Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa praktik intoleransi keagamaan di berbagai belahan dunia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan (Hamayotsu, 2013; Qodir, 2016; Mietzner, 2018). Di Indonesia, bentuk-bentuk tindakan intoleransi keagamaan bukan hanya berupa diskriminasi perlakuan terhadap agama minoritas, pelarangan pendirian tempat ibadah, pembatasan aktivitas ibadah, tetapi juga terjadi di institusi pendidikan. Benih-benih intoleransi dalam Pendidikan, dapat ditandai dengan munculnya jargon “Islam Yes, Kafir No!” yang terdapat dalam yel-yel “tepuk Islam”. Terlihat sederhana dipermukaan, akan tetapi jargon ini menyimpan bahaya besar, ia bukan hanya sekedar ekspresi identitas, tetapi memiliki makna simpol polarisasi sosial yang menyemaikan kebencian terhadap kelompok yang berbeda.

Narasi Intoleransi di Balik Jargon Identitas
Wahid Foundation (2022) dalam Laporan Intoleransi Berbasis Agama di Indonesia, menemukan bahwa jargon “Islam Yes, Kafir No” menjadi slogan popular dikalangan kelompok-kelompok yang mendukung pemahaman eksklusif. Narasi tersebut berpotensi memperkuat perpecahan dikarenakan dapat membingkai realitas dalam pola pikir “kita versus mereka”. Di masyarakat yang multi kultural seperti Indonesia, seyogyanya menghindari narasi-narasi yang dapat menimbulkan permusuhan dan sikap-sikap intoleran.
“Islam Yes, Kafir No!” sebagai jargon yang acapkali didengungkan di Lembaga Pendidikan ini bekerja seperti mantra. Ia mengakar dalam imajinasi kolektif, menciptakan musuh bersama yang memperkuat solidaritas di antara kelompok, tetapi menghancurkan hubungan dengan pihak lain”, ucap Yasraf Amir Piliang, Seorang ahli komunikasi lintas budaya. Jargon ini juga sering digunakan untuk memanipulasi sentimen agama demi kepentingan politik. Dalam konteks tertentu, narasi ini berubah menjadi alat justifikasi untuk menolak keberadaan kelompok minoritas atau mempromosikan diskriminasi terhadap non-Muslim.
Menurut Siti Ruhaini Dzuhayatin, Direktur Kalijaga Institute For Justice, di tengah kompleksitas kehidupan Indonesia, kita tidak perlu menggunakan stigmatisasi yang buruk pada agama yang berbeda. Lebih baik menonjolkan hal-hal yang baik, misalnya mengajarkan anak untuk saling tolong-menolong dan kemanusiaan.
Lembaga Pendidikan Dasar: Titik Transmisi Narasi Intoleransi
Sayangnya, lembaga pendidikan dasar sering kali menjadi medium awal penyebaran narasi intoleransi. Anak-anak pada usia dini mudah menyerap ideologi dan informasi karena mereka sedang dalam fase perkembangan. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Early Childhood Education Journal menunjukkan bahwa anak-anak usia 6–12 tahun membangun fondasi nilai-nilai sosial dan moral mereka berdasarkan apa yang mereka dengar dan pelajari di lingkungan sekitarnya, termasuk di sekolah.
Studi lain oleh UNESCO menunjukkan bahwa pendidikan yang tidak mengintegrasikan nilai-nilai toleransi dan inklusivitas dapat menjadi ladang subur bagi berkembangnya prasangka dan intoleransi. Bahkan, di beberapa lembaga pendidikan dasar di Indonesia, ditemukan buku pelajaran atau kegiatan ekstrakurikuler yang memuat narasi eksklusif berbasis agama yang mengarah pada tindakan radikalisme, seperti munculnya ragam kalimat, “sabotase”, “gelora hati ke Saudi”, “bom”, “Sahid di medan jihad”. Lalu ada pula kalimat dan kata-kata seperti “rela mati bela agama”, “gegana ada di mana”, “bila agama kita dihina kita tiada rela”, “basoka dibawa lari”, “selesai raih bantai kyai”, dan “kenapa fobia pada agama” (Budi R., 2016/ tulisan ini diangkat pada 21 Januari 2016 dengan judul “Buku Anak Islam Suka Membaca Disoal, Penulis: Sudah Cetakan ke-167”, oleh Detik.com).
Tak hanya itu, hal yang paling berbahaya adalah ketika sejumlah guru di sekolah dasar, secara tidak sadar telah mengajarkan eksklusivisme agama melalui buku-buku teks atau dalam bentuk ungkapan ketika proses kegiatan belajar-mengajar. Hal ini diperkuat oleh survey dari Pusat Pengkajian Islam Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, data menunjukkan bahwa lebih dari 50% guru di Indonesia memiliki pandangan intoleran terhadap kelompok agama lain.
Pencegahan Sejak Dini: Menanamkan Nilai Toleransi di Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar adalah tahapan vital untuk mencetak generasi yang lebih toleran dan inklusif. Kurikulum yang dirancang dengan nilai-nilai toleransi dan persatuan tidak hanya membekali anak-anak dengan pengetahuan, tetapi juga membentuk pola pikir untuk memahami sesama. Namun, ini semua tidak akan terjadi tanpa guru yang siap menjadi garda depan perubahan. Para pendidik perlu diperlengkapi dengan pelatihan mendalam untuk mengajarkan inklusivitas, mampu mengenali dan mendeteksi potensi intoleransi, dan menggantinya dengan semangat kebersamaan.
Lebih dari itu, pendidikan toleransi tidak hanya selesai di sekolah, rumah adalah fondasi di mana nilai-nilai ini harus terus dipupuk. Dalam hal ini, orang tua memainkan peran yang tak kalah penting untuk memastikan anak-anak mereka tumbuh dengan pemahaman bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan. Sekolah berperan sebagai mitra, mengadakan workshop bagi orang tua agar mereka dapat menjadi teladan inklusivitas di rumah. Selain itu, membangun interaksi antar agama sejak dini melalui kunjungan ke tempat ibadah atau diskusi ringan tentang budaya dan tradisi yang berbeda dapat memperkenalkan anak-anak pada keberagaman yang harmoni.
Semua ini adalah langkah kecil yang memiliki dampak signifikan. Sebuah pendidikan yang mengajarkan toleransi dan orang tua yang melestarikan nilai tersebut di rumah, menjadi kombo yang ideal untuk menyiapkan anak-anak menjadi generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga bijak, penuh empati, dan siap menghadapi segala perbedaan. Inilah investasi sejati untuk masa depan, bukan hanya untuk bangsa, agama, tetapi juga untuk kemanusiaan.