Syukur! Rasa yang bisa saya katakan karena bisa memimpin sebuah pelatihan “Mendengar Aktif” untuk pengurus Forum Support Perempuan Tangguh (FOSPETA) pada 20 September 2024 lalu. Saya pikir pelatihan ini penting bagi frontliner dan pendamping yang terlibat langsung mendampingi keluarga mantan narapidana terorisme. Penting dalam artian sebagai salah satu kemampuan pendamping menjadi pendengar aktif dan diharapkan bisa merespons situasi dalam bentuk intervensi sosial yang berkelanjutan.
Pelatihan ini merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) yang didukung oleh Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (PCVE) (WGWC) dalam mengembangkan FOSPETA sebagai forum yang lebih mandiri bagi keluarga perempuan mantan narapidana terorisme sejak 2022. Pembaca bisa cek tulisan saya sebelumnya bicara tentang refleksi saya mengembangkan FOSPETA “Refleksi Diri: Spirit FOSPETA” dan “Refleksi Paska Sosialisasi FOSPETA: Edisi Bandung”.
Benar apa kata Justinus, salah satu narasumber pelatihan dari CSSC (Center for the Study of Sustainable Community) UNIKA Atma Jaya, bahwa menjadi pendengar tidak bisa lepas dari empati yang menghasilkan kemampuan mendengar aktif. Seandainya tidak ada empati dalam diri saya, mungkin saya tidak akan bisa mendengar dengan baik input-input dari para istri mantan narapidana terorisme yang saya dampingi. Mungkin, FOSPETA tidak akan ada! Mungkin, pelatihan ini tidak ada!
Meski sebagai penyelenggara, saya juga terlibat sebagai peserta dalam pelatihan ini. Saya pun perlu belajar! Saya belajar bagaimana proses mendengar aktif merupakan bagian yang tak terpisahkan dari belas kasih, yang melahirkan simpati, dan akhirnya kita bisa berempati.
Pembelajaran tidak berhenti sampai di sini. Mendengar aktif bukan hanya dipelajari untuk bisa merespons, yang seperti saya katakan di awal paragraf. Biasanya, saya mendengarkan untuk merespons atau menanggapi dalam bentuk intervensi sosial. Biasanya dan biasanya kita mendengarkan untuk bisa dianggap berempati dengan lawan bicara. Ternyata tidak begitu!
Setelah banyak mendengarkan narasumber dan mengamati proses pembelajaran. Banyak hal yang perlu saya STOP ketika berusaha menjadi pendengar. STOP untuk berpikir “Kalo saya jadi dia, saya akan…”, “Saya dulu juga pernah mengalami hal ini…”, “Menganalisis pengalamannya benar-salah…”, menasihati, dan seterusnya. Kadang kita juga lupa untuk mengkonfirmasi ulang informasi atau perasaan yang disampaikan. Bahkan, buru-buru menulis bagaimana kita akan merespons agar dianggap mendengarkan lawan bicara. Alih-alih begitu, terkadang lawan bicara tidak mengharapkan solusi dari kita.
Sebagai pendamping, sewaktu-waktu memiliki harapan setelah mendengarkan orang didampingi akan menghasilkan ouput agar kita bisa membantu menawarkan solusi alternatif atau program. Terkadang tidak, cukup sampai pada sebagai pendengar saja. Tidak perlu bertindak apa-apa!
Dari awalnya sebelum menghadiri pelatihan “Mendengar Aktif” ini, saya punya asumsi-asumsi, bahwa ini pasti akan cocok untuk pendamping atau frontliner PCVE. Ah… ternyata tidak! Banyak peserta dari FOSPETA juga menilai ini adalah kemampuan sehari-hari yang perlu mereka tahu, sebagai ibu, teman, bahkan untuk segala identitas. Buktinya, mendengar aktif bukan hanya sekedar kita untuk bisa merespons, tapi untuk memahami. Saya juga menyadari, bahwa mendengar aktif bisa membantu juga teman-teman FOSPETA dan saya pribadi bisa lebih bertoleransi dengan perbedaan.
Kemampuan mendengar aktif merupakan satu dari sekian kemampuan dasar yang perlu dimiliki manusia sebagai makhluk sosial. Mendengar aktif membuka kesempatan baru untuk mengerti orang lain, memahami situasi yang tidak pernah kita pikirkan, bahkan bisa menemukan kata-kata yang orang lain bisa merasa dipahami. Kemampuan mendengar aktif, bagi saya adalah landasan bagi kita sebagai pejuang damai memahami setiap konflik terutama atas nama agama. Kita bisa lebih mengerti, kita juga bisa lebih memahami kondisi hingga akhirnya intervensi bisa tepat sasaran.
Saya jadi teringat sebuah syair dari Rumi. Kira-kira seperti ini “Kemarin aku pintar. Aku pun ingin mengubah dunia. Hari ini aku bijak. Maka aku berupaya mengubah diriku sendiri!”. Semoga tulisan ini bisa menjadi salah satu bagian kecil untuk kita berefleksi dan menjadi input positif untuk kita semua menjadi pribadi lebih baik.