Menjadi perempuan di lingkup terorisme tidak lah mudah. Selain harus menghadapi stigma masyarakat, mereka juga harus menggantikan posisi suami sebagai tulang punggung keluarga sembari mengasuh anak. Apalagi bagi mereka yang sebelumnya tidak mengetahui sama sekali apa yang dilakukan oleh suaminya. Jika pun mereka tahu, budaya patriarki membuat mereka mau tidak mau tunduk terhadap apa yang diminta oleh suaminya.
Menurut Ruby Direktur AMAN Indonesia dalam Podcast WGWC Group, Sejak 2000-2021 ada 654 insiden teror di Indonesia, dan 2022-2024 terjadi banyak sekali penangkapan terorisme khususnya penangkapan pada laki-laki yang dampaknya merubah 180 derajat kehidupan perempuan yang berhubungan dengan mereka baik sebagai pasangan, orang tua maupun keluarga.

Division for Applied Social Psychology Research (DASPR)
Hal ini pula yang pada akhirnya menghadirkan Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) pada tahun 2007 yaitu grup para scholar-activists yang tergerak untuk membantu menyelesaikan masalah sosial, terutama pada konflik antar-kelompok, isu-isu kemanusian, dan kekerasan ekstrim.
DASPR memiliki visi:
- Menjadi grup para ilmuan sosial yang peduli dengan isu-isu kemanusiaan
- Menjadi sumber data pada pemetaan isu-isu sosial, seperti konflik sosial dan hubungan antar-kelompok
- Menjadi acuan dalam kegiatan-kegiatan yang menggunakan pendekatan non-violence atau pendekatan humanistik
Dengan misi sebagai berikut:
- Mendidik dan membangun aktivitas riset yang sensitif pada isu-isu sosial dan kemanusiaan
- Menciptakan aktivitas riset dan pengembangan keilmuan yang peduli dengan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
- Terlibat di dalam organisasi kemasyarakatan yang aktif mendiskusikan berbagai cara untuk mengurangi kekerasan antar-kelompok
Sebagaimana visi dan misi DASPR, dalam podcast bersama Ruby, Erni Kurniati atau Erni menceritakan kisahnya saat mendampingi proses resiliensi para istri napiter. Nilai-nilai kemanusiaan membawa Erni pada rasa empati untuk membantu para perempuan ini bangkit dan memberdayakan diri keluar dari lingkar ekstrimisme.
Kegiatan ini dianggap oleh Erni sebagai suatu dakwah. Karena menurut Erni, tuhan menciptakan manusia beragam dan kesulitan yang dihadapi tidak serta merta membuatnya sendiri karena kita bisa keluar dari kesulitan-kesulitan tersebut bersama-sama.
Ia menjadi saksi para perempuan yang semula sangat membutuhkan bantuan untuk memberdayakan diri karena berada dalam lingkungan ekstrimisme dan terorisme justru kini mereka menjadi agen perubahan dengan hadirnya Forum Komunikasi Aktifis Akhlakulkarimah Indonesia (FKAAI) dan Forum Support Perempuan Tangguh (FOSPETA).
Sebagai seorang peneliti dan penanggung jawab program di DASPR. Erni menyelesaikan gelar sarjananya di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan gelar masternya di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan fokus studi Sosiologi dan Antropologi Agama.
Sejak 2019, ia bergabung dengan tim DASPR dan terlibat dalam sejumlah penelitian sosial dan program, salah satu bidang yang ia geluti adalah terkait keluarga mantan/narapidana terorisme di Indonesia. Erni juga merupakan koordinator Program Resiliensi Keluarga di DASPR. Selain itu, saat ini ia juga menjadi pengawas di FKAAI dan FOSPETA.
Saat bergabung dengan DASPR, Erni dilibatkan dalam program Self Empowerment yang diadakan oleh Universitas Indonesia yang dikhususkan untuk para istri napiter untuk belajar memberdayakan diri. Saat itu, diketahui bahwa kehidupan para perempuan ini sangat berliku dan bagi mereka masa bahagia di dalam kehidupan mereka adalah saat mereka menikah dan memiliki anak.
