Cegah Ekstrimisme, WGWC Ajak Masyarakat untuk Berdayakan Perempuan dalam Merajut Perdamaian

Beberapa tahun ini, fenomena ekstrimisme dan radikalisme menjadi tantangan besar bagi banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Kelompok-kelompok ekstrimisme yang mengusung ideologi kekerasan dan intoleransi telah menimbulkan kerusakan sosial dan politik. Namun, terdapat satu kekuatan penting yang sering kali terabaikan dalam upaya menangkal ancaman tersebut yakni perempuan. 

Padahal, jika perempuan berdaya dan terlibat dalam merajut perdamaian, perempuan dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam mengurangi potensi ekstrimisme.

Cegah Ekstrimisme, WGWC Ajak Masyarakat untuk Berdayakan Perempuan dalam Merajut Perdamaian

Senada, memasuki 15 tahun adopsi Resolusi 1325, dunia mengalami berbagai tantangan baru pada sektor keamanan, dimana kehidupan perempuan terdampak serius. Salah satu yang paling menjadi keresahan adalah munculnya ekstrimisme kekerasan di berbagai negara, yang mengkerdilkan hak-hak asasi perempuan dan anak perempuan, bahkan PBB sangat mengkhawatirkan kekerasan berbasis gender dan seksual dijadikan taktik perang atau terorisme.

Di Indonesia, salah satu organisasi yang menyadari pentingnya peran perempuan dalam pencegahan ekstrimisme adalah Working Group  on Women Preventing Contering Violent Extremism (WGWC). Organisasi ini tidak hanya berfokus pada pemberdayaan perempuan, tetapi juga memandang perempuan sebagai garda terdepan dalam merajut perdamaian. Melalui berbagai program dan inisiatif yang dilakukan, WGWC mengajak masyarakat untuk menyadari betapa besar potensi yang dimiliki perempuan dalam mencegah radikalisasi di tingkat komunitas.

Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh United Nations Devolepment Programme (UNDP) pada tahun 2020, perempuan yang diberdayakan cenderung memiliki pandangan yang lebih insklusif dan mendukung keberagaman. Studi ini juga menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam proses  perdamaian dan rekonsiliasi memiliki dampak positif jangka panjang. 

Oleh karena itu, memberdayakan perempuan bukan hanya sebuah keadilan sosial, tetapi juga strategi yang cerdas untuk meredam potensi radikalisasi.

Namun, untuk memaksimalkan peran perempuan dalam pencegahan ekstrimisme, dibutuhkan dukungan yang lebih besar, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Hal ini yang digagas oleh WGWC.

WGWC menyadari betul bahwa pemberdayaan perempuan harus dimulai dari tingkat akar rumput. Dalma upaya tersebut, organisasi ini fokus pada pengembangan keterampilan perempuan, peningkatan kapasitas kepemimpinan, serta pemberian ruang bagi perempuan untuk terlibat dalam dialog sosial dan publik. Hal ini krusial karena perempuan memiliki peran penting dalam membentuk budaya perdamaian di tingkat keluarga dan masyarakat.

Salah satu program yang dijalankan oleh WGWC adalah menggelar konferensi “Women and PVE Conference dengan tema Empowering Women Securing Peace Lessons from Indonesia in Preventing Violent Ekstrimism” yang di gelar secara offline di Hotel Mercure Jakarta Kota dan secara online melalui ruang zoom meeting pada tanggal 12 Desember 2024.

Kegiatan tersebut dikemas menjadi empat sesi yang dibagi dalam paralel diskusi, antara lain: Sesi satu, bertema gender-sensitive approach to PVE yang dinarasumberi oleh Ruby Kholifah, perwakilan dari WGWC membicarakan inclusive peacebuilding: women at the heart of collaborative approaches to prevent violent extremism. Selanjutnya, membicarakan tentang strengthening synergy: government an civil society partnerships for gender –responsive PVE oleh Libasut Taqwa sebagai senior officer riset Wahid Foundation. Disusul oleh Marzuki Wahid, sebagai Majelis Musyawarah KUPI menyampaikan terkait the role of women ulama in promoting women’s rights in Islam.

