Beragama Secara Moderat Menjauhkan Perempuan dari Ekstremisme Kekerasan

Masih banyak kiranya kita jumpai praktik keagamaan cenderung mandek dalam ranah pemahaman teks dan dogma gagal memahami bagaimana beragama secara moderat itu. Di ranah teks, pemahaman praktik beragama dan nilai-nilainya tidak dipahami dengan semangat kontekstual pada zamannya. Bahkan penyampaian edukasi keagamaan misalnya oleh para tokoh agama tidak menempatkan tafsir yang moderat, inklusif, dan toleran. Sehingga pemahaman yang keliru membuat praktik agama berlebihan serta dijadikan peluang untuk dimanfaatkan menjadi kepentingan.

Beragama secara radikal perlu diwaspadai sebab misi agama untuk memanusiakan manusia termasuk perempuan menjadi terhambat. Sejak sejarah lalu, bahkan tanpa radikalisme agama pun, penjajahan terhadap manusia lain secara kolektif telah terjadi dan telah berjalan berabad-abad. Terlebih, cara pandang lebih rendah terhadap perempuan menjadikan perempuan sebagai objek penjajahan dan perbudakan. Realitanya, sepanjang sejarah sampai sekarang, perempuan dianggap sebagai harta orang tua ketika lahir sampai kemudian ia menikah, ketika menikah menjadi harta suami, dan selanjutnya menjadi harta kerabat lelaki ketika suami meninggal.

Beragama Secara Moderat Menjauhkan Perempuan dari Ekstremisme Kekerasan

Hingga kini kasus-kasus yang meminggirkan dan mendiskiminasi perempuan menjadikan mereka hanya dianggap sebagai makhluk kelas dua yang kurang berdaya, dibatasi kebebasannya, serta menjadi korban kekerasan. Ini merupakan kenyataan yang mengenaskan bagi kemanusiaan. apa yang terjadi oleh perempuan yang dikuasai Taliban di Afganistan misalnya, telah membuat aturan dari dalil agama Islam dengan tafsir yang patriarkis terus dikembangkan. Perempuan dilarang bekerja, sekolah, pakaiannya diatur, hingga suaranya dilarang terdengar di depan umum kecuali di depan mahramnya. 

Ini menandakan bahwa perempuan telah diatur di luar batas kemanusiaan dengan dalih tujuan untuk “mempromosikan kebajikan dan menghilangkan keburukan”. Dari aturan yang diterbitkan ini bahkan Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Keburukan telah mengatakan pada tahun lalu saja lebih dari 13.000 orang telah ditahan karena tidak mematuhi hukum syariat. Jumlah korban sebanyak itu bisa saja berpotensi menimbulkan kekerasan melalui penerapan aturan yang lebih ketat. 

Ruang bagi perempuan Afganistan untuk memberdayakan dirinya menjadi perempuan yang Merdeka semaki terbatas, apalagi untuk terlibat masuk dalam kepentingan umum parlemen pemerintahan. Peraturan diskrimatif tersebut tentu mengancam adanya hak asasi perempuan itu sendiri.

Di Indonesia kasus misoginis terjadi pada Dewi Novita seorang camat di Payakumbuh Timur, Sumatera Barat yang dicopot dari jabatannya setelah mengunggah video yang menampilkan dirinya sedang jalan ala Citayam Fashion week. Pencopotan jabatannya lantaran apa yang dilakukannya tidak sesuai dengan norma adat dan agama. Kasus ini menyebabkan perempuan lagi-lagi kerap dikontrol tubuhnya atas nama moralitas, budaya, hingga agama dengan perspektif laki-laki yang bahkan digunakan dalam peraturan atau kebijakan. 

Relasi kuasa dan peraturan yang disalahgunakan tentu berpotensi menimbulkan praktik yang salah. Dalih agama disalah arti dan salah praktikkan menyudutkan posisi perempuan. Kasus seperti di atas dapat mendorong pada praktik dan pemahaman ekstrem, nir-kemanusiaan, dan berujung pada praktik kekerasan. 

