Kasus terorisme yang melibatkan kaum perempuan cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, M.H., menjelaskan peran perempuan bertransformasi dari pendukung menjadi pelaku. Boy sendiri mencatat 18 perempuan muda Indonesia nekat melakukan aksi terorisme per data tahun 2022.
Nama-nama seperti Dian Yulia Novi, pelaku teror “Bom Panci” di Bekasi (2016), Zakiah Aini (lone wolf), menerobos Mabes Polri sambil membawa senjata api (2021), Siti Elina, menerobos penjagaan Istana Negara dengan senjata api (2022), Yogi Sahafitri Fortuna, bom bunuh diri Gereja Katederal Makassar (2021), dan lainnya. Merupakan bentuk contoh fenomena perempuan mulai mencuri panggung dalam aksi terorisme.

Sejatinya, keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme bukan menjadi hal yang baru. Kasus-kasus terorisme di Indonesia oleh para perempuan seperti yang saya sebutkan, sedikit banyak didasari atas landasan teologis yang dijejalkan oleh suami mereka yang notabene para radikalis agama. Misalnya aksi terorisme yang dilakukan oleh pelaku teror “Bom Panci”, Dian Yulia Novi.
Dian adalah mantan pekerja migran di luar negeri yang bersimpati pada perjuangan ISIS. Dalam pengakuannya, ia mengalami proses indoktrinasi jihad digital melalui internet, khususnya melalui jejaring Facebook dan situs radikal lain, termasuk situs jihad daring yang dikelola jejaring Aman Abdurrahman. Ia bersedia menjadi martir setelah dinikahi secara daring oleh aktor radikal dan menyuruhnya untuk melakukan aksi. Tidak tanggung-tanggung, aksi Dian menargetkan istana negara. Untungnya, menjelang akhir 2016, Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian RI menangkap perempuan ini di rumah kosnya di Bekasi Barat.
Di sinilah poin penting itu berlabuh. Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme salah satunya bermuara pada keyakinan mereka yang cenderung lebih loyal, setia, dan militan. Saat mereka telah menemukan satu titik pandangan yang diyakininya, ia tidak akan mudah tergoyahkan. Agaknya, hal ini tergambar bahwa posisi perempuan menjadi korban kesetiaan indoktrinasi.
Aktivis Hak Perempuan Indonesia, Profesor Musdah Mulia, menilai bahwa keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme walau pun sudah “naik kelas” dari pendukung menjadi pelaku, sejatinya posisi mereka tetaplah menjadi korban laki-laki. Ketika mereka mengagumi perjuangan dan meyakini doktrin, senekat apa pun mereka akan melakukan aksi. Kisah jamak para perempuan yang bersedia menjadi martir karena jadi korban doktrin para teroris laki-laki.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memikirkan cara membentengi perempuan sebagai korban doktrin laki-laki. Mereka harus segera diletakkan sebagai subjek dalam hal penyadaran. Sebab perempuan merupakan pemegang kendali utama dalam pembentukan karakter generasi masa depan.
Women, Peace, and Security (WPS) Sebagai Alat Konter Doktrinasi Teroris Perempuan
Selain faktor doktrinasi ideologi oleh para laki-laki seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Faktor emosional dan psikologi juga memainkan peran besar dalam kegiatan terorisme yang melibatkan perempuan. Misalnya saat aksi teror tersebut dilatar belakangi oleh pengalaman pribadi yang traumatis, seperti kehilangan anggota keluarga dalam konflik atau mengalami diskriminasi berat di lingkungannya.
Di samping itu, kita juga tidak dapat mengabaikan faktor sosial dan ekonomi yang mampu mendorong seorang individu melakukan suatu hal di luar nalar umum. Di wilayah-wilayah konflik atau yang mengalami ketidakstabilan ekonomi, perempuan sering kali menghadapi keterbatasan pilihan hidup. Sehingga, janji kehidupan yang lebih baik, stabilitas finansial, dan peran yang lebih dihargai menjadi daya tarik perempuan untuk mau bergabung dengan kelompok radikal.
Kita melihat bahwa sesungguhnya, para perempuan yang memutuskan untuk “menyeberang” menjadi martir, pengantin bom bunuh diri, atau militan ideologi radikal, memiliki kekuatan dalam bertindak yang cukup meninggalkan kesan dan dampak bagi masyarakat. Jika demikian, mengapa tidak diarahkan saja peran perempuan sebagai pembawa kedamaian?
Perihal peran perempuan dalam perdamaian dan keamanan ini telah dicetuskan dalam resolusi PBB 1325 tentang agenda Women, peace, and security (WPS). Di mana, ia menjadi resolusi pertama yang mengakui pentingnya keterlibatan perempuan sebagai agen perdamaian dan keamanan internasional.
Keterhubungan antara perempuan, perdamaian, dan keamanan tersebut secara rinci mencakup upaya-upaya meningkatkan keterwakilan perempuan pada pengambilan keputusan di tingkat nasional hingga global; keterlibatan dalam mekanisme pencegahan, pengelolaan dan penanganan konflik; meningkatkan jumlah dan peran perempuan dalam misi perdamaian termasuk upaya memasukkan perspektif gender dalam operasi peacekeeping; mendukung inisiatif lokal perempuan untuk melindungi perempuan dan anak perempuan dari kekerasan berbasis gender; memastikan pelucutan senjata yang peka gender; serta mendukung program demobilisasi dan reintegrasi, dan lain sebagainya.
Dalam konteks ini, agenda WPS dapat menjadi antitesis positif atas maraknya kasus perempuan yang menjadi pelaku teror tersebut. Pemberdayaan perempuan secara ekonomi, sosial, dan politik, seperti yang termaktub dalam agenda WPS, dapat menjadi benteng yang kuat dalam melawan doktrinisasi radikalisme. Perempuan sebagai Ibu adalah tokoh penting ketahanan keluarga di ranah domestik. Utamanya dalam hal kepengasuhan anak, ia menjadi aktor penting yang membentuk watak dan karakter anak. Bahkan, menurut sejumlah penelitian, kecerdasan anak menurun dari gen ibunya.
Agenda WPS yang memuat empat pilar: pencegahan, partisipasi, perlindungan, dan bantuan dan pemulihan, dapat menjadi amalan para perempuan (baca: Ibu) yang memiliki kendali di ranah domestik untuk membentengi anak-anak mereka dari paparan ideologi radikal yang merusak. Karenanya, perempuan harus memiliki rasionalitas dan nalar kritis yang kuat untuk memilah dan memilih informasi atau ilmu pengetahuan yang tidak menyesatkan dan menjerumuskan ke dalam lubang kesengsaraan.
Tak kalah penting, perempuan pun harus memiliki kemampuan untuk berdaya dan memiliki kemandirian dalam hal ekonomi dan sosial. Stigma perempuan yang menyebut bila mereka makhluk domestik yang hanya cocok berjibaku di sektor urusan rumah tangga, agaknya perlu diubah banyak. Para perempuan memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu hal yang memberi dampak bagi kehidupan sosial. Karenanya, mereka layak mendapatkan hak yang sama untuk berkiprah di ruang publik.
Lingkungan masyarakat sudah seyogianya mendorong dan memfasilitasi perempuan agar dapat memaksimalkan potensinya di ranah publik. Para perempuan yang memiliki kemandirian dan kemampuan untuk berdaya dapat menjadi alat untuk menjaga perdamaian dan keamanan di lingkungannya. Sebab mereka bisa menentukan jalan ‘kebenaran’ mereka sendiri dengan mengatakan tidak kepada suami atau orang terdekatnya kala mengajak bergabung atau menjadi pelaku terorisme.