Genosida dan Perempuan: Kisah dari Rwanda dan Pelajaran bagi Kita

Di banyak perang, apalagi genosida, penundukan atas perempuan adalah wacana penting. Menguasai perempuan harus dilakukan untuk memenangi perang. Bahkan, perempuan harus dinistakan untuk mencapaikan kemenangan. Di banyak kondisi pasca perang, perempuan pun masih dinistakan dan menjadi simbol pembungkaman negara atas warganya. Walaupun, di banyak kesempatan, perempuan masih terlibat sebagai penyintas atau korban untuk meyuarakan perlawanan atau pencegahan atas kekerasan ekstrem. 

Di Rwanda tahun 1994 terjadi tragedi kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern. Genosida atas mayoritas dari kelompok Tutsi, menjadi korban pembantaian sistematis yang dipicu oleh kebencian etnis. Selama lebih dari seratus hari, sekitar 800.000 orang terbunuh. Di tengah kekerasan tersebut, perempuan perempuan menjadi sasaran kekerasan berbasis gender yang sangat brutal. Kekerasan seksual digunakan sebagai senjata perang untuk menghancurkan komunitas Tutsi secara fisik dan psikologis.

Genosida dan Perempuan: Kisah dari Rwanda dan Pelajaran bagi Kita

Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa ribuan perempuan Tutsi diperkosa, diculik, dan dijadikan budak seks oleh milisi Hutu. Banyak yang akhirnya meninggal akibat luka fisik atau trauma psikologis yang tak tertahankan. Selain data PBB, beberapa film pernah menggambarkan krisis kemanusiaan ini, di mana perempuan digambarkan mendapatkan beragam kekerasan, seperti diperkosa, disiksa, hingga dibunuh dengan brutal.

Di sisi lain, tidak semua perempuan di Rwanda menjadi korban. Beberapa perempuan juga terlibat dalam genosida sebagai pelaku. Mereka mendukung, memfasilitasi, atau bahkan ikut serta dalam pembantaian. Fenomena ini menunjukkan bahwa peran gender dalam konflik tidak selalu linier; perempuan dapat menjadi korban sekaligus pelaku dalam konteks kekerasan ekstrem. Fakta ini mungkin menantang stereotip tentang perempuan sebagai simbol perdamaian atau kelembutan dalam setiap situasi konflik. 

Pasca perang, perempuan juga menunjukkan ketangguhan luar biasa sebagai penyintas. Setelah genosida berakhir, banyak perempuan mengambil peran penting dalam membangun kembali komunitas mereka. Mereka menjadi kepala keluarga, mendirikan usaha kecil, dan mendukung program rekonsiliasi. Kisah para penyintas ini memberikan gambaran tentang bagaimana perempuan dapat menjadi agen perubahan bahkan dalam situasi yang paling gelap.

***

Banyak dari masyarakat kita hari ini telah mengenal istilah pencegahan kekerasan ekstrem (PVE), sebagai pendekatan multidimensional dalam menangani akar penyebab kekerasan sebelum terjadi atau meletus. Di banyak konflik kemanusiaan, seperti Rwanda, selalu ada pelajaran atas pencegahan atas konflik lewat upaya PVE yang berkelindan dengan perempuan. 

Ana Mariana, akademisi, dalam bukunya “Perbudakan Seksual: Perbandingan antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru,” disebutkan bahwa penindasan dan penundukan perempuan merupakan bagian penting dari usaha memenangkan perang. Maka, ketimpangan gender kerap menjadi akar dari kekerasan berbasis gender yang muncul dalam konflik. 

Dalam tragedi Rwanda, ketimpangan ini dimanfaatkan secara sistematis untuk mendukung kekerasan terhadap perempuan Tutsi. Kekerasan seksual digunakan sebagai senjata untuk melumpuhkan komunitas secara fisik dan psikologis. Demikian pula, di Indonesia, pengalaman perempuan Gerwani pada masa pasca-1965 menunjukkan bagaimana gender dapat digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi penindasan politik dan kekerasan. Tuduhan terhadap Gerwani yang dianggap “melenceng” dari norma sosial saat itu berujung pada penghancuran organisasi ini dan marginalisasi anggotanya. 

Setelah genosida, Rwanda memberikan contoh bagaimana keterlibatan perempuan dalam proses rekonsiliasi mampu memperkuat perdamaian. Perempuan memainkan peran penting dalam sistem peradilan Gacaca, yang bertujuan menyelesaikan kasus genosida di tingkat komunitas. Peran ini menunjukkan kapasitas perempuan sebagai aktor kunci dalam pencegahan kekerasan ekstrem, baik sebagai pemimpin maupun mediator. Di Indonesia, peran perempuan dalam rekonsiliasi konflik, seperti dalam kasus-kasus konflik di Maluku atau Aceh, juga mencerminkan potensi serupa. Meski sering kali tidak diakui secara formal, perempuan menjadi penghubung antar komunitas, menjaga stabilitas sosial, dan mendukung pemulihan.

Di sisi lain, PVE juga harus mempertimbangkan bahwa perempuan tidak selalu berada di sisi korban. Dalam beberapa situasi, perempuan dapat terlibat sebagai pelaku kekerasan ekstrem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Rwanda, beberapa perempuan terlibat dalam mendukung atau melaksanakan pembantaian. 

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa peran perempuan dalam konflik tidak dapat dipahami secara sederhana atau linier. Di Indonesia, sejarah juga mencatat bagaimana perempuan dapat digunakan sebagai alat politik atau dipaksa untuk berpartisipasi dalam tindakan tertentu di bawah tekanan struktur sosial dan politik. Oleh karena itu, strategi PVE harus berbasis bukti, memahami konteks lokal secara mendalam, dan memperhatikan dinamika gender yang spesifik.

***

Baik di Rwanda maupun Indonesia, kekerasan ekstrem dan penindasan gender memiliki akar yang sama: ketimpangan, kebencian, dan polarisasi yang dibiarkan tanpa kendali. Pengalaman genosida Rwanda memberikan kita pandangan tentang pentingnya mendobrak ketimpangan gender dan memberdayakan perempuan sebagai aktor perubahan sosial. Di Indonesia, sejarah penindasan perempuan, baik dalam konteks Gerwani maupun masa Orde Baru, menunjukkan pentingnya memahami hubungan antara kekuasaan, gender, dan kekerasan.

Genosida Rwanda adalah pengingat menyakitkan tentang konsekuensi dari kebencian dan polarisasi yang tidak terkendali. Namun, dari tragedi ini, kita dapat belajar untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan damai. Perempuan, dengan segala kerentanan dan kekuatannya, memainkan peran penting dalam upaya ini. Melalui pendekatan PVE yang berperspektif gender, kita memiliki peluang untuk mencegah kekerasan ekstrem dan menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang. 

Melalui pendekatan PVE yang holistik dan berbasis gender, kita dapat mengatasi akar kekerasan ekstrem sekaligus memberdayakan perempuan sebagai agen perdamaian. Dengan belajar dari Rwanda dan pengalaman lokal, kita memiliki peluang untuk mencegah kekerasan ekstrem dan membangun masyarakat yang lebih damai dan inklusif untuk generasi mendatang. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender harus menjadi prioritas dalam setiap strategi PVE untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan tangguh terhadap ekstremisme, termasuk perang.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top