Dalam salah satu sesi Covey Day—sebuah proyek dari PPIM UIN Jakarta yang bekerja sama dengan UNDP dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi—Habib Jafar mengangkat isu patriarki dan keterkaitannya dengan intoleransi. Ia menyebut bahwa dalam sistem patriarkal, perempuan sering kali menjadi objek konstruksi laki-laki. Ketika seorang laki-laki bersikap intoleran, maka perempuan dalam lingkarannya—baik sebagai istri maupun anak—cenderung turut terbawa dalam sikap intoleransi tersebut.
Lebih jauh lagi, Habib Jafar memaparkan bagaimana dalam buku-buku inspirasi jihadis, para istri teroris kerap kali menyatakan keinginan untuk “melahirkan anak-anak jihadis”. Harapannya adalah, kelak anak-anak laki-laki tersebut akan “menggendong” mereka menuju surga. Narasi spiritual semacam ini tumbuh subur dalam ruang-ruang ekstremisme, yang mendoktrin bahwa perempuan tidak akan masuk surga kecuali melalui peran laki-laki.

Senada dengan hal ini, Ibu Iklilah Muzayyanah menyoroti bagaimana perempuan menjadi target propaganda ekstremisme, bukan hanya karena kedudukan sosialnya, tetapi juga karena sifat-sifat afektif yang secara sosial dibentuk sejak kecil. Dalam banyak komunitas, perempuan dididik untuk memiliki empati dan kepedulian tinggi terhadap isu ketidakadilan atau marginalisasi—dua hal yang sering digunakan sebagai pintu masuk oleh kelompok ekstremis.
Kelompok-kelompok ekstremis sering kali menawarkan ruang eksistensi yang tampak ‘mengangkat’ perempuan. Namun kenyataannya, perempuan kerap kali dijadikan instrumen. Mereka diposisikan sebagai mesin produksi generasi jihadis atau bahkan objek seksual dalam praktik-praktik seperti jihad nikah. Ibu Iklilah membagikan kisah tragis tentang perempuan yang dinikahkan hanya untuk melahirkan bayi laki-laki, lalu diceraikan, dan dinikahkan lagi kepada jihadis lain tanpa menunggu masa iddah. Praktik semacam ini menunjukkan eksploitasi tubuh perempuan dalam bentuk yang paling brutal. Namun demikian, Ibu Iklilah juga menawarkan solusi yang bersifat preventif dan transformatif. Ia mendorong pentingnya membangun daya pikir kritis—terutama dalam menyikapi narasi keagamaan atau sosial yang berseliweran di berbagai platform. Ada empat hal penting yang ia sarankan:
- Berpikir kritis – Pertanyakan terus narasi yang diterima, dari sumber manapun ia berasal.
- Mencari wacana alternatif – Biasakan mencari dan mempertimbangkan pandangan yang berbeda.
- Menyadari pluralitas tafsir – Tidak ada tafsir tunggal, bahkan dalam teks-teks suci.
- Menolak kekerasan atas nama agama – Tidak ada ajaran agama yang membenarkan kekerasan sebagai metode dakwah.
Lebih dari sekadar berpikir kritis secara individu, perempuan juga didorong untuk membangun komunitas yang aktif menyuarakan nilai-nilai perdamaian. Mulai dari ruang keluarga, komunitas lokal, hingga media sosial—setiap perempuan bisa menjadi agen perubahan. Ruang-ruang dialog
antar iman, lintas budaya, serta narasi damai yang inklusif, bisa menjadi tameng yang kuat terhadap penyebaran paham ekstremis. Perempuan sebagai Agen dalam Kerangka Women, Peace, and Security (WPS) Kisah dan refleksi ini sejalan dengan kerangka Women, Peace, and Security (WPS) yang diadopsi melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325. Resolusi ini menekankan pentingnya partisipasi perempuan dalam pencegahan konflik dan perdamaian. Dalam konteks ekstremisme kekerasan, WPS mendorong:
- Pelibatan perempuan sebagai pengambil keputusan dalam pencegahan radikalisasi.
- Perlindungan terhadap perempuan dari eksploitasi dan kekerasan seksual dalam konflik.
- Pengakuan terhadap perempuan sebagai agen perubahan, bukan sekadar korban.
Ketika perempuan dilibatkan secara bermakna dalam strategi pencegahan dan penyelesaian konflik, pendekatan yang dihasilkan menjadi lebih inklusif dan tahan lama. Karena itulah, narasi seperti ini tidak hanya penting untuk diangkat, tapi juga untuk terus diperluas melalui edukasi, kebijakan, dan penguatan komunitas.