“Korban tindak pidana terorisme adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana terorisme” pasal 1 ayat 11 UU5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Konsep korban seperti dikemukakan Syafiq Saerozi – Program Manager Aliansi Indonesia Damai (AIDA) itu, mendorong kita mempersepsikan ulang akan kecemasan kita pada orang-orang yang telah terpapar ideologi terorisme. Coba bayangkan, bagaimana ketika ada kejadian terorisme, suasana yang chaos, lalu para korban didatangi banyak jurnalis dan diberondong pertanyaan, “Gimana perasaannya?” atau “Bisa diceritakan saat kejadian, Bapak berada di mana?” dan lain-lain.

Syafiq mengakui pertanyaan semacam itu sangat mengesalkan, karena tak sejalan dengan prinsip advokasi yaitu memahami situasi korban. Hal itu menjadi alasan kuat bagi AIDA untuk menyelenggarakan pelatihan bagi para jurnalis perihal bagaimana komunikasi yang empatik dan memahami psikis korban. Selain itu AIDA yang memiliki visi membangun Indonesia yang damai berdasarkan nilai saling menghormati, saling percaya dan persaudaraan memiliki konsep sendiri untuk memahami korban.
Bahwa pada setiap kejadian aksi terorisme, dampak yang seketika muncul adalah korban langsung misalnya orang-orang yang cedera, luka atau meninggal. Serta korban tidak langsung yaitu orang yang terdampak misalnya perempuan yang menjadi janda, laki-laki yang jadi duda dan anak yang jadi yatim akibat meninggalnya korban.
“Merekalah orang yang mendadak menderita fisik dan psikis yang dipengaruhi oleh cedera atau hilangnya nyawa korban,” tegas Syafiq. “AIDA hadir untuk membangun perdamaian melalui kisah korban terorisme. Korban terorisme sebenarnya yang paling bisa mewakili dan paling tepat menyuarakan bahwa terorisme itu nyata dan sangat merugikan, serta menimbulkan penderitaan yang langsung tampak atau nyata.”
Meski dalam pencegahan ekstrimisme kekerasan baru atau kejadian berulang, kerja-kerja yang Syafiq lakukan berpijak landasan kerja Resolusi 1325 PBB, yaitu pilar rehabilitasi dan reintegrasi, tetapi pengalamannya sendiri memaparkan hal yang penting untuk diperhatikan. Advokasi yang dilakukan dibedakannya menjadi dua pendekatan, yaitu advokasi struktural dan advokasi humanis. Advokasi struktural yang dilakukan yaitu untuk memperoleh perhatian pemerintah untuk bisa membantu para korban yang terdampak berkelanjutan akibat bom.
Salah satu upaya advokasi struktural yang sudah membuahkan hasil, adalah ketika tahun 2013 AIDA terlibat revisi UU yang berupaya memasukkan pasal tentang hak korban pidana terorisme untuk mendapatkan rehabilitasi medis, psikis dan psikososial, karena saat itu pelaksanaannya belum maksimal. Pada akhirnya tahun 2018, UU 5/2018 memiliki pasal bahwa korban terorisme yang lama pun bisa mendapat hak seperti yang AIDA perjuangkan. Pada proses advokasi humanis, AIDA membantu mendukung para korban membentuk kelompok yang saling menguatkan misalnya Sahabat Thamrin (korban Bom Thamrin) dll dan dilanjutkan dengan mendorong komunitas korban bom Kampung Melayu.
“Mengapa penting untuk membentuk kelompok? Untuk saling menguatkan dan menjadi wadah refleksi dan menumbuhkan empati antar korban. Misalnya bahwa apa yang dialami saya sekarang ternyata tidak seberat yang dialami teman saya, di situ tumbuh keinginan untuk terus berjuang. Selain itu pada proses advokasi ini, ada juga advokasi psikis yang memiliki program memfasilitasi korban untuk mudah mengakses bantuan ke Yayasan Pulih, dan ke LPSK,” ungkap Syafiq lagi.
AIDA sendiri juga telah mengatur bagaimana pendampingan pada korban perempuan, di mana tim AIDA yang perempuan akan melakukan pendekatan dan membangun kedekatan terlebih dahulu. Jika proses sudah berjalan dan perlu bantuan advokasi dari anggota tim yang lelaki, barulah mereka akan turut serta dalam pendampingan. LPSK memegang otoritas untuk memandu AIDA, yerutama dalam menjadwalkan waktu-waktu yang tepat untuk berkunjung, mendampingi dan menindaklanjuti.
Pada beberapa kasus korban memang melakukan penolakan untuk ikut serta dalam proses pendampingan dari AIDA. Syafiq menuturkan hal itu didasari keinginan mereka untuk melupakan. Tak mau mengingat apapun yang terkait dengan peristiwa. Lalu, katanya diasumsikan juga bahwa korban yang menolak ini tidak menunjukkan masalah baik terimbas secara ekonomi, maupun terkena ke psikisnya.
“Hal itu tidak bisa kami paksakan. Kecuali mereka menolak pada awalnya, tapi kemudian menunjukkan keterpurukan. Kami dari AIDA akan mencoba mendekati dan mendorong mereka untuk bangkit.”
Sebagai kesimpulan, Syafiq mengungkapkan bila ditanya apa yang utama bagi AIDA, memperbaiki situasi atau memunculkan narasi perdamaian? Dia tidak menampik bahwa kesabaran untuk menunggu situasi yang membaik akan menjadi modal proses selanjutnya. Bila situasi dan kondisi korban sudah membaik, merekalah yang akan memegang peranan penting untuk proses selanjutnya.
“Nasihat orang yang pernah mengalami kondisi yang terpuruk itu lebih akan didengarkan, ketimbang misalnya saya yang bicara. Misalnya untuk memberikan edukasi kepada anak-anak yang tidak mengetahui peristiwa bom semisal mereka belum lahir pada saat itu, maka suara para korban ini sangat berperan. Selain itu, faktor usia juga berpengaruh, sehingga korban-korban dari peristiwa,-peristiwa belakangan ini perlu difungsikan lebih banyak, untuk bersuara pada kaum muda. Karena biasanya antar pemuda akan lebih mudah mendengar satu sama lain.”
Semoga misi AIDA dalam memberdayakan, melatih dan mendorong korban terorisme untuk menjadi duta perdamaian dengan menyadarkan masyarakat akan dampak negatif kekerasan bisa terus terlaksana, hingga mampu menjadi upaya pencegahan dari penggunaan aksi kekerasan dalam mengejar suatu tujuan.