Membaca dan menyelami novel Kambing dan Hujan mengingatkan saya pada pengalaman masa kecil di desa tempat saya tinggal yang terletak di Kabupaten Lamongan. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana masyarakat di desa saya memiliki pandangan dan sikap yang sangat ekstrem terhadap organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah. Bahkan, ketika saya masih bersekolah di MI, saya ikut terbawa sikap ekstrem tersebut karena meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitar saya. Warga NU merasa keyakinan dan syariat mereka adalah yang paling benar, begitu pula warga Muhammadiyah. Sikap merasa paling benar inilah yang memicu munculnya saling menyalahkan dan perilaku intoleran.
Fenomena seperti tersebut digambarkan dengan sangat jelas dalam novel Kambing dan Hujan. Karya Mahfud Ikhwan ini berhasil meraih juara pertama dalam Sayembara Menulis Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014. Mahfud sendiri berasal dari Desa Lembor, Brondong, Lamongan.

Gambaran Masyarakat yang Ekstrem dalam Beragama
Novel ini dibuka dengan kisah cinta antara Miftah dan Fauzia yang terhalang restu karena perbedaan organisasi masyarakat. Kisah cinta mereka yang penuh konflik kemudian mengantarkan pada kisah masa lalu dua keluarga yakni, Mif dan Fauzia. Kisah yang menjadi penyebab sulitnya mempersatukan keluarga mereka. Mif adalah anak dari Bapak Iskandar, keluarga Centong Utara yang mempunyai identitas “Biru” atau Muhammadiyah. Sedangkan Fauzia adalah anak dari Bapak Moek, keluarga Centong Selatan yang mempunyai identitas “Ijo” atau Nahdlatul Ulama.
Dalam kisahnya, Pak Is dan Pak Moek sebenarnya dahulu menjalin persahabatan. Mereka sering bermain, mengembala kambing, dan belajar bersama. Keduanya kemudian terpisah lantaran Pak Muh melanjutkan pendidikan ke pesantren. Paska beberapa tahun mencari ilmu di pesantren dan kembali ke kampung, Pak Is dan Pak Moek mulai memiliki perbedaan cara pandang dalam menjalankan syariat agama. Sejak saat itulah mereka menjadi asing dan saling bersaing dalam memimpin jamaah masing-masing di Masjid Utara dan Masjid Selatan.
Gambaran sikap ekstrem dalam beragama juga ditunjukkan oleh masyarakat sekitar. Beberapa tokoh novel menunjukkan sikap, seperti merasa bahwa kelompok mereka paling benar dibandingkan kelompok lain, merendahkan pihak yang berbeda, bahkan memberikan label negatif kepada golongan lain hanya karena memiliki pandangan yang berbeda. Tidak jarang, seseorang sampai melontarkan tuduhan seperti kafir, musyrik, atau sesat kepada pihak lain. Sebutan-sebutan tersebut merupakan bentuk kekerasan verbal yang tidak hanya melukai individu yang dituduh, tetapi juga mencederai kelompok atau golongan secara keseluruhan.
Nilai Toleransi dalam Novel Kambing dan Hujan
Namun pada akhirnya, Miftah dan Fauzia berhasil mendapatkan restu dari kedua orang tua mereka dan menikah. Persatuan keluarga mereka tercipta berkat perubahan sikap Pak Is dan Pak Moek yang mulai saling menghormati dan bersikap toleran. Perubahan ini terjadi setelah mendengar nasihat dari Pakde Anwar yang mengingatkan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai perbedaan, seperti suku, agama, rupa, golongan, bahasa, dll. Pakde Anwar menegaskan bahwa perbedaan bukanlah suatu kesalahan.
Perbedaan cara beragama dan tradisi antara warga NU dan Muhammadiyah juga seharusnya tidak dianggap sebagai masalah. Hal tersebut menunjukkan pentingnya narasi moderat yang mampu mengubah pola pikir masyarakat dan menghilangkan stigma negatif. Dengan bersatunya keluarga mereka, pola pikir masyarakat akan berubah dan mereka memahami bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk saling membenci. Pak Is dan Pak Muh pun berharap warga di kampung mereka tidak lagi berseteru hanya karena perbedaan organisasi masyarakat.
Sikap toleran lain juga ditunjukkan oleh Mifta dan Fauzia. Sejak awal cerita, kedua tokoh ini membawa nilai-nilai toleransi. Meskipun hubungan mereka awalnya mendapat penolakan, keduanya tetap menunjukkan sikap hormat terhadap ayah masing-masing. Mereka saling menghargai pandangan agama dan tradisi Islam yang dianut oleh keluarga masing-masing. Keduanya tidak pernah mempermasalahkan perbedaan tata cara ibadah, apalagi merendahkan keyakinan agama satu sama lain.
Sebuah Refleksi Pembaca
Novel Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan menjadi medium untuk merefleksikan kehidupan sosial dan keberagamaan di masyarakat kita. Melalui kisah cinta Miftah dan Fauzia yang dibalut konflik perbedaan organisasi masyarakat, pembaca diajak untuk merenungkan dampak pola pikir eksklusif dan intoleran yang sering kali diwariskan lintas generasi.
Fenomena seperti yang digambarkan dalam novel ini adalah kenyataan yang tak asing di banyak daerah, termasuk di Lamongan, sebagaimana saya alami. Konflik antar organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah seringkali berakar dari sikap dan pola pikir paling benar yang melahirkan stigma negatif terhadap pihak lain.
Namun, novel ini menawarkan harapan. Kisah perubahan sikap Pak Is dan Pak Moek setelah mendengar nasihat Pakde Anwar menggambarkan bagaimana dialog, pemahaman, dan narasi moderasi mampu memecahkan konflik yang sudah lama terjadi. Di sinilah terlihat pentingnya pendidikan toleransi. Perbedaan baik dalam pandangan agama, tradisi, maupun cara hidup adalah wajar dan seharusnya menjadi ruang untuk saling melengkapi, bukan saling menjatuhkan.
Kisah cinta Miftah dan Fauzia menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk saling menghormati dan hidup bersama. Pada akhirnya, Kambing dan Hujan adalah pengingat kuat bahwa persatuan tidak memerlukan keseragaman. Novel ini juga mengajarkan bahwa perubahan pola pikir dimulai dari individu yang berani membuka hati dan mengulurkan tangan untuk menerima keberagaman.