Disinformasi, Pemicu Meluasnya Kerusuhan Ekstremis Sayap Kanan di Inggris

Pada bulan Agustus lalu, Beberapa kelompok sayap kanan di Inggris melakukan aksi huru-hara di sejumlah wilayah, seperti Southport, Manchester, dan sebagainya. Para pelaku menyerbu jalan-jalan dan rumah-rumah penduduk untuk dirusak. Tidak hanya itu, masjid setempat juga tak luput dari sasaran. Merujuk pada pernyataan pengurus masjid, ketika kerusuhan berlangsung, para jamaah akhirnya mengunci diri di dalam masjid sementara beberapa orang di luar dengan membabi-buta melemparkan bom bensin dan batu bata ke arah bangunan. Menurut Kepolisian Merseyside, 53 petugas luka-luka dalam bentrokan dengan para pengunjuk rasa.

Aksi tersebut memicu kekhawatiran yang meluas di kalangan masyarakat setempat, terutama di komunitas minoritas Muslim yang menjadi target utama serangan. Pemerintah daerah mengutuk tindakan kekerasan ini sebagai ancaman serius terhadap keamanan publik dan harmoni sosial. Mereka menegaskan bahwa segala bentuk ekstremisme, termasuk kekerasan yang dipicu oleh ideologi sayap kanan, tidak akan ditoleransi.

Disinformasi, Pemicu Meluasnya Kerusuhan Ekstremis Sayap Kanan di Inggris

Meski akhirnya kerusuhan telah dihentikan dan para pelaku telah ditangkap, sejumlah pihak menyayangkan keterlambatan tanggapan pihak berwenang terhadap insiden tersebut. Mereka menilai bahwa meningkatnya ancaman dari kelompok sayap kanan selama beberapa tahun terakhir kurang mendapatkan perhatian yang setara dibandingkan dengan radikalisasi lainnya. Rachel Briggs dan Matthew Goodwin, pengamat ekstremisme sayap kanan mengatakan bahwa kerusuhan yang telah terjadi seharusnya bisa diantisipasi lebih awal. 

Sayangnya, dalam sepuluh tahun terakhir, tren dan indikasi-indikasi terkait radikalisme populis kerap diacuhkan pemerintah karena hanya dianggap sebagai ‘kenakalan remaja’ biasa. Padahal jika melihat kekacauan yang disebabkan oleh kelompok sayap kanan di beberapa kota Inggris, bisa dikatakan bahwa tindakan mereka terencana dan sangat terstruktur. Sehingga tindakan yang mereka lakukan bisa disamakan dengan kelompok terorisme, yang selama ini hanya dilekatkan pada kelompok radikal Muslim semata. 

 

Disinformasi, Pemicu Kerusuhan Sayap Kanan

Lalu, apa yang kemudian membuat mereka berani secara terbuka melakukan penyerangan terhadap masjid dan sejumlah warga Muslim? 

Keberanian kelompok sayap kanan untuk secara terbuka melakukan kerusuhan dipicu oleh sejumlah faktor, utamanya disinformasi yang muncul di media sosial. Sebelum terjadi huru-hara, terjadi penikaman pada 29 Juli di sebuah kelas tari dan yoga bertema Taylor Swift di Southport. Polisi menangkap seorang pria berusia 17 tahun di lokasi kejadian, namun namanya dirahasiakan karena tersangka masih berusia di bawah 18 tahun.

Saat itulah rumor palsu mulai menyebar di jagat internet, mengklaim bahwa seorang pencari suaka beragama Islam berada di balik serangan tersebut. Padahal, belakangan tersangka yang beberapa hari kemudian diumumkan oleh polisi sebagai Axel Rudakubana, adalah warga lokal yang lahir di Wales. Namun, pengumuman tersebut terlambat. 

Tokoh sayap kanan Inggris sudah lebih dahulu membakar emosi massa dengan mengatakan bahwa Inggris berada dalam bahaya karena arus imigran makin kencang. Belum lagi, ada yang mengatakan bahwa Inggris sebentar lagi akan ‘disyariahkan’. 

Pernyataan-pernyataan bombastis tadi telah berhasil menciptakan ketakutan dan perpecahan di masyarakat Inggris. Isu imigrasi dan Islam kemudian dijadikan alat politik oleh kelompok-kelompok ekstrem untuk meraih dukungan. Hal ini memicu gelombang kebencian dan diskriminasi terhadap minoritas, serta mengancam kohesi sosial yang telah lama dibangun. Lebih jauh lagi, sentimen anti-imigran dan Islamophobia ini telah dimanfaatkan oleh para politisi populis untuk meraih kekuasaan dengan menjanjikan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan anti-imigran.

Sebelum kerusuhan meluas, bukti di lapangan memperlihatkan begitu banyak diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Inggris Raya. Kepala eksekutif Komisi Kesetaraan dan Hak Asasi Manusia Inggris John Kirkpatrick menyebut bahwa banyak orang mengalami diskriminasi dalam hal peradilan pidana, pekerjaan, perumahan, dan kesehatan.

“Ada bukti masih adanya kesenjangan rasial dan ketimpangan dalam menikmati hak, khususnya bagi kaum gipsi, pelancong Romani, kelompok etnis kulit hitam Pakistan dan Bangladesh,” kata Kirkpatrick.

Selain kelompok etnis tersebut, secara umum warga non kulit putih juga sering diperlakukan tidak adil, “pelanggar kulit hitam dan mereka yang berasal dari etnis campuran juga lebih mungkin menerima hukuman penjara dibandingkan dengan pelanggar kulit putih,” ujar John menambahkan. Fakta lain mengungkapkan bahwa orang-orang dari kelompok etnis kulit hitam di Inggris tiga setengah kali lebih mungkin ditahan berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Mental dibandingkan orang kulit putih.

Dari semua data tersebut, kekhawatiran kelompok sayap kanan menjadi sangat berlebihan dan tidak masuk akal. Kebijakan publik yang ada realisasinya malah kerap meminggirkan kelompok minoritas. Kini, dengan diaktifkannya kembali akun-akun tokoh radikal populis, ke depan alarm disinformasi akan terus menyala, dan ancaman ekstremisme sayap kanan yang selama ini diacuhkan pemerintah kian terpampang nyata. 

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top