Berbicara tentang “Ekstremisme” tak lengkap rasanya jika tidak mengulas guncangan aksi terorisme yang menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan di dunia global. Beberapa kali dunia dibuat gempar dengan beragam aksi terorisme yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.
Aksi terorisme yang terjadi menuai berbagai asumsi terkait motif yang digunakan oleh pelaku dalam melancarkan aksi terornya. Namun latar belakang paham atau ideologi ekstremisme seringkali dianggap sebagai pemicu utama terjadinya rentetan aksi terorisme.
Di Indonesia sendiri, beberapa kali media massa memuat berita tentang aksi terorisme yang berkaitan dengan sebuah paham tertentu. Sebut saja kasus bom Bali I dan II , Bom J. W. Marriot, bom serentak di 13 kota pada malam natal tahun 2000 dan lain sebagainya yang disebabkan oleh ideologi ekstremisme.
Aksi terorisme yang terjadi tentu saja berdampak pada berbagai macam aspek dalam tatanan sosial, seperi dalam hal ekonomi, kenyamanan beribadah dan trauma psikologis yang mendalam. Dampak dari aksi teror ini dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Tak terkecuali pada kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.
Perempuan seringkali mendapat stigma yang buruk, dan dianggap sebagai makhluk sekunder, oleh karena itu keterlibatan mereka dalam aksi terorisme menjadi rentan dan mudah terdoktrin. Dan karena perempuan dianggap demikian, maka keterlibatan mereka dalam aksi terorisme sulit untuk diketahui. Hal ini kemudian yang dimanfaatkan oleh para kelompok radikal dan ekstremisme untuk menyebarkan propagandanya dengan memanfaatkan peran perempuan.
Perempuan Rentan Terkena Dampak Terorisme
Menurut keterangan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana Terorisme (BNPT) keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme ini merupakan dampak dari propaganda para teroris yang menggunakan doktrin agama dalam menjaring para perempuan melalui sosial media. Pengaruh paham radikal dewasa ini sangat mudah untuk menyebar di sosial media. Hal ini telah menjadi perhatian tersendiri.
Dari Ekstremis menjadi Humanis
Narasi perdamaian dengan keterlibatan perempuan terutama yang pernah menjadi simpatisan jaringan terorisme merupakan salah satu cara mencegah perluasan paham radikalisme berbalut doktrin agama.
Alasan mengapa hal ini dapat menjadi solusi karena perempuan yang pernah menjadi bagian dari kelompok terorsime sudah paham betul bagaimana situasi dan kondisi yang ada pada saat mereka bergabung dengan kelompok ekstrimis tersebut.
Salah satu perempuan mantan narapidana terorisme (Napiter) yang kemudian menambatkan dirinya menjadi penyintas adalah Listyowati, seorang perempuan asal Kendal, Jawa Tengah.
Melansir laman JawaPos.com, Listyowati membagikan kisahnya ketika ia terjerumus ke dalam pendanaan jaringan terorisme Jamaah Anshorut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan kelompok teror global ISIS. Lis, sapaannya merupakan seorang mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Hongkong yang terpapar paham radikalisme melalui sosial media.
Pada mulanya Lis, terdoktrin ideologi kekerasan radikalisme melalui media sosial seperti YouTube, Facebook, Telegram, hingga WhatsApp. Di grup WhatsApp dan Telegram tersebut, dia dicekoki berbagai materi propaganda, termasuk dengan mengeksploitasi dalil-dalil keagamaan untuk melegitimasi aksi kekerasan.
Listyowati yang saat itu tidak mengetahui bahwa JAD adalah kelompok terorisme hanya bisa pasrah saat dirinya ditangkap oleh Densus 88 pada tahun 2020 silam.
Setelah menyelesaikan pertanggungjawabannya dimata hukum, Lis kemudian membagikan pesannya kepada khalayak umum terutama bagi perempuan yang rentan terdoktrinisasi paham radikal. Menurutnya perempuan rentan terkena doktrinisasi oleh paham radikal karena iming-iming janji manis berkedok dalil-dalil agama seperi dijanjikan masuk surga.
Lewat pengalamannya, Listyowati mengingatkan kepada para perempuan agar tidak mudah terpapar doktrin-doktrin terorisme. Menurutnya, perempuan sering kali menjadi target karena kerentanannya terhadap bujuk rayu yang menjanjikan, terutama mereka yang belum memiliki pasangan atau berasal dari latar belakang keluarga yang tidak mendukung.
Latar belakang keluarga juga menjadi sebab mudahnya perempuan terpapar paham radikal. Maka dari itu ia berpesan kepada para orang tua untuk selalu mengingatkan anak-anaknya terutama yang masih berusia remaja agar tidak mudah percaya akan iming-iming janji manis dari kelompok radikal. Peran orang tua dalam hal menjaga anak-anaknya agar tidak terpapar paham radikalisme merupakan tanggung jawab bersama baik ayah maupun ibu.
Ayah yang biasanya dianggap sebagai garda terdepan dalam menyelesaikan segala persoalan keluarga “Kepala Keluarga” tidak akan mampu berjuang sendiri tanpa adanya peran dari sosok ibu yang dalam hal ini adalah perempuan.
Sudah saatnya perempuan ikut terlibat mencegah paham radikalisme yang mengancam ideologi anak-anak dan remaja. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk upaya pencegahan tersebut. Namun yang paling mendasar adalah senantiasa untuk memberi perhatian lebih pada anak-anaknya.
Perempuan dan Seruan Melawan Ekstremisme Kekerasan
Dari kisah Listyowati, kita dapat melihat bahwa seorang mantan narapidana teroris dapat berbalik menjadi penyintas terorisme. Lewat pengalamannya, Listyowati terus menebarkan peringatan kepada perempuan agar jangan mudah terkena bujuk rayu dan bersama-sama melawan radikalisme.
Perempuan yang sejak dahulu diremehkan suara serta partisipasinya dengan kisah Listyowati ini ada seruan bagi perempuan untuk ikut serta melawan stigma bahwa “Perempuan mudah untuk dibujuk rayu oleh iming-iming manis.”, dari kelompok radikal. Jika perempuan dianggap mudah untuk terkena “bujuk rayu” kelompok radikal maka saat ini perempuan harus membalikan stigma yang melekat tersebut dengan “Perempuan juga dapat berpartisipasi mencegah penyebaran paham radikal”.
Dorongan untuk perempuan terlibat dalam pencegahan kasus radikalisme ini sejalan dengan gagasan Badan Penanggulangan Bencana Terorisme (BNPT) yang terus mendorong partisipasi perempuan dalam melakukan pencegahan aksi terorisme. Salah satu bentuk dorongan tersebut ialah lewat implementasi agenda pengarusutamaan gender dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE).
Hal ini merupakan respon yang positif karena keterlibatan perempuan dalam hal Pencegahan terorisme mulai di lirik dan memang sudah seharusnya demikian. Karena perempuan tidak dapat dianggap sebagai makhluk yang berada satu tangga dibawah laki-laki. Perempuan juga mampu berperan bersama laki-laki dalam mencegah aksi terorisme baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sosial yang lebih luas.