Selebihnya kehidupan dijalani oleh para perempuan ini dengan tidak mudah apalagi mereka kerap dianggap bersekongkol dengan suami, anak atau pun keluarga yang menjadi keluarga yang menjadi teroris. Padahal mereka adalah individu yang memiliki pemikiran tersendiri tentang apa arti kebahagiaan yang berbeda dengan definisi kebahagiaan versi para teroris di keluarga mereka. Seperti misalnya sesederhana menciptakan keluarga yang bahagia.
Saat program tersebut berlangsung, Erni ditugaskan untuk melakukan pendampingan secara intensif kepada para perempuan ini. Awalnya Erni bergabung sebagai asisten peneliti. Namun saat proses observasi berlangsung Erni ditugaskan dalam program Family Resilience untuk mengasuh anak-anak para napiter ketika para ibu mengikuti workshop.
Proses Membangun Kepercayaan
Untuk dapat mendampingi para perempuan di lingkup napiter, tentu Erni harus melalui proses pengenalan. Apalagi di awal program ini sangat sulit bagi Erni untuk mengumpulkan para perempuan karena dianggap mencoba mengulik-ngulik informasi terkait aksi terorisme yang dilakukan oleh suami maupun anggota keluarga lainnya.
Setelah proses pengenalan dan membuat mereka senyaman mungkin, biasanya saat workshop terjadi proses dealing pada trauma yang dirasakan oleh para perempuan tersebut yang dipandu oleh psikolog klinis dalam grup workshop. Selain itu, kegiatan ini juga mengajak para perempuan beserta anak-anak untuk jalan-jalan agar mereka bisa bergembira dan menghilangkan penat karena kegiatan ini memiliki pendekatan baik secara psikologis, sosial ekonomi, maupun ideologis.
Saat sesi konseling grup, penyelenggara tidak mendokumentasikan aktivitas yang sedang dilakukan saat itu sehingga para perempuan lebih leluasa bercerita dan berkeluh kesah. Apalagi lebih dari 50% anak-anak napiter tidak mengetahui yang sesungguhnya terjadi kepada ayahnya. Sehingga kegiatan pengasuhan yang dilakukan Erni saat workshop sangat efektif untuk mengeluarkan emosi dari para istri napiter.
Erni mendengarkan dan mengorelasikan prinsip-prinsip yang mereka yakini dengan tidak memberikan label sehingga dititik tertentu akhirnya mereka mempertanyakan atas apa yang terjadi kepada mereka selama ini. Saat itulah Erni masuk dan memberikan cara berfikir yang berbeda serta memberikan informasi lebih dalam pada hal-hal spesifik yang mereka butuhkan seperti parenting, hukum, ideologis dan sejenisnya untuk menguatkan critical thinking yang telah terbangun.
Sebuah Titik Balik
Perlahan namun pasti, perubahan dari pendampingan ini pun terlihat. Kesan baik terhadap pelaksanaan kegiatan pun bersambut gayung mulut ke mulut dari para perempuan di lingkungan yang sama untuk dapat mengakses kegiatan yang mereka butuhkan ini. Output yang didapatkan membuat mereka tergerak untuk terus mengikuti kegiatan yang Erni lakukan bersama DASPR dan juga mitra.
Secara personal para perempuan di dalam lingkup para napiter ini mulai berani menyampaikan perasaan mereka kepada para suami. Mereka bahkan lebih aware dan perhatian dengan pasangan. Seperti mencari tahu kegiatan kajian yang suaminya ikuti dan sejenisnya. Bahkan mereka yang semula menjadi objek kini menjadi subjek dan menjadi agen perubahan dengan hadirnya FKAAI dan FOSPETA untuk membantu sesama para perempuan di dalam lingkup terorisme dan ekstrimisme.