Judul Buku: Perempuan Penggerak Perdamain
Penulis: Fachrul Misbahuddin dkk
Tebal: 166 halaman
Terbit: 2024
Penerbit: Lembaga Fahmina
Buku Perempuan Penggerak Perdamaian merupakan buku yang ditulis oleh beberapa anak muda yang punya kepedulian pada isu-isu gender dan keberagaman para penulis tersebut ialah Fachrul Misbahudin, Fitri NurAjizah, Fuji Ainnayah, Gun-Gun Gunawan, Moh Fajar Pahrul Ulum, dan Siti Robiah.
Buku Penggerak Perempuan ini merupakan kumpulan cerita dari tokoh perempuan lintas iman yang menjaga perdamaian di Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning). Terdapat 6 tokoh perempuan lintas iman yang diceritakan dalam buku ini, diantaranya ialah Alifatul Arifiati, Juwita Djatikusumah, Cici Situmorang, Ni Putu Sari, Aulia Fauziah dan Sri Rezeki.
Tokoh perdamaian yang akan kita kenal lebih dekat adalah Juwita Djatikusumah. Yaitu perempuan kelahiran Kuningan Jawa Barat, yang kisahnya menceritakan perjuangan melawan beragam bentuk diskriminasi dan menanamkan nilai perdamaian melalui seni musik.
Faktor Pendorong Menyuarakan Isu Perdamaian
Salah satu faktor yang menstimulus Juwita untuk bergerak dalam menyuarakan isu perdamaian adalah karena ia terinspirasi dari ayahnya, Pangeran Djatikusumah Maniswara Tedjabuana Alibasa Kusuma Wijaya atau biasa disapa Pangeran Djatikusumah yang merupakan tokoh toleransi dari Sunda Wiwitan. Pangeran Djatikusumah juga terkenal sebagai sosok yang ikut memperjuangkan hak-hak masyarakat Sunda Wiwitan untuk tetap memeluk kepercayaannya serta merdeka dari berbagai diskriminasi. Hal ini bisa kita lihat dari catatan sejarah bagaimana sulitnya penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan menjalankan peribadatannya dengan bebas.
Perjuangan Juwita Melawan Beragam Bentuk Diskriminasi
Kita tahu bahwa agama minoritas ini seringkali menjadi sasaran ejekan dan diskriminasi, terutama di masyarakat yang didominasi oleh satu agama tertentu. Mereka yang menganut agama minoritas sering kali menghadapi tantangan besar seperti diserang, didiskriminasi, dikucilkan di lingkungan sekitar, dicap penganut ajaran sesat, kafir, dan lain sebagainya. Yang mana tantangan ini dialami oleh Juwita. Sejak kecil hingga dewasa, perjalanan hidupnya dipenuhi dengan pengalaman pahit seperti diskriminasi, stigma negatif, dan ejekan.
Pada saat ia masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar (SD) ia menyaksikan pemandangan yang sangat menyedihkan. Umbul-umbul yang dipasang pinggir jalan untuk melaksanakan upacara adat Seren Taun dicabut paksa oleh para oknum aparat. Mereka bahkan menerobos masuk ke dapur untuk membatalkan acara adat.
Stigma negatif terhadap Sunda Wiwitan juga berlanjut dan merambat ke lembaga pendidikan. Pada saat upacara di sekolah, dihadapan Juwita, kepala sekolah membacakan SK No KEP-44/K.2.3/8/1982 yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait larangan aktivitas Sunda Wiwitan. Bahwasanya Paseban Tri Panca Tunggal (tempat yang menjadi pusat kegiatan Komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur) yang disakralkan dan disucikan oleh penganut Sunda Wiwitan dibilang sebagai tempat ajaran sesat.
Mendengar itu, Juwita sangat terpukul, sehingga ia memutuskan untuk pindah sekolah. Setelah pindah, alih-alih mendapat perlakuan setara, kepala sekolahnya malah menyuruh pindah agama. Tidak berhenti di Sekolah Dasar, ejekan dan stigma negatif terus berlanjut hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada saat ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), gurunya kerapkali menyindir Juwita dengan kata “kafir”.
Saat memasuki bangku SMA, ia masih sering mengalami diskriminasi dan stigma negatif dari gurunya. Pada saat mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), gurunya menerangkan tentang agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Bahwasanya di Indonesia ada banyak agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Kalau agama si Madrais (buyut Juwita), itu agama sempalan, sesat.
Tidak berhenti sampai di situ, stigma negatif kepada Juwita semakin menjadi, bahkan pada saat dirinya mau menikah dengan laki-laki pilihannya. Ia ditolak oleh orang tua suaminya karena meragukan latar belakang keluarga Juwita karena ia cucunya Madrais.
Menanamkan Nilai Perdamaian Melalui Musik
Tumbuh dalam stigma dan diskriminasi, perempuan Sunda Wiwitan ini berjuang menyuarakan indahnya keberagaman. Perjuangan itu bukan hanya untuk generasinya, tetapi juga demi keutuhan bangsa Indonesia. Pada tahun 2014, Juwita mendirikan Grup Seni Sekar Galuh. Grup ini pada awalnya merupakan sebuah grup paduan suara. Namun seiring berjalannya waktu, pada tahun 2016, ia menyadari daripada grup paduan suara yang ia gawangi menyanyikan lagu orang lain, lebih baik membawakan lagu sendiri.
Sehingga akhirnya ia memutuskan untuk menciptakan lagu berjudul “Pusaka Negeri”. Dengan lirik:
Mari berjabat tangan, ciptakan perdamaian, tak guna selisih paham
Kita bersatu padu, membangun jiwa baru, sadar kembali akan bangsamu
Letih sudah merintih, lelah sudah terjajah, saatnya bangkit bersatu
Agama bukan penghalang, adat bukanlah penghambat, kita tetap satu Indonesia
Pancasila pusaka negeri, merah putih berkibar sakti, Bhineka Tunggal Ika tak terbantah lagi
Bersatu seluruh rakyatnya, berdaulat budayanya, kembalikan kejayaan Indonesia
Dalam setiap lirik yang ia ciptakan sungguh sangat mengandung banyak pesan-pesan tentang pentingnya merawat dan menjaga perdamaian. Bahkan dalam lagu tersebut dijelaskan bahwa perbedaan diciptakan Tuhan bukan untuk bersaing, tetapi untuk bersanding.
Lagu Pusaka Negeri ini sudah dipentaskan di berbagai acara seperti seminar-seminar nasional, Hari Santri, Kesekretariatan Negara, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Mahkamah Konstitusi dan lain sebagainya. Berkat lagu Pusaka Negeri juga akhirnya membuat anak-anak adat Sunda Wiwitan yang awalnya minder, secara perlahan akhirnya mulai percaya diri untuk menjadi lebih berkembang.
Dari kisah Juwita Djatikusumah dapat dipahami bahwa perempuan bisa untuk ikut terlibat dan berpartisipasi dalam menyuarakan isu-isu perdamaian dan toleransi. Ramah kontribusinya bisa beragam, bisa lewat seni dan budaya atau yang lainnya. Sebab, perdamaian dan toleransi harus terus tetap dijaga.