 

Prinsip Moderat yang Kontekstual

Nur Rofiah, pendiri Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) menawarkan sebuah cara pandang moderat dalam beragama. Namun, penting melihat dalam diskursus radikalisme dan moderatisme itu harus ditentukan terlebih dahulu titik tengah sebagai acuan moderasi. Dalam Islam, dikenal istilah dhu’afa dan mustadh’afin. Dhu’afa adalah pihak yang lemah dalam sebuah relasi. Sedangkan mustadh’afin adalah posisi yang rentan dilemahkan secara individual maupun sistemik. 

Perempuan dalam kategori dhu’afa adalah ketika masuk dalam masa produksi aktif seperti melahirkan, nifas, dan menyusui. Sekaligus dalam posisi mustadh’afin, perempuan dianggap lemah meskipun sedang tidak dalam masa produkti aktif sebab secara kolektif perempuan sepanjang masanya berada dalam posisi lemah. 

Termasuk ketika perempuan menjadi kelompok rentan korban ekstremisme kekerasan. Sekalipun menjadi pelaku, adakalanya posisi perempuan hanya menjadi kepentingan kelompok ekstrem untuk melancarkan radikalisme atau terorisme dengan membawa agama. 

Ulasan Nur Rofiah dalam hal ini adalah memahami dalam mengimani Allah SWT memiliki konsekuensi logis bahwa tidak ada satupun yang berhak didudukkan pada posisi yang lebih tinggi ataupun lebih rendah dari yang lainnya. Tidak berhak perempuan didudukkan dalam posisi yang lebih rendah secara kolektif dari kaum laki-laki. 

Dalam sistem yang zalim, manusia hanya dipandang sebagai makhluk yang hanya dilihat berdasarkan atribut fisiknya. Islam tentu mengkritik cara pandang seperti ini. Prinsip beragama yang inklusif dan moderat adalah apapun bentuk fisiknya, kuat ataupun lemah, seorang manusia harus tetap dipandang sebagai manusia utuh dan subjek sepenuhnya. Adapun perbedaan harus dihadapi dengan sikap toleransi dan menghargai keberagaman dengan anti kekerasan. Dengan demikian, ini menjadi titik tengah dan harapan besar dalam beragama.

 

Rekonstruksi Dalil-dalil Peka Gender

Penting pemahaman keagamaan harus kembali pada hakikatnya bahwa kedudukan perempuan dalam Islam sangat mulia dan terhormat. Faktor kedangkalan pemahaman keagamaan dan kesalahan penafsiran teks keagamaan mengaburkan keistimewaan dan memicu kekeliruan yang berujung pada ekstremisme. 

Untuk mendudukkan subjek sepenuhnya, teks-teks dalam Al-Qur’an justru mendukung persamaan unsur penciptaan laki-laki dan perempuan seperti dalam surat al-Isra’ ayat 70 dan surat Ali Imran ayat 195. Di dalam Islam, perempuan memiliki hak-hak di antaranya adalah hak di luar rumah. Kelompok yang tidak memahami dalil teks secara kontekstual atau dengan cara konvensional akan menafsiri ayat itulah memang yang sudah menjadi fitrah/takdir Allah. Maka, perempuan memang harus menjadi seperti yang telah digariskan oleh ayat Al-Qur’an dan hadis nabi.

Islam sama sekali tidak melarang perempuan untuk keluar rumah termasuk untuk memberdayakan dirinya dari kepentingan dan kebutuhan yang baik. Aktivitas seperti belajar, menjenguk orang tua, serta bekerja untuk mencukupi dan membantu kebutuhan keluarga, berorganisasi, berolahraga, dan sebagainya. Ini memang menegaskan bahwa tidak ada satu ayat pun yang secara eksplisit melarang mereka untuk keluar rumah. Tetapi tentu saja dalam hal ini ada pengecualian larangan ketika perempuan terlibat dalam praktik yang tidak baik. 

Sudah selayaknya memiliki prinsip beragama yang moderat dalam praktik untuk meraih kebajikan dan menghindari kemungkaran dalam konteks kekerasan ekstremisme, terorisme dalam jalan berjihad yang radikal adalah hal penting yang perlu di-highlight saat ini. Dengan merujuk dalil agama, ayat Al-Qur’an penting dibaca ulang dengan pembacaan yang holistik, tidak sekadar parsial. Sehingga kita bisa menghindari tersandung pada pemahaman yang keliru dalam menafsiri teks agama dan juga untuk menghindari pemelintiran penafsiran untuk tujuan-tujuan yang tidak semestinya.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top