Apakah Hukuman mati Bisa Menjadi Solusi dalam Mencegah Ekstremisme?

Hukuman mati banyak diterapkan di berbagai negara untuk menanggulangi tindak ekstremisme hingga terorisme. Banyak pihak meyakini bahwa dengan menerapkan kebijakan tersebut, pelaku akan mendapat balasan setimpal atas perbuatan kejamnya. Terlebih, jika ia telah menghilangkan nyawa orang-orang tak berdosa. Namun, seiring dengan beberapa riset terbaru, peneliti kebijakan dan aktivis HAM menyampaikan bahwa hukuman mati nyatanya tidak efektif dalam menanggulangi tindakan teror.

Dari Indonesia sendiri, Komnas HAM berpendapat bahwa melawan terorisme memerlukan tindakan menyeluruh yang tidak cuma gagah-gagahan seperti menghilangkan nyawa pelaku. Aksi komprehensif di sini meliputi tindakan membongkar jaringan dan deradikalisasi. “Kalau cuma merasa sudah gagah berani saat bisa tuntut hukuman mati, itu enggak signifikan,” kata komisioner Komnas HAM, Choirul Anam.

Apakah Hukuman mati Bisa Menjadi Solusi dalam Mencegah Ekstremisme?

Lebih lanjut, Choirul mengatakan menghukum mati seorang teroris justru merugikan bagi upaya penanggulangan terorisme itu sendiri. Sebab, polisi akan kehilangan kesempatan mendapatkan informasi dari sang aktor untuk membongkar jaringan teroris yang dia ikuti. ”Kalau informasi soal jaringannya dibawa mati, memang bisa dibongkar?” tuturnya.

Sejalan dengan Choirul, Florence Bellivier, aktivis gerakan koalisi anti hukuman mati tingkat global menyampaikan bahwa hukuman mati sejatinya tidak membantu menguraikan akar masalah terorisme dan radikalisme itu sendiri. Bahkan menurutnya, penerapan hukuman mati hanyalah dalih bagi beberapa pemerintahan untuk mengeksekusi warga negaranya yang terindikasi melawan pemerintah, atau tergolong dalam kelompok minoritas.

Pendukung hukuman mati biasanya hanya mengajukan satu argumen: membuat pelaku jera. Menurut mereka, menakut-nakuti publik dengan ancaman kematian akan mencegah banyak orang melakukan tindakan tersebut. Faktanya: salah total. Korelasi antara penurunan angka kriminalitas dan praktik hukuman mati tidak pernah terbukti, dan hal yang sama juga tidak berlaku untuk terorisme. Mereka yang menanam bom ternyata tidak pernah takut mati. Malah kematian menjadi tujuan final mereka. Selain itu, hukuman mati dapat digunakan oleh teroris yang sama untuk meyakinkan pasukan jaringan mereka bahwa pembalasan dapat dibenarkan, dan dengan demikian justru akan terus mendorong siklus kekerasan.

Di satu sisi, banyak orang mispersepsi dan beranggapan bahwa negara menghemat uang dengan menerapkan hukuman mati karena orang yang dieksekusi tidak perlu lagi dipenjara, memperoleh perawatan kesehatan, dan biaya terkait. Namun dalam penerapan pidana mati modern, anggapan tersebut terbukti salah.
Hukuman mati jauh lebih mahal daripada sistem yang menggunakan hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat sebagai hukuman alternatif. Beberapa alasan tingginya biaya hukuman mati adalah persidangan dan banding yang lebih lama yang diperlukan ketika nyawa seseorang dipertaruhkan, kebutuhan akan lebih banyak pengacara dan ahli di kedua sisi kasus, dan relatif jarangnya eksekusi.

Kebanyakan kasus yang menuntut hukuman mati tidak berakhir dengan hukuman mati yang dijatuhkan. Dan begitu hukuman mati dijatuhkan, hasil yang paling mungkin dari kasus ini adalah bahwa keyakinan atau hukuman mati akan dibatalkan di pengadilan. Sebagian besar terdakwa yang dijatuhi hukuman mati pada dasarnya menghabiskan seumur hidup di penjara, tetapi dengan biaya yang sangat tinggi karena lamanya proses penjatuhan hukuman hingga eksekusi berlangsung.

Banyak orang juga mungkin percaya bahwa meskipun hukuman mati tidak ideal, hukuman tersebut tetap layak diterapkan untuk menekan kriminalitas. Namun, fakta ternyata menunjukkan hal sebaliknya. Adanya hukuman mati tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan kejahatan. Merujuk data di negara-negara bagian Amerika Serikat yang tidak memiliki hukuman mati, tingkat pembunuhan jauh lebih rendah.

Meski ada faktor lain yang berperan, namun realita tetap menunjukkan bahwa hukuman mati tidak serta merta memberikan efek jera. Malah yang ada, hukuman mati jatuhnya tidak manusiawi, diskriminatif, dan sewenang-wenang. Bahkan seringkali merenggut nyawa orang yang tidak bersalah dan bahkan tidak mencegah kejahatan secara jangka panjang.

Di samping itu, suatu studi menunjukkan bahwa orang yang sakit jiwa, orang kulit berwarna, dan orang miskin merupakan mayoritas terpidana mati. Merujuk Mental Health America, di Amerika Serikat, antara 5-10% terpidana mati memiliki penyakit mental yang parah, yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan. Ketika peneliti melakukan riset lebih mendalam, mereka juga menemukan pola diskriminasi berdasarkan ras yang turut berkontribusi pada perilaku kriminal.

Menurut PBB, orang miskin juga terpengaruh secara tidak proporsional oleh hukuman mati jika ditilik dari skala global. Mereka cenderung tidak mendapatkan pengawalan hukum secara adil dalam proses penindakan hukum yang kerap bias pada kaum lemah. Sehingga, dari berbagai data yang telah dipaparkan, amatlah jelas bahwa hukuman mati bukan solusi, malah mendorong tindak kejahatan semakin menjadi-jadi.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top