Cermin Buram Toleransi : Kasus Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Sinyal Waspada bagi Keberagaman Indonesia

“Kalau membuat propaganda bahwa Ahmadiyah sesat atau bersalah, ya, silakan. Tapi, kalau meniadakan Ahmadiyah, itu tidak betul, karena bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir,” terang Gus Dur kepada wartawan di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (9/6/2018) – NU Online

Enam tahun berlalu sejak mendiang Gus Dur menegaskan bagaimana posisi Ahmadiyah di Indonesia secara konstitusi, polemik masih berlangsung hingga beberapa hari kemarin.  Meski pemerintahan telah berganti, ruang dialog antar umat beragama, termasuk internal sesama kaum Muslim belum juga menemukan kesepahaman untuk memberi toleransi pada kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah umat Ahmadiyah di Indonesia.

Cermin Buram Toleransi : Kasus Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Sinyal Waspada bagi Keberagaman Indonesia

Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang seharusnya diselenggarakan tanggal 6-8 Desember  di desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat, tidak boleh diadakan sesuai surat PJ Bupati Kuningan, dan surat PJ Sekda Kuningan, dengan alasan akan menyebabkan kondusivitas daerah terganggu. Sebagai pertemuan tahunan umat Ahmadiyah, Jalsah Salanah  memiliki sejarah panjang. Telah diadakan sejak 1891 dan memiliki tujuan utama dalam kerohanian seperti yang diungkapkan akun Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Facebook. Yaitu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, mendoakan mereka yang telah berpulang, menjalin persaudaraan antar sesama Ahmadi, serta meningkatkan pengetahuan agama. Dari tujuan yang disematkan tersebut, tak ada kalimat menggalang kekuatan atau sejenisnya, yang dianggap bisa menyebabkan konflik dan kericuhan. 

Seorang tokoh Muslim dari Indonesia, Taslim Syahlan mengamini penjelasan tersebut.  Sebagai Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Jawa Tengah, Taslim pernah berkesempatan menjadi tamu undangan Jalsah Salanah Ahmadiyah seluruh dunia yang diadakan di Inggris tahun 2023 yang lalu. Kisah pengalamannya tersebut pernah dimuat dalam laman Liputan6.com. Taslim yang bukan jemaat Ahmadiyah menyaksikan bagaimana keraguan banyak orang akan Ahmadiyah, yang sering dikatakan bukan Muslim menjadi tidak terbukti.

“Orang-orang dari 100 negara sama-sama bersyahadat. Dan, syahadat itu persis dengan yang saya ucapkan, Alquran pun sama dengan yang biasa saya baca,” kata dia. Hal lain yang menonjol adalah kemanusiaan yang ditunjukkan para pengikut Ahmadiyah, yaitu sikap ramah dan bermurah hati. “Tidak ada yang meleset dari Al Hujurat Ayat 10. Mereka datang dari segala bangsa tapi bisa membangun persaudaraan yang keren,” tambahnya lagi. Taslim juga menyaksikan sendiri bagaimana pada acara tersebut narasumber yang dihadirkan tidak hanya dari kalangan Muslim, juga non-Muslim. Hal yang nyata mendeskrispsikan bahwa Ahmadiyah tidak eksklusif. 

Kesaksian Taslim Syahlan menjadi paradoks dengan bagaimana Pemerintah Kabupaten Kuningan memaknai rencana kegiatan dengan tindak pelarangan tanpa didahului upaya mediasi dan negosiasi lebih lanjut dengan panitia dan pihak terkait. Apalagi kemudian diikuti tindakan represif pihak aparat yang berjaga, yang ditenggarai desakan dari beberapa kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan, yang terdiri dari FPI, Persada 212, Ormas Pagar Akidah (Gardah), dan beberapa kelompok kecil yang berafiliasi dengan mereka. 

Kekhawatiran para ormas yang diproyeksikan ke dalam bentuk larangan dari pemerintah dan penjagaan ketat aparat menjadi bukti nyata pelanggaran terhadap Konstitusi, yakni Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) dari UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan. Tak hanya itu pelarangan kegiatan Jalsanah Salanah merupakan pelanggaran kebebasan berserikat dan berkumpul, yang juga dijamin oleh konstitusi, yakni Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Kalau dulu Gus Dur merepresentasikan pihak Pemerintah, membela keberadaan Ahmadiyah di Indonesia; kini Pemerintah seolah sebaliknya. Memberikan sinyal ketidakberdayaan di hadapan kelompok-kelompok intoleran yang secara nyata bertentangan dengan semangat kebhinekaan dan toleransi yang selama ini justru digaungkan oleh Pemerintah sendiri.

Bukankah kita jadi bertanya-tanya, sikap Pemerintah semacam ini sangat mungkin membuka peluang terjadinya pengulangan pelanggaran atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.  Kegagalan Negara dalam melindungi dan menjamin hak atas KBB dengan membiarkan adanya persekusi terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia, jelas menunjukkan pada kita. Bahwa aspirasi politik dan kebencian yang terus-menerus dibiarkan dapat menjadi bibit dan potensi adanya ekstremisme kekerasan hingga aksi-aksi terorisme di kemudian hari. 

Sadari bahwa ini sebuah langkah mundur yang perlu kita evaluasi dan jadikan refleksi bersama, ketika banyak pihak mengupayakan ruang perjumpaan, dialog antar organisasi masyarakat, dialog lintas iman untuk mencegah keberulangan konflik terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan. 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top