Keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme di Indonesia menjadi perhatian serius baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil. Data menunjukkan bahwa sepanjang periode 2000-2023, terdapat 59 kasus yang mencakup terdakwa perempuan dan telah mendapatkan keputusan dari pengadilan. Dalam lima tahun terakhir, 65 orang perempuan telah ditangkap dalam kasus terorisme. Kondisi ini menciptakan keprihatinan terkait faktor-faktor yang mendorong ketertarikan dan keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme, serta perlunya strategi pencegahan yang lebih efektif.
Ketidaksetaraan, tindak kekerasan, dan diskriminasi yang diselubungi oleh doktrin agama dan budaya membentuk lingkungan yang mendukung perkembangan ekstremisme kekerasan. Pemahaman bahwa konstruksi gender tidak terbatas pada pembagian biner tradisional antara “laki-laki dan perempuan” membantu kita memahami perempuan tidak hanya dilihat sebagai kelompok yang rentan terhadap pengaruh pemikiran radikal. Mereka juga dapat berperan sebagai pelaku dan, tak terhindarkan, sebagai korban dari ideologi tersebut.
Fenomena peralihan peran perempuan dari ‘pemberi bantuan’ menjadi aktor utama tindakan terorisme, oleh para peneliti, dinilai juga sebagai strategi kamuflase, atau mengelabui masyarakat dan aparat. Namun kultur perempuan sebagai pihak penurut perkataan atau perintah suami atau pimpinan, tetap dipelihara oleh kelompok ini. Penggunaan perempuan sebagai alat propaganda dalam lingkaran terorisme ini mencerminkan bagaimana sistem patriarki bekerja. Dalam buku saku “Perempuan dan Ekstremisme” (AMAN Indonesia, 2022), Imam Nakhai memberikan penjelasan bahwa ekstremisme tidak hanya terbatas pada ranah keagamaan, tetapi juga merambah ke aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Ekstremisme tidak hanya terkait dengan isu yang dianggap ‘maskulin’, tetapi juga muncul dalam ranah feminim, seperti eksploitasi tubuh perempuan, pembatasan peran, poligami tanpa batas, dan isu-isu lain yang merendahkan martabat perempuan.
Proses pembangunan perdamaian dan pencegahan ekstremisme kekerasan diakui masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Secara spesifik, terdapat kurangnya pengakuan terhadap peran perempuan dan pemuda oleh pihak berwenang, meskipun Perpres No. 7 tahun 2021 mendorong partisipasi aktif dari aktor non-tradisional tersebut. Kurangnya perhatian terhadap peran mereka tentunya dapat menghambat upaya-upaya inklusif dan berkelanjutan. Dari aspek kerangka kerja, ketiadaan alat dan regulasi pencegahan ekstremisme yang responsif gender juga dirasakan sebagai tantangan mendorong institusionalisasi inklusi perempuan dan anak muda.
Perempuan mewakili sebagian besar masyarakat. Mengakui agensi dan pemberdayaan perempuan sangat penting untuk keterlibatan dan pengaruh dalam mendorong perdamaian, ketahanan, dan melawan radikalisasi di komunitas. Pengalaman, perspektif, serta kemampuan mereka sudah seharusnya diakui, didengarkan dan diadopsi dalam kebijakan dan setiap upaya melawan ekstremisme kekerasan. Mengabaikan atau meminggirkan suara perempuan tentunya akan berdampak pada pembatasan keragaman strategi dan solusi dalam inisiatif untuk mencegah ekstremisme. Memahami faktor sosio-ekonomi, politik dan budaya yang berkontribusi terhadap ekstremisme kekerasan tentunya sangatlah penting. Dengan berfokus pada agensi dan pemberdayaan perempuan, upaya PCVE akan lebih mampu mengatasi permasalahan mendasar seperti ketidaksetaraan, dan diskriminasi yang dapat memicu radikalisme.
WGWC telah memulai gerakan kolektif kerja penguatan pengarusutamaan gender dalam PCVE sejak 2017 dengan mengadopsi dan mengembangkan kerangka kerja WPS (Women, Peace and Security) dalam membaca perkembangan radikalisme dan memformulasi strategi peningkatan kepemimpinan dan partisipasi perempuan dalam pencegahan, reintegrasi, dan perlindungan korban ekstremisme kekerasan. Memasuki tahun keenam kiprah dan eksistensinya, tahun lalu WGWC melakukan refleksi dan pendokumentasian kerja-kerja untuk isu perempuan dan P/CVE dalam bentuk buku “Teroris, Korban dan Pejuang Damai” yang merupakan inisiatif bermakna untuk menangkap kisah-kisah dan agensi perempuan jaringan WGWC dalam mendukung para korban dan bekerja di lingkungan berisiko tinggi, termasuk tantangan dan keberhasilannya. WGWC meyakini bahwa memperkuat agensi perempuan sangat penting untuk membentuk masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Pemberdayaan ini diharapkan memiliki dampak positif pada upaya deradikalisasi, memfasilitasi reintegrasi individu ke dalam masyarakat, dan mendukung proses pemulihan bagi korban terorisme secara berkelanjutan.