Gender dan Deradikalisasi: Pentingnya Pendekatan Inklusif

Dalam diskursus ekstremisme kekerasan, peran perempuan sering kali dipandang dalam dua sudut yang sempit: sebagai korban atau pendukung. Narasi ini mengabaikan kompleksitas keterlibatan perempuan dalam kelompok ekstremis dan pentingnya pendekatan berbasis gender dalam upaya deradikalisasi. Tanpa kebijakan yang inklusif dan sensitif gender, program deradikalisasi tidak hanya gagal menjangkau kebutuhan perempuan tetapi juga memperkuat ketidaksetaraan yang justru dapat mendorong radikalisasi lebih lanjut.  

Salah satu contoh yang relevan adalah bagaimana perempuan yang kembali dari zona konflik, seperti Suriah dan Irak, kerap menghadapi stigma ganda. Di satu sisi, mereka dianggap sebagai ancaman keamanan karena keterlibatan (baik aktif maupun pasif) dalam kelompok ekstremis. Di sisi lain, mereka juga sering dikucilkan oleh komunitasnya sendiri karena dianggap “tercemar” oleh ideologi atau pengalaman yang mereka alami. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa tanpa dukungan sosial dan reintegrasi yang tepat, perempuan dalam situasi ini lebih rentan terhadap reviktimisasi dan, dalam beberapa kasus, kembali ke jaringan ekstremis.  

Gender dan Deradikalisasi: Pentingnya Pendekatan Inklusif

Sebagai contoh, pendekatan gender dalam deradikalisasi telah mulai diterapkan di beberapa negara. Di Kanada, program rehabilitasi bagi mantan ekstremis memasukkan perspektif gender dengan memahami bagaimana pengalaman radikalisasi perempuan berbeda dari laki-laki. Program ini tidak hanya berfokus pada keamanan, tetapi juga pada aspek psikososial, seperti trauma, kebutuhan ekonomi, dan rekonstruksi identitas sosial pasca-konflik.  

Di Indonesia, program deradikalisasi yang diterapkan oleh BNPT dan beberapa LSM mulai memasukkan peran perempuan dalam upaya pencegahan ekstremisme. Namun, tantangan terbesar masih ada pada bagaimana kebijakan ini diterapkan secara efektif tanpa memperkuat stereotip terhadap perempuan. Misalnya, sering kali perempuan hanya dipandang sebagai “ibu yang bisa menyelamatkan anak-anak dari radikalisasi,” bukan sebagai individu yang juga memiliki agensi dalam membentuk narasi perdamaian.  

Kebijakan yang lebih inklusif harus mencakup beberapa hal: pertama, memahami bahwa perempuan tidak hanya objek dalam narasi ekstremisme, tetapi juga agen perubahan yang bisa berkontribusi dalam upaya deradikalisasi. Kedua, memberikan dukungan psikososial yang dirancang secara spesifik untuk perempuan, termasuk bagi mereka yang mengalami kekerasan berbasis gender selama berada di lingkungan ekstremis. Ketiga, memastikan bahwa kebijakan deradikalisasi tidak hanya berfokus pada aspek keamanan, tetapi juga aspek sosial-ekonomi, sehingga perempuan yang terlibat dalam program ini memiliki kesempatan untuk membangun kehidupan baru yang lebih stabil.  

Penting juga untuk menyoroti bagaimana inisiatif berbasis komunitas dapat berperan dalam upaya pencegahan ekstremisme kekerasan. Tokoh seperti Kalis Mardiasih, yang aktif menyuarakan isu gender dan Islam progresif, menunjukkan bagaimana narasi yang lebih inklusif dapat melawan propaganda ekstremisme. Pendekatan ini tidak hanya berusaha melawan ideologi radikal, tetapi juga mengubah cara masyarakat melihat perempuan dalam konteks agama dan politik.  

Dalam konteks global, pendekatan inklusif terhadap deradikalisasi bukan hanya soal keadilan gender, tetapi juga efektivitas. Program yang gagal memahami bagaimana ekstremisme mempengaruhi perempuan secara berbeda akan selalu memiliki keterbatasan dalam mencapai tujuan akhirnya: menciptakan masyarakat yang lebih damai dan bebas dari kekerasan berbasis ideologi. Oleh karena itu, kebijakan deradikalisasi yang berhasil harus berbasis pada keadilan sosial, bukan hanya keamanan semata. 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top