Setiap manusia apapun tindak perilaku baik buruknya, tetaplah manusia. Mereka punya kebutuhan untuk dihargai dan dicintai, serta diperlakukan layaknya manusia. Tak terbatas bila mereka istri dan anak pelaku terorisme meski masyarakat tak melulu sepakat tentang hal ini. Termasuk, krusialnya peran para pendamping ketika terjadi proses rehabilitasi dan reintegrasi.
Berbicara dan narasi tentang ekstremisme dan terorisme, masyarakat terbiasa fokus pada korban maupun keluarga pelaku (atau yang disebut dampingan). Bahkan UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah memuat pasal dan ayat yang memperhatikan kebutuhan korban, yang diharapkan mampu mengakomodir kebutuhan korban.
Namun, PoV (point of view) rekan-rekan advokasi yang menjadi pendamping tak kalah pentingnya. Proses rekam jejak dan pembelajaran akan banyak terjadi karena yang didampingi adalah manusia. Kemungkinan muncul cerita dari pendampingan dengan pendekatan populis dan humanis.
What makes us human is not our mind but our heart, not our ability to think but our ability to love – Henri J.M. Nouwen
Perkataan Nouwen ini menjadi tepat, selaras dengan penuturan Mega Priyanti – Field Facilitator Yayasan Empatiku. Dorongan terbesar yang menjadi faktor utama Mega terjun langsung adalah faktor kemanusiaan. “Saat mereka butuh bantuan maka kita harus membantu apalagi para deportan ini sudah mengaku salah dan perlu dibantu. Ketika laki-laki masuk pembinaan (lapas) maka perempuan menjadi pihak yang memikul banyak beban. Beban perempuan dalam kasus yang saya dampingi misalnya ada yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK), ada juga yang memiliki beban kesehatan, kekurangan di bidang ekonomi, kesulitan untuk memfasilitasi pendidikan anak. Bagaimana jika mereka tidak ada yang mendampingi?”
Senada dengan Mega, Sri Wahyuni – Pekerja Sosial dari Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani-Kementerian Sosial mengungkapkan banyak cerita selama mendampingi baik pelaku maupun anak yang terpapar. Dengan dasar kemanusiaan, para pendamping ini berupaya semaksimal mungkin mendekati tanpa tendensi mengintimidasi.
“Biasa pendekatan awal dimulai dengan perkenalan, setelah terjalin kedekatan maka dilakukan assesment awal. Banyak muncul sinisme dan kecurigaan, apalagi mewakili pekerjaan dari pemerintah yang dianggap thagut. Namun, kami harus tetap humanis. Pernah juga dipanggil kafir baik secara langsung maupun tidak langsung, apalagi mereka lihat di antara pendamping, ada yang non-islam.”
Pendamping dengan pekerjaan pendampingannya memang memiliki andil yang penting selama proses rehabilitasi dan reintegrasi korban dan “mantan”. Pendamping pada dasarnya akan menjadi pihak terdekat yang berinteraksi dengan korban, mantan maupun keluarga pelaku, dan tentunya pendamping tak bisa lepas dari sisi-sisi anusiawi dalam berinteraksi dengan kliennya.
Ketika Mega dan Sri Wahyuni ditanya adakah perubahan dalam diri mereka, terutama dari sisi sebagai manusia, Sri mengemukakan sejak awal dia tegas membuat boundaries dan menerapkan Kode Etik sebagai Pendamping. “Saya tidak pernah memberi alamat rumah dan tidak pernah memberi kontak. Kecuali pada saat menghubungi keluarga yang bersangkutan.” Dengan menerapkan prinsip tegas seperti itu, Sri merasa lebih bisa memaksimalkan kapasitasnya sebagai pendamping.
Sementara Mega sendiri menuturkan pengalaman suka dukanya yang lebih berwarna. “Pendampingan ini membuat saya belajar di universitas kehidupan. Saya melihat berbagai karakter, dan semua orang berjuang dengan kehidupannya, serta untuk selalu bersyukur. Saya dulu orang yang sangat sulit, pemilih saat mau makan. Setelah beberapa kali melakukan proses pendampingan, saya mulai melihat bahwa hidup itu harus selalu disyukuri, di luar sana banyak yang tidak makan. Jika dulu saya sering mengeluh, kini jadi sadar bahwa ada orang lain yang mengalami masalah yang berat.”
Stigma negatif adalah hal yang sangat tak bisa dihindari para pendamping. Misalnya ‘ngapain bantuin orang susah, saya juga biasa dianggap sebagai pengkhianat bangsa.’ Atau ‘saya tuh teroris, ngapain dibantu?’ Bahkan teman-teman pendamping ini sering dan terbiasa dikafir-kafirkan. “Ada bahkan deportan yang menolak untuk didampingi dan sering mengirim sms tentang surga dan neraka sebagai unjuk penolakan”, tambah Mega lagi.
Ketika ditanya apakah saat proses mendampingi klien, pernah terjadi conflict of interest? Mega punya cerita sendiri.
“Ketika saya masuk terlalu dalam pada masalah si deportan, saya sampai nggak bisa tidur dan nggak bisa makan. Saya merasa masalah mereka harus diselesaikan, sampai memengaruhi kehidupan saya di rumah. Tapi hal ini nggak benar, saya menyadari hal ini malah membuat dampingan bergantung pada pendamping. Pernah juga bertengkar dengan suami karena masalah dampingan, misalnya masalah terkait ekonomi. Saat mereka butuh uang, saya menggunakan uang pribadi untuk membantu serta sering juga memberi barang pada mereka. Namun saat ini saya sudah bisa mengambil sikap. Tugas saya adalah pendamping dan saya bukan malaikat yang harus menyelesaikan setiap masalah. Masalah klien harus dipecahkan bersama bukan hanya saya.”
Kisah Sri Wahyuni dan Mega hanya dua dari sekian banyak cerita pendamping, bak untold story dalam isu besar ekstremisme dan terorisme. Berperan penting tetapi kurang diungkap secara proporsional, bahkan tak terlindungi dengan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Cerita Sri Wahyuni tentang anak dampingannya, mungkin bisa menyimpulkan betapa para pendamping ini ketika berproses memanusiakan teman-teman dampingan, mampu membangkitkan optimisme anak dari keluarga pelaku ekstremisme.
“Ternyata ada dari mereka yang cita-citanya sampai ingin menjadi pekerja sosial seperti kami. Saya bertanya padanya, kenapa ingin menjadi kayak kami? Kata anak itu karena ibu sabar sama kami.”