GenZ sering mendapat label yang kurang menyenangkan, seperti “ogah-ogahan”, “mageran”, atau “lemah mental”. Namun, pandangan ini jauh dari kenyataan. Sesungguhnya, para pemuda ini adalah sumber daya yang luar biasa, hanya menunggu untuk diaktifkan dengan cara yang tepat. Mereka membutuhkan ruang yang sesuai untuk mengekspresikan kreativitas, platform untuk didengar, dan pengakuan atas kontribusi mereka.
Dengan pendekatan yang tepat, Gen Z dapat menjadi kekuatan utama dalam mencegah konflik dan memerangi toleransi hingga ekstremisme kekerasan. Energi, idealisme, dan keterampilan digital mereka yang mumpuni dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan pesan perdamaian, membangun jembatan antar komunitas, dan menciptakan solusi inovatif untuk masalah sosial. Dengan memberdayakan mereka, kita tidak hanya menepis stigma negatif, tetapi juga membangun benteng yang kuat melawan radikalisasi dan kekerasan dalam masyarakat.
Orang Muda dan Pencarian Ruang Aman
Ketika orang muda tidak mendapatkan kenyamanan dan tempat meluapkan energi positifnya, mereka bisa jadi mencari tempat lain yang mampu membuat mereka aman dan nyaman jadi diri sendiri. Organisasi-organisasi radikal pun menggunakan pendekatan yang mampu menarik hati orang muda dengan mengajak mereka berpartisipasi dalam kegiatannya dan terus bersuara di sosial media.
Nah, Solo Bersimfoni yang merupakan organisasi penjaga perdamaian itu menangkap ragam sinyal potensi radikalisme kepada orang muda. Mulai 2018, Solo Bersimfoni giat mencegah penyebaran radikalisme di Solo Raya (Surakarta, Klaten, Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar, Wonogiri). Solo Bersimfoni memfasilitasi dan mendampingi orang muda (Sahabat Simfoni) untuk berkarya melalui penciptaan video, podcast (siniar), film, menjadi pembawa acara, dan sebagainya.
Karya-karya orang muda (Sahabat Simfoni), seperti video diskusi isu ‘Tren Self Harm di Kalangan Pelajar’, ‘Menyibukkan Diri dengan Berorganisasi’, ‘Pembentukan Karakter Beda Generasi’, dan masih banyak lagi. Dari situ, gen Z bisa memaksimalkan potensi, berkreasi, berjejaring, dan berdaya untuk dirinya, sebaya, dan sekitarnya. Budaya kebersamaan dan kolaborasi dilakukan selama proses pembuatan karya. Karya-karya tersebut jadi narasi alternatif untuk pencegahan radikalisme dan terorisme.
Hasthalaku, Benteng dari Radikalisme di Zona Merah Solo Raya
Solo Bersimfoni pun menggaungkan nilai luhur Hasthalaku. Apa itu, dan mengapa perlu dilakukan? Solo yang selama ini kita kenal sebagai wilayah yang punya ragam budaya itu ternyata merupakan zona merah penyebaran radikalisme dan terorisme di Indonesia. Kelompok Solo merupakan salah satu yang terlibat dalam Bom Bali silam. Perlu sekali memutus rantai radikalisme pada orang muda, salah satunya dengan hadirnya komunitas Solo Bersimfoni yang membiasakan Hasthalku.
Hasthalaku merupakan delapan nilai luhur budaya Jawa yang terdiri dari gotong royong, grapyak semanak (ramah tamah), lembah manah (rendah hati), ewuh pekewuh (saling menghormati), guyup rukun, pengerten (pengertian), tepa slira (tenggang rasa), andhap asor (berbudi luhur). Ketika berpegang dan memaknai Hasthalaku, maka individu akan senantiasa berpikiran dan bertingkah laku memanusiakan manusia, menjauhi kekerasan, dan saling membantu untuk kebaikan.
Hasthalaku merupakan benteng yang menjadi pengingat kalau batas kebebasan seorang manusia itu adalah kebebasan orang lain, menyediakan ruang aman bagi diri sendiri dan orang lain. Karakter damai lewat Hasthalaku pada model Sekolah Adipangastuti digabungkan dengan kebijakan implementasi Kurikulum Merdeka sebagai ko-kurikuler dan upaya tersebut disinergikan dengan implementasi RAN PE.
Anak Sekolah Disuapi Paham-Paham yang Menyempitkan Kreativitas
Orang muda yang seharusnya belajar, merawat, dan merayakan keberagaman di Solo Raya malah disuapi dengan doktrin-doktrin radikalisme dan terorisme melalui alumni sekolah dan sosial media. “Ada sekolah yang nggak mau hormat bendera, nggak kenal Indonesia Raya, nggak nggambar, nggak nyanyi, nggak tepuk tangan”, ucap Pak Farid dari Solo Bersimfoni. Ironisnya, banyak orang tua yang memasrahkan penuh pendidikan karakter anaknya di sekolah, pesantren, dan sebagainya di Solo Raya. Padahal, belum tentu sekolah tersebut aman dari penyebaran radikalisme dan terorisme.
Kepala Sekolah dan Orang Tua Bisa Apa?
Pak Farid dari Solo Bersimfoni mengatakan, “Kepala sekolah wajib tegas untuk menerima dan menyaring siapa saja yang mengadakan kegiatan di sekolah, siapa pembicaranya, dan melakukan cek latar belakang alumni-alumni yang hendak datang ke sekolah”. Orang tua pun perlu mempertimbangkan banyak hal ketika hendak memilih sekolah untuk anaknya. Selain itu, anak perlu mendapatkan pendidikan mengenai pentingnya bertoleransi dimulai orang tua dan saudara di rumah.
Solo Bersimfoni menjadi Pendengar yang Baik untuk Gen Z, Untuk Apa?
Salah satu pendamping Solo Bersimfoni, yaitu Tia Brizantiana percaya bahwa saat bersama dengan remaja, orang dewasa perlu menjadi pendengar yang baik. Orang muda dilatih untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki dan berdaya, seperti berbicara di depan publik, seperti melalui podcast dan menjadi pembawa acara. Mereka dilatih untuk belajar lebih banyak, melawan ketakutan di hadapan umum, memahami orang lain, dan menebarkan benih kebaikan kepada sebaya dan sekitar.
Ketika orang muda didengarkan dan mendapatkan afirmasi positif, dan memiliki support system, mereka akan semakin mantap utuk berkarya. Kesadaran dan partisipasi bermakna orang muda terhadap perdamaian dan kesetaraan gender perlu dilakukan di sekolah dan kehidupan sehari-hari. Membentuk karakter yang cinta damai, berpikir kritis, ingin selalu belajar, dan berkarya itu perlu difasilitasi dan didampingi.
Ruang-ruang perjumpaan orang muda perlu diperbanyak. Keluarga, sekolah, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat perlu hadir dan berperan. Semoga, hadirnya Solo Bersimfoni dengan nilai luhur Hasthalaku bisa meyadarkarkan beragam pihak untuk mendukung pendidikan tentang toleransi kepada orang muda.