi semakin kompleks karena propaganda ekstremis sering kali dibungkus dalam narasi keadilan sosial atau pembelaan agama, sehingga terlihat menarik bagi mereka yang merasa terpinggirkan atau mengalami krisis identitas. 

Untuk melawan propaganda ekstremis yang masih massif di media sosial, meningkatkan literasi digital masyarakat harus menjadi fokus kebijakan utama pemerintah. Tidak hanya itu, publik harus dilibatkan dalam melaporkan konten berbahaya di media sosial. Pemerintah dan platform digital perlu menyediakan jalur pelaporan yang cepat dan mudah. Sehingga, jalur propaganda narasi yang dilakukan ISIS semakin sempit, dan diharapkan tak lagi memiliki ruang di media sosial kita. 

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top