Setiap 10 menit, seorang perempuan terbunuh. Ini menjadi fakta penting yang diangkat dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender (the 16 Days of Activism Against Gender-Based Violence) tahun 2024 ini. Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (the International Day for the Elimination of Violence Against Women) menandai peluncuran Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender, 25 November – 10 Desember, sebuah inisiatif aktivisme selama 16 hari yang diakhiri pada hari memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional (the International Day of Human Rights) 10 Desember.
Kampanye 2024 tahun ini mengangkat tema “Every 10 Minutes, a woman is killed. #NoExcuse. UNiTE to End Violence against Women” yang artinya Setiap 10 menit, seorang perempuan terbunuh, #TidakAdaAlasan UniTE untuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan. Kampanye ini mengajak dunia memberi perhatian terhadap peningkatan kekerasan terhadap perempuan yang mengkhawatirkan, untuk merevitalisasi komitmen, menyerukan akuntabilitas dan tindakan dari para pengambil keputusan.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan masih menjadi salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling umum dan paling banyak terjadi di dunia. Secara global, hampir satu dari tiga perempuan pernah menjadi korban kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan intim, kekerasan seksual non-pasangan, atau keduanya, setidaknya sekali dalam hidup mereka.
Bagi setidaknya 51.100 perempuan pada tahun 2023, siklus kekerasan berbasis gender berakhir dengan satu tindakan terakhir dan brutal, berupa pembunuhan yang dilakukan oleh pasangan dan anggota keluarga. Itu berarti seorang perempuan terbunuh setiap 10 menit. Tragedi ini semakin parah di berbagai tempat, termasuk di tempat kerja dan ruang online, dan diperburuk oleh konflik dan perubahan iklim.
Terkait konflik, studi global implementasi 15 tahun Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan mencatat adanya peningkatan radikalisme dan ekstremisme kekerasan (violent extremism/VE) di daerah sedang berkonflik dan pasca konflik, dimana berdampak serius kepada kekerasan berbasis gender (gender based violence/GBV). Dengan demikian, perempuan dalam pusaran radikalisme dan ekstremisme kekerasan juga menghadapi siklus kekerasan berbasis gender yang dapat berakhir dengan pembunuhan.
Di Indonesia, sebagaimana negara-negara Asia Tenggara, radikalisasi, pergeseran menuju ekstremisme kekerasan, terjadi pada masa damai, ketika konflik telah mereda, dan/atau bahkan di negara-negara yang tidak mengalami konflik internal apa pun. Analis gender diperlukan untuk menemukan pengalaman-pengalamn perempuan dan laki-laki yang berbeda dalam radikalisme dan esktremisme kekerasan. Studi terbaru menunjukkan bahwa ada perbedaan terkait keterlibatan perempuan dan laki-laki dengan konten dan organisasi ekstremis, terutama dalam konteks proses radikalisasi, rekrutmen, dan partisipasi.
Analisis Gender tentang Ekstremisme Kekerasan dan Dampak Covid-19 terhadap Perdamaian dan Keamanan di ASEAN (2021), salah satunya menemukan, pelaku ekstremis kekerasan menggunakan propaganda dan pesan online untuk mendukung kepercayaan yang mendorong permusuhan dan kebencian terhadap perempuan. Sebanyak 67 persen responden ahli telah melihat konten ini, kadang-kadang, sering atau sangat sering, sementara 65 persen ahli telah mengamati konten media sosial ekstremis yang mendorong kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Kekerasan berbasis gender yang menyasar pada perempuan dan anak perempuan semakin tereskalasi seiring dengan peningkatan radikalisme dan ekstremisme kekerasan (violent extremism/VE).
Penelitian menemukan ada konsensus bahwa konten intoleran online berbahaya bagi perempuan di ruang offline, dan bahwa pandemi mengakibatkan ketidakamanan yang lebih signifikan bagi perempuan yang terkena dampak ekstremisme kekerasan, situasi yang khususnya diperburuk oleh pembatasan sosial dan meningkatnya pertemuan-pertemuan online, serta paparan misinformasi dan disinformasi mengenai pandemi. Perilaku online yang berlanjut hingga kini pasca pandemi, tidak hanya berdampak pada peran, praktik, dan rekrutmen ekstremis kekerasan, tetapi juga mengakibatkan ketidakamanan di ruang offline, termasuk peningkatan risiko kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender.
Walaupun terdapat kesamaan cara kelompok ekstremis kekerasan melakukan propaganda dan memanfaatkan media sosial untuk merekrut dan meradikalisasi perempuan dan laki-laki secara berbeda, serta bagaimana mereka mendukung pandangan seksis terhadap perempuan, perbedaan tetap ada antara kelompok-kelompok ini, tergantung dari organisasi itu sendiri, serta lingkungan geopolitik di sekitar wilayah operasi mereka dan ideologi yang dianut. Dari sini ditemukan bahwa misogini dan sikap permusuhan terhadap perempuan memainkan peran kunci dalam membingkai narasi, partisipasi dan peran/tugas baik perempuan dan laki-laki dalam organisasi ekstremis di seluruh kawasan ASEAN. Akibatnya, penting untuk mempertimbangkan bahwa sementara organisasi merekrut dan meradikalisasi perempuan dan laki-laki dengan cara yang berbeda, norma-norma gender yang lazim dalam ideologi yang dianut dapat memengaruhi proses dengan cara yang berbeda.
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender menyerukan kepada kita, khususnya negara untuk mencari berbagai solusi mengehentikan kekerasan berbasis gender yang menyasar pada perempuan dan anak perempuan. Salah satunya terletak pada respon yang kuat, meminta pertanggungjawaban pelaku, dan mempercepat tindakan melalui strategi nasional yang memiliki sumber daya yang baik dan meningkatkan pendanaan untuk gerakan hak-hak perempuan dan gerakan pencegahan dan penanganan radikalisme dan ekstremisme kekerasan (violent extremism/VE) yang berperspektif gender.