“Kalau kita bicara tentang terorisme, reintegrasi sosial, radikalisme, di balik itu banyak kisah yang mungkin orang gak tahu. Semakin dalam kita bertemu dengan mereka, semakin dalam kita mengulik itu, (maka) akan muncul, oh…ini perlu kita bantu.”
‘Berani berbeda’ adalah jargon yang tepat menggambarkan sosok Mega Priyanti. Perempuan berkacamata yang selama ini memberikan pendampingan kepada para perempuan yang termarjinalkan dalam pandangan masyarakat. Ia bisa melihat sisi lain dari perempuan yang dipandang rendah di lingkungannya bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat.

Namun, Priyanti tetap bergerak tanpa henti untuk memastikan mereka baik-baik saja dan bisa diterima kembali di masyarakat. Bukan hal mudah baginya, tetapi rasa kemanusiaan yang timbul di hatinya, membuatnya berjuang tanpa henti agar mereka tetap memiliki harapan untuk melanjutkan hidupnya bahkan mengembalikan mimpi-mimpi yang mungkin sudah dikubur dalam-dalam.
Bagi Priyanti, mengutuk seseorang dalam suatu masalah yang dialaminya bukan hal yang tepat namun, perlu memandang lebih luas ke sisi-sisi lainnya karena orang lain tidak pernah tahu setiap jengkal kisah yang terjadi kepada para perempuan tersebut baik itu mantan Narapidana, Deportan, Aktivis, dan lain-lainnya. Setiap mereka memiliki cerita yang berbeda-beda, yang mesti diketahui secara mendalam.
“Ada anak muda yang ingin menjadi lebih baik tetapi karena ia bertemu dengan orang yang salah sehingga jalannya juga salah. Setiap orang pernah salah, tapi kenapa tidak kita berikan kesempatan kedua?” ujarnya saat diwawancara di Podcast WGWC Grup.
Setiap perempuan memiliki irisan kisah yang berbeda-beda kata Pendiri Yayasan Empatiku itu. Sungguh kasihan jika sepanjang hidup seorang anak mantan teroris menyandang status sebagai ‘Anak Teroris’. Sebab rata-rata yang ditangani Priyanti adalah para perempuan yang memikirkan bagaimana nasib anak-anaknya di masa depan.
“Dan tentu saja status ini menyulitkan mereka di masa depan,” jelasnya. Aspek kemanusiaan yang semisal itu perlu dilihat oleh setiap manusia ungkap Priyanti. Lagi-lagi bukan hal mudah baginya untuk mengetahui kisah pelik yang telah dihadapi mereka, butuh proses yang panjang melalui beberapa pendekatan, salah satunya adalah dengan cara memperhatikan kesehatan mereka, dan jika ada juga anak-anaknya.
Dari hal itu, mereka akan melihat ketulusan hatinya yang benar-benar ingin membantu agar lekas pulih dan bisa kembali hidup seperti biasanya, “Proses pendampingan jadi teman bagi mereka. Saya juga belajar dari mereka, mereka juga belajar. Ada proses saling belajar di situ. Dia juga percaya kepada saya sebagai pendamping, dan saya juga bisa meyakinkan dia. Harus berani membuka diri. Jadi saya nanti bisa menjembatani, seperti dengan kelurahan,” lanjutnya.
Hal itu kata Priyanti yang disebut dengan ‘integrasi sosial’, harus ada kemauan dari kedua belah pihak sehingga masyarakat bisa menerima mereka kembali.
Selain proses pendekatan yang telah dilakukan di atas, ia juga melakukan ‘obrolan’ secara khusus dengan para tokoh perempuan yang ada di daerah perempuang yang sedang ditanganinya. Ia menceritakan kasus yang terjadi lalu menyampaikan kepada mereka bahwa ada perempuan di lingkungan tersebut yang membutuhkan bantuan. Proses ini ungkap perempuan paruh baya tersebut cukup mudah karena berbicara sesama perempuan yang memiliki kehidupan yang sama dan rasa yang sama.
“Artinya ketika kita bicara tentang anak, siapapun, dan perempuan manapun, kita gak pedulilah. Pasti kita akan berbuat yang terbaik untuk anak kita,” jelasnya dengan penuh semangat, “Atau bicara tentang sama-sama perempuan, ketika misalnya satu perempuan diselingkuhi oleh suaminya. Siapapun, pasti kita sebagai perempuan langsung tergerak untuk empati,” imbuhnya.