31.2 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Suara Perempuan dalam Mewujudkan Perdamaian: Refleksi dari WGWC Talk ke-33

Jakarta – Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP UGM), The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dan Group on Women and Preventing or Countering Violent Extremism (WGWC) menggelar WGWC Talk seri ke-33 dengan tema ”Turning the Violence Stories into the Peaceful and Powerful Stories”, Jumat (26 Juli 2024). Agenda yang dipandu oleh Erin Gayatri (PSKP) menghadirkan tiga perempuan inspiratif dari Deli Serdang, Depok, dan Poso berbagi kisah mereka, yaitu Kartini Panggabean (Pendiri dan Pengasuh Pesantren Al-Hidayah Deli Serdang), Aminah Adnan (Salimah Poso), Dita (Forum Support Perempuan Tangguh).

Agenda yang dihadiri oleh 89 orang peserta, terdiri dari 77 perempuan dan 12 laki-laki mengupas keberhasilan transformasi dari tiga perempuan tersebut yang semula memiliki narasi kekerasan dan berhasil mengubahnya menjadi narasi damai. Dari agenda yang digelar selama dua jam setengah tersebut, mengeksplorasi pengalaman, pandangan, dan praktik seorang pemimpin pesantren atau komunitas Muslim, dengan penekanan khusus pada peran perempuan, nilai-nilai Islam, dan kontribusi terhadap masyarakat yang lebih luas.

Diskusi tersebut menjadi sangat penting karena terdapat transformasi narasi yang semula dari kekerasan menjadi narasi damai. Narasi tersebut upaya melawan ekstremisme kekerasan, membantu mengubah perspektif individu menjadi lebih damai dan inklusif. Dari tiga narasumber yang hadir, menjadi bukti upaya resolusi. Di mana perempuan dapat berperan penting dalam mengubah narasi kekerasan menjadi narasi damai, yang merupakan langkah krusial dalam mengatasi konflik berbasis gender.

Pengalaman Perempuan Menjadi Kebenaran Tertinggi

Dalam diskusi tersebut, Ketua Dewan Pertimbangan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI),  Kyai Haji Husain Muhammad menanggapi cerita dari tiga perempuan. Dia mengungungkap jika pengalaman perempuan adalah kebenaran tertinggi. Dalam kesempatan tersebut juga dirinya menekankan pentingnya pendidikan dalam membangun peradaban yang baik, dengan sistem relasi dialektis berbasis etika kemanusiaan dan hak asasi manusia.

”Dari cerita tersebut menunjukan jika perempuan adalah manusia utuh dengan potensi akal, spiritual, seksual, dan energi tubuh yang setara dengan laki-laki,” tekannya.

Dia menekankan pentingnya memperlakukan perempuan dengan baik, karena perlakuan terhadap perempuan akan membentuk generasi mendatang. Kyai juga menyoroti perlunya perempuan mandiri secara finansial dan pentingnya analisis akar masalah dalam masyarakat, terutama terkait cara pandang keagamaan yang seringkali tekstualis dan resisten terhadap perubahan.

”Perlu juga mendorong rekontekstualisasi agama untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu keadilan, kemaslahatan, dan Rahmat,” pungkasnya.

Perempuan Memiliki Kapasitas Menciptakan Damai

Di saat yang sama hadir juga Dosen Kajian Budaya dan Media Sekolah Pasca Sarjana UGM Arifa Rahmawati melihat pengalaman para narasumber dari perspektif Women, Peace, and Security (WPS). Dirinya menekankan bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk menciptakan perdamaian dan narasi-narasi positif.

”Para narasumber menunjukkan agensi aktif mereka dalam mengubah lingkungan sosial mereka melalui pendidikan dan komunitas,” terangnya.

Dia menyoroti konsep kesalehan sosial yang diwujudkan oleh para narasumber melalui nilai-nilai dan perilaku sosial positif yang mereka tularkan kepada orang lain. Dirinya juga melihat peran WGWC sebagai fasilitator bagi perempuan yang telah memiliki kesadaran reflektif untuk melakukan perubahan sosial.

”Penting juga proses memfasilitasi ini dalam mengubah narasi kekerasan menjadi narasi perdamaian, dan mendorong agar terus memberikan ruang aman bagi perempuan untuk berbagi pengalaman dan energi positif,” pungkasnya.

 

TERBARU

Konten Terkait