Sesi dua, bertema intersectional approaches to preventing violent extremism yang dibawakan oleh Yeni Lutfiana, AMAN Indonesia memaparkan terkait women’s leadership in social reintegration in Lamongan city. Berikutnya tentang women as frontline defenders against radicalism: tools for early detection oleh Nur Laeliyatul Masruroh dari perwakilan C-Save. Sementara, Lindawati Sumpena perwakilan dari Peace Generation menjelaskan materi terkait enhancing empathy among youth through boardgame. Selanjutnya, Farha Ciciek sebagai Director of Tanoker Ledokombo menjelaskan community parenting an preventing recruitment among migrant worker’s children.

Sesi tiga, dikemas menjadi tiga paralel diskusi. Paralel kesatu membicarakan tentang working with credible voices through documentary film & reclaiming digital spaces: women and the fight against online radicalization yang dinarasumberi oleh Purwati (FOSPETA), Ridho Dwi R (Cinematographer) dan Arif Budi Setiawan dari Ruang Obrol. Paralel kedua memaparkan tentang the role of women in preventing financing to terrorism yang disajikan oleh Munir Kartono (Practitioner on terrorism financing issue), Ika Puspita Sari (Former terrorist convict involved in terrorism financing) dan Nisa selaku practitioner on preventing financing to terrorism. Selanjutnya, paralel 3 membincang terkait from individual transformation to collective power: the role of faith actors dipaparkan oleh Pera Sopariyanti perwakilan Rahima yang mengupas the role of women ulama to counter narratives inside prison, kemudian dilanjutkan oleh Margaret Aliyatul Maimuna sebagai the chairperson of the central board of Fatayat Nahdlatul Ulama terkait materi the role of daiyah in preventing violence extremism. Selanjutnya, dipaparkan oleh Pdt. Kristi selaku srikandi lintas iman membahas terkait promoting tolerance through dialogue city; learning from Yogyakarta.

Terakhir, sesi empat, bertemakan survivors of terrorism: navigating resistance, resilience, and pathways to negotiation. Sesi tersebut di narasumberi oleh Khariroh Maknunah dari yayasan prasasti perdamaian yang mengupas working with children affected by terrorism: an Inodonesian approach to healing an resilience. Materi selanjutnya terkait from trauma to strength: women survivors of terrorism leading the way in reconciliations and resilience yang dipaparkan oleh Vivi Nurmasari dari yayasan keluarga penyintas (YKP), terakhir dinarsumberi oleh Imam Nakhai dari Komnas Perempuan yang memaparkan terkait healing and justice: a collaborative approach to supporting survivors of violence.

Steering committe Working Group  on Women Preventing Contering Violent Extremism (WGWC) meyakini betul bahwa kegiatan ini bisa menjadi ruang praktik baik dalam menangani dan mencegah kekerasan ekstrimisme.

“Alhamdulillah ini perjalanan panjang WGWC dalam mengaktifasi, memberi ruang dari praktik-praktik baik kerja-kerja peran khusus perempuan dalam penanganan dan pencegahan kekerasan ekstrim. Kalo dihitung ke belakang, WGWC talk ini sudah melewati 33 edisi. Artinya ada 33 praktik baik, 33 cerita, 33 pengalamaan yang diangkat dalam setiap temanya. Tema-tema ini menurut saya sangat menarik sekali. Seperti yang moderator sampaikan bahwa tema-tema ini dibuat secara sesi dan paralel. Mudah-mudahan berikutnya WGWC Mendapat dukungan dari AIPJ3 berikutnya,” ucap Irfan Amali selaku steering committee Women and PVE Conference 2024 WGWC.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top