Dari Medan Perang Ke Pinggir Kehidupan: Nasib Mantan Inong Balee Pasca Konflik Di Aceh

Penyebaran radikalisme di Indonesia menjadi masalah yang sulit untuk diselesaikan dari dulu hingga sekarang. Banyak gerakan radikal yang mengatasnamakan kaum muslim untuk memerangi ideologi negara yakni Pancasila dan ingin digantikan dengan ideologi yang mengarah ke ekstrimisme. Radikalisme adalah faham atau ideologi yang menginginkan perubahan sosial, politik, atau agama secara drastis, mendasar serta dilakukan secara ektrem. Faham ini menyusup ke lapisan masyarakat yang cakupannya dari global, nasional dan lokal hingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Adapun faktor-faktor yang membentuk seseorang berbuat radikal adalah keyakinan, latar belakang pendidikan, kondisi sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Munculnya radikalisme dari segi sosial, hanya bisa dikurangi dan dicounter dengan gerakan anti-radikalisme. Konflik peperangan di Indonesia tidak hanya seputar melawan kolonialisme tetapi juga faham radikalisme yang dilakukan oleh organisasi-organisasi salah satunya adalah Inong Balee. 

Inong balee merupakan organisasi perempuan dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang jumlahnya mencapai 2000 orang. Menurut Dewan Hak Asasi Manusia (Resolution A/HR/RES/45/28) Oktober 2020, mengakui peran penting perempuan dalam mencegah dan menyelesaikan konflik serta membangun perdamaian. Committee On The Elimination Of Discrimination Against Women (CEDAW) telah mengembangkan panduan otoritatif kepada negara-negara pihak konvensi mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, posisi legislatif, kebijakan dan langkah-langkah yang sesuai untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi perempuan dalam situasi konflik yang tidak stabil. 

Dari Medan Perang Ke Pinggir Kehidupan: Nasib Mantan Inong Balee Pasca Konflik Di Aceh

Dalam diskusi WgwcTalk dengan tajuk “Membaca potensi radikalisme di Aceh” telah disampaikan oleh salah satu mantan inong balee yakni Ibu Mutia, beliau ikut bergabung kedalam gerakan Inong balee karena melihat banyak korban perempuan yang diperkosa dan mengalami ketidakadilan, ketidakberdayaan sehingga beliau ingin belajar keahlian militer untuk berperang menumpas ketidakadilan. Setelah para mantan Inong Balee telah berjuang untuk menyelesaikan konflik di Aceh dan berperan penting dalam menjaga perdamaian, akan tetapi saat ini mengalami masalah-masalah di masyarakat pasca-konflik seperti; 

  1. Stigma sosial, mereka dianggap memiliki masa lalu yang kasar karena terlibat konflik bersenjata sehingga sulit diterima oleh masyarakat di lingkungannya. Tidak hanya itu, mereka juga diceraikan semena-mena tanpa mendapatkan dukungan nafkah untuk anak, dipoligami serta diperlakukan tidak adil, menjadi istri simpanan pejabat yang dulu terkait dengan konflik dengan usia perkawinan singkat kemudian menikah lagi. 
  2. Pembatasan ruang gerak, pandangan tentang perempuan dalam keluarga masih dibatasi ruang geraknya sehingga tidak dilibatkan dalam hal apapun. Ini menunjukkan terjadi ketimpangan gender dalam rekonsiliasi, peran perempuan dalam menyelesaikan konflik di Aceh seringkali tidak dianggap walaupun inong balee memiliki kontribusi besar selama konflik Aceh, mereka tidak mendapatkan keadilan. 
  3. Ekonomi, mereka tidak memiliki keahlian dan keterampilan pendidikan yang baik pasca-konflik begitupun reintegrasi sosial belum mencakup pelatihan dan bantuan ekonomi. Hal inilah menjadi penyebab kondisi perekonomian yang buruk. 
  4. Minimnya dukungan rehabilitasi, mereka memiliki trauma berat akibat konflik dan beban sebagai kepala keluarga akan tetapi support psikologis dan sosial bagi mantan inong balee sangat terbatas. 
  5. Kurangnya representasi politik dan keterlibatan, pasca adanya MoU Helsinki, sebagian besar anggota GAM masuk ke ranah politik namun keterlibatan inong balee hanya sedikit, inilah yang membuat suara perempuan dan kebutuhan mereka tidak diperhatikan dalam kebijakan.  

Selain diskusi peran perempuan dalam konflik bersenjata juga dikupas dalam buku yang berjudul “Aceh Bersimbah Darah oleh Otto Syamsuddin Ishak” Buku ini menceritakan perjuangan dan kontribusi pasukan Inong Balee dari logistik hingga pertempuran. Akan tetapi, pasca-konflik para perempuan eks-kombatan menghadapi stigma sosial, marginalisasi, ekonomi dan proses reintegrasi sosial. Dalam buku ini membahas lambatnya proses rekonsiliasi dan kurangnya perhatian bagi korban konflik baik laki-laki atau perempuan. 

Dengan demikian solusi permasalahan ini merupakan tanggung jawab pemerintah Indonesia untuk terus mengoptimalkan program rehabilitasi, rekonsiliasi, dan reintegrasi bagi korban konflik termasuk eks-kombatan. Gerakan Aceh Merdeka juga memiliki tanggung jawab moral terhadap anggotanya yakni Perempuan Inong Balee karena merekalah yang mendominasi distribusi ekonomi dan politik hingga menyengsarakan kehidupan Inong Balee. Adapun yang dapat dilakukan masyarakat Aceh untuk bangkit memerlukan pendekatan-pendekatan yang inklusif seperti pemberdayaan ekonomi melalui pelatihan dan keterampilan. Rehabilitasi segi psikologis dan sosial, serta meningkatkan kesadaran pentingnya peran perempuan dalam pembangunan pasca-konflik. 

 

Referensi 

Nurzahra, A. T., Sumantri, S. H., & Hanita, M. (2021). Peran perempuan sebagai agen perdamaian pascakonflik Aceh (Studi kasus Liga Inong Aceh pada Reintegrasi Inong Balee Pascakonflik di Aceh Tahun 2005). Jurnal Damai dan Resolusi Konflik7(2), 206-231. 

Ulfah, M. N., Fedryansyah, M., & Nulhaqim, S. A. (2022). Inong Balee Dan Pemulihan Pascakonflik Di Aceh: Analisis Teori Kekerasan Johan Galtung. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik4(2), 117.

Rizal, M., & Hum, S. (2023). Inong Balee dalam Gerakan Aceh Merdeka.

WGWCTALK (2021), Membaca potensi radikalisme di Aceh: Inong Balee bicara keadilan transisi yang berjalan lambat. [Youtube] Diakses 12 Desember 2024. Pukul 12.20 WIB. https://youtu.be/I_h-_kkwDmc?si=aCZVYVpF4547CWSb 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top