Di Balik Ledakan: Kisah Perjuangan Korban Terorisme yang Terlupakan

Perjuangan korban terorisme di Indonesia tidak hanya berhenti pada saat ledakan bom mereda, tetapi berlanjut jauh setelahnya dalam bentuk luka fisik dan psikologis yang mendalam. Seiring berjalannya waktu, banyak korban terorisme yang harus berjuang untuk melanjutkan hidup mereka, meskipun sebagian besar bantuan yang diterima sering kali tidak mencakup semua kebutuhan mereka. Kisah-kisah dari para penyintas ini, seperti Vivi, Chusnul Chotimah, dan Ni Luh Erniati, menggambarkan bagaimana dampak terorisme tidak hanya merusak jiwa dan raga, tetapi juga mengubah seluruh arah hidup mereka. Namun, meskipun telah banyak tahun berlalu, hak-hak mereka sebagai korban sering kali tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya.

Dikutip dari podcast WGWC Grup, Vivi adalah seorang perempuan yang selamat dari serangan bom terorisme yang menewaskan suaminya. Kejadian tragis ini terjadi pada tahun 2004, ketika Vivi terjebak dalam serangan bom yang mengubah hidupnya selamanya. Selain harus berjuang untuk sembuh dari luka fisik, Vivi juga mengalami trauma psikologis yang mendalam akibat kejadian tersebut. 

Di Balik Ledakan: Kisah Perjuangan Korban Terorisme yang Terlupakan

Cerita serupa datang dari Chusnul Chotimah, salah satu korban selamat dari Bom Bali pada tahun 2002. Dilansir dari artikel Universitas Gadjah Mada, Chusnul juga harus berjuang mengatasi rasa kehilangan dan trauma yang mendalam setelah kehilangan suami dan teman-temannya dalam serangan tersebut. Meskipun luka fisik sembuh, trauma batin yang ditinggalkan oleh peristiwa tersebut tetap ada. Perjalanan panjang pemulihan Chusnul mengungkapkan betapa besar dampak dari terorisme terhadap kehidupan pribadi seseorang.

Kisah lain yang tak kalah menggugah datang dari Ni Luh Erniati, seorang ibu yang juga selamat dari ledakan bom Bali. Dalam artikel yang diterbitkan oleh Tempo, Ni Luh menceritakan bahwa kehidupan keluarganya setelah serangan bom Bali pada 12 Oktober 2002 tidak pernah sama lagi. Suaminya meninggal dalam kejadian itu, dan ia harus berjuang untuk melanjutkan hidup bersama anak-anaknya, yang juga mengalami dampak psikologis berat. Meskipun mendapat kompensasi dari pemerintah, kehidupan mereka tidak kembali normal dengan mudah. Masalah ekonomi, ketidakpastian hidup, dan trauma yang terus mengganggu menjadi tantangan besar bagi mereka. Ni Luh sendiri menyebutkan bahwa meskipun pemerintah memberikan bantuan, tidak ada dukungan yang cukup untuk membantu mereka dalam pemulihan secara holistik.

Masalah utama yang masih dihadapi oleh korban terorisme, baik Vivi, Chusnul, maupun Ni Luh, adalah kurangnya perhatian terhadap pemulihan mereka. Meski negara telah menyediakan beberapa bentuk bantuan, banyak korban yang belum mendapatkan hak mereka sepenuhnya. Akses untuk rehabilitasi psikologis dan dukungan sosial yang efektif sangat terbatas. Banyak penyintas yang terjebak dalam kesulitan emosional dan finansial, bahkan setelah sekian lama peristiwa itu berlalu. Hal ini terjadi karena adanya kekurangan dalam sistem pemulihan yang terintegrasi dan kurangnya kesadaran masyarakat dan pemerintah mengenai kebutuhan mendalam para korban. Mereka sering kali merasa terabaikan, baik dalam hal keadilan, bantuan finansial, maupun dukungan mental.

Kasus-kasus seperti ini masih sering terjadi di Indonesia karena meskipun banyak korban terorisme, perhatian yang diberikan kepada mereka belum maksimal. Pemerintah dan masyarakat cenderung lebih fokus pada penanggulangan terorisme, sementara pemulihan korban seringkali terabaikan. Banyak korban yang tidak mendapatkan bantuan yang layak untuk kembali melanjutkan hidup mereka seperti biasa, terutama bagi mereka yang kehilangan keluarga dan mata pencaharian.

Berdasarkan wawancara WGWC dengan Vivi, menurutnya solusi untuk masalah ini adalah dengan menciptakan sistem pemulihan yang lebih holistik dan terintegrasi. Vivi menekankan bahwa pemulihan korban terorisme tidak hanya terbatas pada bantuan medis dan psikologis, tetapi juga melibatkan pemberdayaan ekonomi dan dukungan sosial. Penyintas terorisme harus diberi ruang untuk berbicara, untuk mengatasi trauma mereka dengan dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat. Selain itu, Vivi juga percaya bahwa korban harus diberikan hak-hak mereka yang sesuai, baik dalam bentuk kompensasi maupun akses kepada layanan rehabilitasi yang efektif.

Sebagai penyintas terorisme, Vivi memperjuangkan hak-hak korban melalui Yayasan Keluarga Penyintas (YKP), yang memberikan bantuan langsung kepada para penyintas terorisme. Yayasan ini fokus pada pemberian akses rehabilitasi, pelatihan keterampilan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi, dan pemberian perhatian terhadap dampak psikologis yang dialami para korban.

Perhatian terhadap penyintas terorisme harus lebih ditingkatkan, dengan melibatkan peran aktif dari pemerintah, masyarakat, dan organisasi seperti YKP. Penyintas terorisme memerlukan dukungan yang lebih terstruktur dan menyeluruh agar mereka bisa pulih dan melanjutkan hidup mereka dengan baik. Pemulihan bukan hanya soal menyembuhkan luka fisik, tetapi juga mengatasi trauma psikologis, memberikan hak-hak yang adil, dan menciptakan kesempatan untuk masa depan yang lebih baik.

 

Sumber:

  1. https://ugm.ac.id/id/berita/18814-kisah-penyintas-bom-bali-dan-proses-panjang-memaafkan-pelaku-terorisme/
  2. https://www.tempo.co/politik/kisah-keluarga-korban-bom-bali-ni-luh-erniati-hidup-setelahnya-tak-lagi-mudah-27212
  3. https://www.youtube.com/watch?v=B4PSGPtQW-Y

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top