Perempuan seringkali termajinalkan, masyarakat pada umumnya memandang perempuan sebagai makhluk domestik. Dalam pitutur orang sunda biasanya perempuan memiliki tugas pokok; sumur, dapur, kasur, yang mana pada konteks ini perempuan hanya diperbolehkan mengurusi hal yang sifatnya domestik saja, perempuan ditetapkan sebagai The Second Sex yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan verbial yang mengunggulkan laki-laki. Bahkan dalam konteks kebebasan beragama pun perempuan masih saja selalu mengalami kekerasan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitu kiranya yang dialami perempuan akhir-akhir ini, menurut laporan Setara Institute tahun 2020 mengenai kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, dari total 180 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi, setidaknya 12 melibatkan perempuan sebagai korban. Salah satu isu yang berlanjut adalah pemaksaan dalam penggunaan jilbab. Intoleransi dan diskriminasi juga menimpa jenazah perempuan, seperti Nuraini dan Umah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Karena penganut aliran Syiah.
Di sudut kota kembang di sana terdengar suara lantangnya perempuan yang menyerukan “kami perempuan ialah makhluk seutuhnya yang diciptakan Tuhan sebagai khalifah di bumi”. Kalimat itu bukan sekedar pernyataan, melainkan sebuah seruan yang menggugah kesadaran kolektif. Di tengah kondisi masyarakat yang acap kali memperlakukan perempuan sebagai objek atau bayang-bayang kesuksesan laki-laki, seruan ini mengingatkan kita akan hakikat sejati perempuan dalam konteks ciptaan Tuhan. Perempuan bukanlah makhluk yang setengah-setengah atau sekadar pendamping, melainkan individu yang diciptakan dengan kapasitas penuh untuk menjalankan peran sebagai khalifah di bumi.

Sebagai khalifah di bumi, perempuan memegang peran krusial dalam menjaga perdamaian, Iteung Gugat hadir menjadi udara segar bagi perempuan, memberikan ruang dan kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pembangunan perdamaian dan keadilan sosial. Inisiatif seperti Iteung Gugat membuka pintu bagi perempuan untuk tidak hanya menjadi penerima manfaat dari kebijakan perdamaian, tetapi juga sebagai actor utama yang merancang dan mengimplementasikan solusi bagi konflik dan ketidakadilan.
Perempuan sebagai Agen Perdamaian
Novi sebagai ketua Iteung Gugat menyampaikan, perempuan mempunyai kontribusi yang sangat signifikan dalam setiap diskursus, termasuk gender, semisal dalam isu keberagaman atau perdamaian, seperti adanya diskriminasi terhadap gender tertentu. Masih maraknya di beberapa sekolah yang melakukan kekerasan kepada perempuan seperti pemaksaan terhadap penggunaan hijab, diskriminatif terhadap agama lain. Dengan hadirnya peran perempuan seminimal mungkin mampu speak up terkait isu-isu tertentu. Apapun agamanya maupun keyakinannya, ia punya hak sama untuk berekspresi. Setiap isu itu perlu ada diskursus mengenai gendernya.
Hal ini senada dalam konteks WPS (Women, Peace, and Security) dimana perempuan mampu berpartisipasi dalam lingkup perdamaian, perempuan mempunyai kapasitas untuk membawa perspektif yang unik dalam proses perdamaian, baik sebagai mediator, pembangun konsensus, maupun sebagai agen perubahan. Perempuan tidak hanya berperan dalam merawat perdamaian, tetapi juga dalam menciptakan struktur sosial yang inklusif dan berkelanjutan, yang mampu mengatasi akar masalah konflik dan kekerasan secara lebih efektif.
Pentingnya Ruang Inklusif bagi Perempuan
Novi menambahkan bahwa pentingnya menciptakan ruang inklusif tidak hanya terbatas pada aspek fisik, tetapi juga pada pembentukan budaya yang mendukung kesetaraan dan penghargaan terhadap perbedaan. Dalam konteks forum lintas iman, perempuan sering kali berada di posisi yang rentan, baik sebagai penyintas maupun korban dari diskriminasi yang timbul akibat perbedaan agama dan keyakinan. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa pendekatan yang adil dan tanpa diskriminasi harus menjadi dasar dalam setiap interaksi dan dialog, termasuk dalam penyelesaian konflik berbasis agama.
Menurut Novi, ruang inklusif yang dimaksud juga mencakup kesadaran kolektif untuk menghindari stigma atau stereotip yang dapat memperburuk marginalisasi perempuan dan kelompok gender lainnya. Ini bukan hanya soal memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bersuara, tetapi juga memastikan bahwa suara mereka didengar dengan penuh penghargaan terhadap keberagaman pandangan dan pengalaman yang mereka bawa. Dalam konteks ini, perempuan memiliki peran kunci dalam meredakan ketegangan sosial, mempromosikan toleransi, serta menciptakan masyarakat yang lebih adil dan harmonis, bebas dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
Dengan demikian, untuk mencapai ruang inklusif yang sejati, diperlukan kerja sama antara berbagai pihak untuk memastikan bahwa setiap perempuan, tanpa memandang latar belakang agama atau keyakinan, mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam berpartisipasi dan mengemukakan pandangan mereka.