Dalam WGWC Talk Seri 33 menghadirkan tiga narasumber perempuan tangguh, hadir sosok-sosok luar biasa yang telah membuktikan bahwa di balik identitas sebagai ibu dan istri, terdapat potensi besar untuk membawa perubahan. Umi Kartini, Umi Dita, dan Umi Aminah, bersama dengan Kiai Husein, adalah contoh nyata dari perempuan-perempuan yang tidak hanya bertahan di tengah konflik, tetapi juga menjadi agen perubahan yang kuat dalam komunitas mereka.
Dalam diskusi yang berlangsung, sebuah pandangan menarik disampaikan oleh salah satu peserta. Ia menggarisbawahi bahwa perempuan memiliki dua kapasitas yang luar biasa: mereka mampu menyanyikan lagu-lagu peperangan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menyanyikan lagu-lagu perdamaian. Kapasitas ini menjadi kekuatan yang, jika disalurkan dengan baik, dapat mengubah narasi kekerasan menjadi narasi kedamaian.
Menurut Dosen Kajian Budaya dan Media Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Arifah Rahmawati, pengalaman para umi dalam membangun perdamaian menunjukkan bagaimana perempuan memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan kesadaran mereka dan bertindak berdasarkan kesadaran tersebut. Hal dilakukan oleh tiga perempuan tersebut sejalan dengan konsep dualitas antara agensi dan struktur yang dikemukakan oleh sosiolog Anthony Giddens. Para umi ini, dengan kesadaran dan tindakan mereka, tidak hanya bertahan dalam struktur sosial yang ada, tetapi juga berupaya mengubahnya.
Salah satu bentuk perubahan yang nyata adalah pesantren yang didirikan oleh para umi, di mana mereka menyiapkan generasi berikutnya dengan nilai-nilai kebaikan dan perdamaian. Seperti yang diungkapkan oleh Kiai Husein, “Kau adalah aku yang lain,” maka bagi para umi, “Kau adalah aku yang berikutnya, yang lebih baik.” Melalui pendidikan dan komunitas, para umi ini menunjukkan bahwa mereka memiliki agensi aktif yang tidak hanya membangun diri mereka sendiri tetapi juga lingkungan sosial di sekitar mereka.
Dalam perspektif teori gender, apa yang dilakukan oleh para umi ini mencerminkan strategi esensialisme, di mana kapasitas natural perempuan untuk nurturing—merawat, mendidik, dan membangun—dimanfaatkan untuk menciptakan perdamaian. Mereka mempraktikkan kesalihan sosial, sebuah konsep yang menekankan tanggung jawab untuk menciptakan kebaikan tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi lingkungan sekitar.
Kesalihan sosial yang dipraktikkan oleh para umi ini melampaui lingkup keluarga, merambah ke komunitas, bahkan masyarakat yang lebih luas. Mereka aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan mereka, menyebarkan nilai-nilai kasih sayang, penghormatan, dan kedamaian. Ini adalah bentuk nyata dari pendidikan kewarganegaraan, yang mampu mengubah narasi kekerasan menjadi narasi kedamaian yang membawa kebaikan bagi semua.
Namun, transformasi ini bukanlah proses yang mudah. Mengubah lingkungan yang dipenuhi narasi kekerasan menjadi tempat yang damai memerlukan waktu, ketekunan, dan keikhlasan. Proses ini juga membutuhkan fasilitasi, seperti yang dilakukan oleh organisasi seperti WGWC. Dengan memberikan ruang yang aman dan memfasilitasi para umi ini, WGWC berperan penting dalam mendukung mereka untuk menciptakan perubahan.
Kepemimpinan para umi ini diuji dalam berbagai bentuk. Umi Kartini telah membantu orang lain keluar dari lingkaran kekerasan ekstremisme, Umi Aminah mendirikan pesantren untuk membentuk generasi yang lebih baik, dan Umi Dita membangun komunitas untuk mendukung istri-istri napiter. Mereka menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan bukan hanya tentang mengambil keputusan, tetapi juga tentang memberikan ruang bagi orang lain untuk tumbuh dan berkembang.
Melalui identitas feminin mereka sebagai ibu, para umi ini tidak hanya bertahan, tetapi juga bangkit sebagai pemimpin yang menginspirasi. Mereka menggunakan kekuatan motherhood mereka untuk mengubah lingkungan, menjadikan madrasah kehidupan sebagai tempat di mana narasi kedamaian dapat tumbuh dan berkembang.