Executive Director Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), Taufik Andrie mengungkapkan bahwa keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme mengalami perubahan signifikan sejak tahun 2018. Perempuan yang sebelumnya hanya berperan sebagai pendukung, kini telah menjadi aktor utama dalam aksi terorisme.
“Di 2018 kita dikejutkan dengan keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme secara langsung. Mereka tidak lagi sekadar berada di belakang layar sebagai sistem pendukung, tapi menjadi aktor utama, pelaku, penggalang dana, aktor propaganda, dan perekrut,” ujar Taufik dalam acara Voice of Corrections.

Taufik menjelaskan, secara ideologis, napiter (narapidana teroris) perempuan memiliki tingkat pemahaman yang terkadang lebih tinggi dibanding napiter laki-laki. “Ada banyak kisah dimana mereka justru yang merekrut suami atau pasangan mereka untuk berangkat hijrah ke Suriah. Bahkan ada yang menceraikan suami karena tidak satu ideologi,” jelasnya.
Fenomena ini, menurut Taufik, muncul setelah kelompok Islamic State mengeluarkan fatwa pada 2014-2015 yang memperbolehkan perempuan terlibat secara langsung dalam aksi terorisme. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok sebelumnya seperti NII (Negara Islam Indonesia) dan Jamaah Islamiyah yang menempatkan perempuan hanya sebagai sistem pendukung.
YPP bersama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah menyusun standar dan modul penanganan napiter perempuan sejak 2021 hingga 2023. Program ini merupakan kebijakan inovatif pertama yang mengusung tema responsif gender dalam penanganan napiter di Indonesia.
“Tantangannya ke depan masih besar. Meski indeks aksi terorisme turun di 2023, dengan penangkapan berkurang dari 300-an menjadi 150-an kasus, potensi keterlibatan perempuan justru cenderung meningkat karena persebaran ideologi yang semakin luas,” tutup Taufik.