Dalam bayang-bayang stigma terorisme yang menakutkan, ada satu sosok perempuan yang berani menembus kegelapan itu dengan tindakan nyata. Ia adalah seorang istri dari mantan narapidana teroris yang memilih untuk tidak menyerah pada stigma, tetapi sebaliknya, berjuang untuk membuktikan bahwa kebaikan dan perubahan masih mungkin terjadi.
Saat suaminya dipenjara karena keterlibatannya dalam aksi terorisme, perempuan ini tidak memilih untuk mengisolasi diri. Kartini Panggabean, seorang perempuan yang menembus stigma. Saat ini, Kartini fokus dalam bidang pendidikan. Dirinya mendirikan sekaligus menjadi pengasuh Pesantren Al-Hidayah Deli Serdang.
”Saya tetap bergaul dengan masyarakat, mengikuti pengajian, dan berusaha melakukan hal-hal positif,” kenangnya.
Ia menyadari bahwa masyarakat sekitar memandangnya dengan curiga, namun ia tidak mundur. Sebaliknya, ia menanamkan kepercayaan melalui tindakan-tindakan sederhana—beribadah bersama, mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an, dan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial. Keberhasilannya dalam meraih kepercayaan masyarakat bukanlah hasil dari kata-kata, melainkan dari tindakan. Dengan tekun, ia mendirikan sekolah yang menerima anak-anak dari para narapidana teroris.
”Awalnya, masyarakat ragu, tetapi ketika mereka melihat perubahan pada anak-anak—rajin shalat, berperilaku baik—kepercayaan itu mulai tumbuh,” jelasnya.
Tak hanya sekadar mendidik, ia juga mengajarkan kegiatan seni dan budaya, termasuk dalam perayaan hari kemerdekaan. Aktivitas ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar, membedakan sekolah tersebut dari lembaga pendidikan lainnya. Namun, tantangan terbesar yang dihadapinya bukan hanya stigma, melainkan juga radikalisme yang mengakar dalam pikiran generasi muda. Ia mengenang salah satu kasus di tahun 2017, ketika sepasang orang tua mendatanginya dengan kebingungan dan kekhawatiran.
Anak mereka, seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di Medan, tiba-tiba berubah. Pemikiran radikalnya menolak segala bentuk pandangan yang berbeda, bahkan menganggap kedua orang tuanya kafir karena bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Anak itu menutup diri, hanya bergaul dengan kelompok pengajian tertentu, dan memutuskan untuk menikah dengan seorang lelaki yang sudah beristri.
”Orang tua anak itu tidak tahu harus berbuat apa,” kata perempuan itu. Ia paham betul apa yang terjadi, karena ia sendiri pernah berada dalam situasi serupa. Dengan tegas dan kadang disertai kemarahan, ia menghadapi anak itu. Ia tidak memberinya ruang untuk berdebat, melainkan langsung mengguncang keyakinannya.
”Kamu pikir mudah berpoligami? Kau belum tahu risiko besar yang menantimu,” ujarnya dengan nada tegas. Kata-kata itu membekas, dan perlahan, pemikiran anak tersebut mulai berubah.
Upaya kerasnya akhirnya membuahkan hasil. Anak tersebut akhirnya dipisahkan dari kelompoknya dan dibawa kembali ke Jawa oleh orang tuanya. Saat diperiksa, ditemukan data-data yang mengkhawatirkan, termasuk informasi pribadi polisi yang menjadi target. ”Itu membuat saya terkejut. Mereka sungguh-sungguh dalam niat mereka,” tuturnya. Namun, berkat tindakan cepat dan kerjasama dengan BNPT dan Densus 88, bahaya itu dapat dihindari.
Melalui perjuangan perempuan ini, kita dapat melihat bahwa di balik setiap stigma, ada kisah keberanian dan upaya untuk memperbaiki keadaan. Ia tidak hanya menyelamatkan dirinya dan keluarganya, tetapi juga menjadi pelita bagi orang lain yang terjebak dalam kegelapan. ”Kita tidak perlu mengatakan bahwa kita baik, cukup tunjukkan melalui perbuatan,” katanya dengan bijak.
Di tengah situasi yang penuh tantangan, ia membuktikan bahwa perubahan itu mungkin, bahkan di tempat yang paling gelap sekalipun. Kini, sekolah yang ia dirikan terus berkembang, dan setiap tahun jumlah muridnya bertambah. Melalui pendidikan, seni, dan budaya, ia membantu membangun masa depan yang lebih baik—sebuah masa depan di mana stigma terorisme tidak lagi menjadi hambatan untuk meraih harapan dan kedamaian.