Cadar dan Stigma: Membedah Ekstremisme terhadap Perempuan Muslim di Era Hijrah

Apakah cadar yang ditutupkan ke kepala seorang perempuan akan mengirim semacam kilatan-kilatan listrik kekerasan ke otak pemakainya sehingga si pemakai langsung ingin meledakkan bom? Tidak. Lalu dari mana prasangka itu lahir? Prasangka itu lahir salah satunya dari derasnya berita tentang perempuan bercadar yang telibat dalam aksi terorisme. Berita ini kemudian membentuk kesadaran asosiatif bahwa perempuan bercadar adalah teroris. – Ust. Ahmad Z. El-Hamdi – Islami.co

Pernyataan itu dibenarkan Ainun Jamilah, co founder Cadar Garis Lucu. Dalam sebuah wawancara dengan Andini Effendi pada video yang ditayangkan di Cauldron Context beberapa tahun lalu, perempuan lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar yang juga aktif sebagai pegiat isu gender dan keberagaman dalam komunitas lintas iman, menceritakan bagaimana stigma dan upayanya menghadapi hal tersebut. 

Cadar dan Stigma: Membedah Ekstremisme terhadap Perempuan Muslim di Era Hijrah

Tidak ada kejadian teror saja, perempuan bercadar sudah mengalami diskriminasi, apalagi sesudahnya. Terutama kepada perempuan yang mengenakan cadar hitam-hitam. Untuk yang mengalaminya atau korban langsung, jelas mereka punya trauma tersendiri. Aku nggak bisa bilang Islam tuh nggak kayak gitu, sudah kejadian juga soalnya. Menyangkal pun nggak akan membalikkan situasinya, atau menyembuhkan amarah korban. Yang bisa mengobati adalah bila kita berbesar hati mengakui. Akui saja, bahwa kami sama-sama Muslim, sama-sama bercadar, cuma pemahaman dan penerapan cara beragama kami yang berbeda. Mungkin saudara kami ini memahami jihad itu adalah dengan membunuh dirinya, dan menyakiti orang lain, untuk meraih surga. Tapi kalau aku tuh, jalan menuju cinta, menuju kasih sayang adalah dengan cinta juga, bukan dengan kekerasan, bukan dengan jalan menghilangkan nyawa orang. “ 

Pernyataan Ainun itu ternyata mendapat respons yang tidak terduga dari -orang yang  ditemui. “Terima kasih, Ainun, aku sembuh berkat kamu. Kamu udah menyembuhkan trauma aku belasan tahun itu,” ujar seorang ibu yang kata Ainun, merupakan korban Bom Bali 2 yang kehilangan anak dan ibunya. 

Ainun dengan pengalamannya menjalin relasi dan membuka ruang dialog dalam berbagai kegiatan keberagaman, menjadi percaya bahwa stigmatisasi perempuan bercadar bukanlah sebuah keniscayaan. 

Kalis Mardiasih dalam tulisannya di Modjok juga menuliskan bagaimana kegiatan Ainun dengan komunitasnya telah  membuatnya takjub. 

“Seolah, member gerakan cadar garis lucu ingin berkata bahwa kami bukan pencadar yang ada dalam pikiran arus utama, atau stereotipe yang tergambarkan oleh media-media barat. Para pencadar dalam komunitas ini jauh dari kekerasan, bahkan tidak berbeda dari kalian semua.”

Pengamat dari Universitas Indonesia, Hurriyah, dalam sebuah wawancara dengan BBC Indonesia.com mengungkapkan bahwa fenomena makin banyaknya kaum perempuan di Indonesia yang bercadar, tentu tak dilepaskan dari proses demokratisasi yang berkembang.

“Ketika sistem politik lebih terbuka, munculnya kelompok-kelompok yang mengekspresikan keagamaannya secara lebih beragam itu menjadi hal yang wajar,” kata Hurriyah.

Faktor kedua, kata Hurriyah, adalah aspek penerimaan sosial dari masyarakat. Perkembangan Islam di Indonesia saat ini sangat dinamis, sementara di sisi lain informasi baik dari dalam maupun luar negeri terbuka sangat luas.

Kondisi tersebut, katanya  memberikan pengaruh, untuk membuat orang menjadi makin terbiasa dengan berbagai macam ekspresi keagamaan, termasuk pemakaian cadar.

Bagi wanita muslimah, memakai hijab memang bukan hanya menutupi kepala, tetapi juga melibatkan penutupan tubuh yang sesuai dengan aurat. Memakai hijab dengan penuh keyakinan dan kehormatan diimani sebagai bentuk nyata dari ketaatan terhadap perintah Allah SWT.

Ayat Al-Quran yang memberikan pedoman mengenai pemakaian hijab bagi perempuan adalah Surah An-Nur (24:31). Dalam ayat ini, Allah SWT menyuruh perempuan beriman untuk menutupi bagian-bagian tubuh tertentu sebagai bentuk perlindungan diri dan menjaga kehormatan.

Bila kita membaca lebih lanjut, tulisan Kalis Mardiasih di Modjok tadi, ada pendalaman makna tentang cara dan ekspresi berpakaian perempuan Muslim yang bila diamati sangat selaras dengan semangat pengarusutamaan gender. 

“Sejak dulu, Islam kita bersosialisasi dengan sawah, sungai, hutan, gunung, bukit dan lautan. Semua bentang alam itu melahirkan budaya komunal yang lekat tanpa mendiskriminasi gender tertentu.

Jika hari ini kawan-kawan melihat masih berseliweran foto pelaku bom bunuh diri dalam berita lalu menemukan perempuan bercadar sebagai pelaku tindak teror, saya ingin mengingatkan bahwa cadarnya tidak terkait dengan ideologi ekstrem dan kekerasan yang ada dalam kepalanya.”

Atas rentetan kasus teroris dan aksi intoleran yang banyak menggaungkan hijrah, Ainun juga menyampaikan pendapatnya saat mengisi forum di acara Mubadalah dan Cherbon Feminis. Bahwa hijrah tak hanya terkait dengan Hijrah berpakaian saja. 

“Hijrah pemikiran yang berwujud tindakan itu jauh lebih urgent dan krusial dari pada sekadar berubah model pakaian”. Ainun pun menegaskan lagi di penghujung wawancara dalam ruang percakapan kami.  

Cadar tidak sama dengan ekstrimisme. Simbol cadar tidak sepenuhnya mengarah kepada Islam yang sarat akan ekslusifisme maupun terorisme (kekerasan). Cadar Garis Lucu yang kami buat, hadir untuk memberi makna baru. Segala sesuatu yang bertolak belakang dengan stigma buruk yang selama ini ditempelkan kepada simbol cadar maupun perempuan yang mengenakan cadar. Cadar adalah simbol kasih sayang, penerimaan tulus, dan perayaan atas keragaman identitas perempuan maupun manusia secara keseluruhan.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top