Terorisme telah menyasar sejumlah masyarakat Indonesia terutama para remaja. Mereka kerap dijadikan batu loncatan untuk mencapai tujuan politiknya untuk memecah belah negara Indonesia. Bergabungnya para remaja ke kelompok radikal bisa melalui berbagai macam cara seperti media sosial, pergaulan, buku, keluarga, dan lain sebagainya. Tidak ada yang dapat memastikan ruang aman untuk menghindari paham terorisme dan alasan para remaja bergabung juga bermacam-macam. Hal ini diungkap oleh Kurnia mantan narapidana teroris yang mendapatkan pengetahuan dari temannya yang memberikan buku tentang Jihad dan Ajaran Negara Islam Indonesia (NII). Dia meyakini untuk menegakkan khilafah hanya dapat diwujudkan melalui jalan kekerasan dan perang, akhirnya dia semakin mendalami ideologi ekstrimisme hingga mencari teman yang sepaham dan belajar di perguruan tinggi untuk membuat dan merakit bom.
Pengalaman yang sama juga dilalui oleh Noor Huda Ismail yang menuliskan perjalanan hidupnya dalam buku “Blood, Tears, and Redemption. Dia menceritakan awal masuknya kelompok radikal ini melalui tradisi pendidikan pesantren dan infiltrasi ideologi ekstrimisme kepada teman-temannya saat di pesantren Al-Mukmi Ngruki yang memiliki afiliasi dengan kelompok Jamaah Islamiyah. Beberapa temannya yang tergabung dalam tindakan terorisme salah satunya Amrozi pelaku bom bali tahun 2002. Mantan teroris juga memiliki trauma berat yang berkepanjangan serta ingin menempuh jalan taubat. Dalam buku ini menggambarkan pengalaman korban yang berusaha untuk sembuh dari trauma dan kembali ke masyarakat.

Dalam podcast yang bertema “Menemani di Kesempatan Kedua: Cerita Pendampingan Anak Terlibat Terorisme”. Ibu Khariroh Maknunah menceritakan perjalanan anak korban teroris sekitar 64% memang didorong dari keluarganya, difasilitasi untuk berjihad dan pola pengasuhan yang salah. Keterlibatan anak dalam aksi teror dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni keluarga dan pergaulan/komunitas. Kaum remaja dalam tahap pencarian jati diri rentan disusupi paham radikalisme dimana kelompok ekstrem ini awalnya memberikan kenyamanan, menerima keadaan serta mengajak untuk melakukan pertaubatan atas kesalahan yang dilakukan para remaja tersebut.
Ibu khariroh selaku direktur pendampingan dari yayasan prasasti perdamaian yakni sebuah organisasi yang berfokus pada upaya deradikalisasi, rehabilitasi dan reintegrasi individu yang pernah terlibat dalam aksi terror. Yayasan ini didirikan oleh Noor Huda Ismail di tahun 2008 karena keprihatianan naiknya kasus radikalisme dan terorisme di Indonesia dengan memberikan support terhadap penyintas dan keluarga mereka untuk dapat pulih secara psikologis, sosial dan ekonomi. Adapun pendekatan dari yayasan prasasti perdamaian secara komprehensif membantu anak-anak korban terorisme adalah;
- Pendekatan psikososial, dikenal dengan fase menemani yakni memastikan dukungan person to person, memberikan advice dan insight kepada keluarga atau komunitas serta melibatkan dalam aktivitas positif dalam seni, permainan dan lain sebagainya.
- Reintegrasi sosial, keluarga harus mensupport anaknya untuk berani berbaur dengan masyarakat dan mencari komunitas lokal yang baik.
- Rehabilitasi pendidikan, anak-anak diajarkan untuk bersikap toleran baik melalui materi pendidikan serta diberikan akses pendidikan gratis agar mereka bisa melanjutkan pendidikan sekolah.
- Pendekatan segi agama, mengajarkan kepada anak-anak tentang ajaran islam yang moderat. Memberikan pemahaman bahwa islam merupakan ajaran yang cinta damai begitu juga agama lainnya yang tidak pernah mengajarkan kekerasan kepada seluruh umatnya. Hal ini perlahan akan menggantikan doktrin radikal yang ada dalam pikiran mereka.
- Peningkatan kemandirian, meningkatkan skill dan memberikan akses program pengembangan potensi diri dapat mendorong mereka untuk mencapai kemandirian finansial yang baik. Mereka memiliki hak yang sama untuk diindungi oleh negara dan dapat mengakses program-program yang ada di masyarakat.
- Kerjasama Multistakeholder, yayasan ini juga bekerjasama dengan pemerintah untuk memberikan dukungan hukum dan perlindungan anak dimana mereka masih berumur 18 tahun sehingga dilindungi oleh Undang-Undang. Kolaborasi dengan lembaga lainnya yang memiliki visi sama untuk memperluas dampak program.
Pemulihan anak korban terorisme membutuhkan waktu lama karena kita tidak bisa memaksa ideologi yang sudah tertanam kuat dalam kehidupan mereka sedari kecil. Akan tetapi, dengan pendekatan berupa dukungan psikososial, rehabilitasi dan reintegrasi sosial akan menjadi tangga untuk dapat memulihkan para korban terorisme.
Referensi
PERDAMAIAN, P. DERADIKALISASI TERORISME DAN DAKWAH PEMBERDAYAAN: STUDI PADA PROGRAM YAYASAN.
Al Adawiyah, M. R. (2020). Pola Pembinaan Mantan Narapidana Kasus Terorisme Melalui Program Disengagement Di Yayasan Prasasti Perdamaian (Bachelor’s thesis, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).
WgwcTalk, (2024). Menemani di kesempatan kedua: cerita pendampingan anak korban jaringan terorisme. [Youtube}. Diakses tanggal 13 Desember 2024 pukul 22.17 WIB. https://youtu.be/xI8gOXhtBK8?si=eGDeL-m2tVXUyLEw