32.7 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Menyelami Pengalaman Perempuan sebagai Upaya Reintegrasi Ideologi Ekstrimisme

Faktor penyebab keterlibatan perempuan dalam pemahaman ideologi ekstrimisme rupanya tidak dilahirkan secara tunggal. Bak pohon beringin dengan akar yang bercabang, ideologi ekstrimisme pada perempuan tidak bisa dilihat dari kacamata tunas yang sama baik dari segi agama, politik, ekonomi, psikologis, bahkan sosial-budaya.

Pera Sopariyanti, Direktur Rahima dalam diskusi WGWC mengungkapkan keterlibatan perempuan dalam mendukung narasi ekstrimisme tidak hanya selalu beririsan dengan pemahaman keagamaan yang kurang tepat. Dalam riset bersama Rukun Bestari pada 2021 bertajuk agensi perempuan dan ekstrimisme, Rahima menemukan salah satu cerita mantan pendukung ideologi ekstrimisme  yang keterlibatannya justru dilatarbelakangi oleh kesalahan pola pengasuhan saat kecil.

Pada kasus yang berbeda, Kairani Arifin dari Balai Syura Aceh mengungkapkan bahwa beberapa perempuan yang terlibat ideologi ekstrimisme justru lahir dari situasi politik maupun situasi keluarga. Dalam situasi keluarga, keterlibatan perempuan didorong untuk semangat untuk memerdekakan wilayah sebagai bentuk jihad melanjutkan perjuangan sang ayah atau kakak yang telah terbunuh di medan perang. Faktor-faktor ini yang menyebabkan perempuan mencari bahkan meminta untuk bergabung dengan kelompok ekstrimisme secara sukarela.

Keragaman faktor keterlibatan perempuan dalam ideologi ekstrimisme di atas menjadi sebuah gagasan untuk bisa memaksimalkan proses reintegrasi mantan ideolog ektrimisme yang lebih mengedepankan proses pendalaman pengalaman perempuan. Jangan sampai reintegrasi yang dilakukan justru tidak tepat sasaran bahkan justru membikin kehidupan perempuan semakin terpuruk baik dari psikis, ekonomi dan sosial.

Reintegrasi Tepat Sasaran

Sebut saja namanya Melati. Perempuan cerdas, ulet serta teguh pendirian. Dalam suatu kelompok atau komunitas, ia adalah pemimpin yang dikagumi karena mampu berdiskusi dan mempengaruhi pemikiran orang lain dengan piawai. Sehingga sosok Melati pantas kiranya menjadi incaran kelompok ideologi ektrimisme untuk dijadikan agen penyebaran paham ideologi radikalisme, kekerasan ekstrimisme.

Melati adalah salah satu narasumber riset Rahima yang sudah tergabung dengan ideologi ekstrimisme. Meski baru disadari, ternyata Melati mulai menuai benih ideologi ekstimisme sejak ia duduk di bangku pendidikan SMA. Ia direkrut oleh kelompok ekstrimisme untuk menjadi media perekrut utama ideologi ekstrimisme mulai dari unit terkecil sperti keluarga, teman hingga kelompok yang bahkan tidak disukai. Di Bandung, Melati sudah memiliki kurang lebih 200 kelompok diskusi yang terbagi menjadi ribuan rayon di beberapa kampus.

Lantas, apa yang membuat Melati keluar dari pemahaman ekstrimisme dan kembali ke jalan yang benar?

Menyelami Pengalaman Perempuan. Dalam riset Agensi Perempuan dan Ekstrimisme menggunakan pendekatan secara feminis di mana pendalaman pengalaman perempuan menjadi sebuah proses acuan utama titik balik para mantan aktivis kelompok ekstrimisme, sama halnya dengan Melati.

Rahima melakukan upaya reintegtrasi dengan menyelami pengalaman Melati sebagai seorang perempuan baik dari sisi psikologis, ekonomi dan pendidikan. Memberikan ruang untuk mendengar sepenuhnya cerita dan pengalaman Melati sejak kecil hingga dewasa.

Hasilnya, Melati sejak kecil dididik dengan keras dan dituntut patuh oleh bibinya. Tidak ada ruang kebebasan sedikitpun bagi Melati untuk sekadar mengekspresikan keinginannya barang sekejap. Ia membutuhkan sosok yang mampu mendengar dan merangkul. Hingga pada akhirnya kekosongan ini dimanfaatkan oleh kakak angkatnya untuk menjadikan Melati masuk secara perlahan dan lebih dalam diproyeksikan menjadi agen ideologi ekstrimisme.

Rahima mencoba masuk lebih dalam dengan membuka ruang kehangatan dan mencoba mengembalikan memori-memori bahwa ada benturan nilai-nilai dalam keluarga dan agama yang selama ini salah dipahami. Saat pendekatan psikologis dan agama ini cukup, selanjutnya Rahima memberikan buku pegangan berupa kontra narasi ekstrimisme dan terorisme.

Resiliensi dalam Ruang Diskusi Organisasi. Upaya reintegrasi perempuan mantan aktivis kelompok ekstrismisme juga harus dibarengi dengan pengorganisasian. Jelasnya, ruang diskusi dalam sebuah organisasi menjadi tempat nyaman bagi para mantan ideolog ekstrimisme untuk bercerita tentang apapun di mana pada saat yang sama mereka sudah tidak mendapatkan tempat kembali di kelompok mereka sebelumnya.

Rahima turut membangun ruang organisai itu sebagai wadah membangun kepercayaan diri bahwa para mantan aktivis ektrimisme tidaklah sendiri. Mereka berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan layak di masa depan. Inilah upaya-upaya membentuk kesadaran perempuan mantan aktivis ideologi ekstrimisme untuk bisa kembali ke pemahaman NKRI yang benar.

Reintegrasi ini harus berbasis pada pengalaman perempuan, karena jika pendekatannya masih maskulin, sulit membangun kesadaran perempuan karena tidak smpai ke pengalaman perempuan.

 

TERBARU

Konten Terkait