Ketika mendengar kata ‘ulama’, orang-orang terbayang dengan sosok laki-laki yang sedang berceramah di depan para umat. Padahal, ulama tidak hanya laki-laki. Banyak ulama perempuan dari akar rumput yang bisa kita pahami perspektifnya. Perlu diadakan ruang-ruang perjumpaan untuk memahami pemikiran yang adil gender.
Muncul untuk Mengatasi Masalah Sehari-Hari yang Jarang Diperhatikan
Rahima merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang aktif melakukan pendampingan dan pendidikan keadilan gender, khususnya kepada ulama perempuan. Beragam persoalan keseharian, seperti perkawinan anak, kesehatan reproduksi, pendidikan, pencegahan ekstremisme masih kurang tersentuh. Malah, beberapa tahun lalu, tokoh agama seringnya berceramah mengenai ‘hijrah’, ‘jihad’, ‘khilafah’, hingga ajakan untuk menjadi asing, eksklusif, dan melakukan segala cara, hingga kekerasan untuk ‘membela agama’.
Perempuan dibatasi dan selalu dituntut untut taat mutlak kepada suami. Hal tersebut sangat berbahaya karena perempuan tidak diberikan kesempatan untuk memilih dan keberaniannya ditahan.
Dukung Kesalingan, Bukan Ketaatan Mutlak
Ketika saya datang ke pernikahan-pernikahan sepupu, kebanyakan ceramah dilakukan oleh ulama laki-laki yang mana seringnya menyuruh perempuan untuk menjadi penurut. Nah, Rahima menjadi wadah para ulama perempuan tampil, bersuara, bukan untuk menantang laki-laki, namun berkolaborasi untuk belajar dan mempraktikkan kesalingan. Kesalingan menjadikan perempuan dan laki-laki saling menghormati dan menyayangi. Kalau perempuan terus di posisi yang tidak setara, itu menjadi bibit ekstremisme yang menghalangi peran perempuan di ruang publik.
Rahima menciptakan ruang-ruang perjumpaan untuk berdialog lintas agama dan kepercayaan sehingga lebih peka terhadap keadilan gender. Selain melakukan pengkaderan dan pendampingan kepada ulama perempuan, Rahima pun menyelenggarakan Madrasah Rahima untuk guru agama yang berusaha memupuk pendidikan adil gender dan pencegahan ekstremisme, Madrasah Rahima untuk mahasiswa yang memberikan pendidikan dan pengkaderan yang adil gender, Madrasah Rahima untuk tokoh agama yang memproduksi khutbah nikah yang menekankan pesan kesalingan suami dan istri, pengkaderan ulama laki-laki yang membuat sadar gender dan memberi ruang kepada pasangan, memproduksi buku-buku kontra narasi ekstremisme kekerasan, dan lain-lain.
Tokoh Agama jadi Target Utama Kelompok Ekstrem
Suara dan perspektif keadilan gender ulama-ulama perempuan sangat penting untuk didukung, karena masyarakat banyak yang mengikuti perilaku dan perkataan tokoh agama. Pendidikan pencegahan ekstremisme penting untuk ulama perempuan itu sendiri dan untuk masyarakkat. Mengapa begitu? Sejatinya, tokoh agama menjadi target penyebaran paham oleh kelompok ekstrem. “Mereka jadi target karena tokoh agama sudah punya pengikut dan akan berdampak kepada pengikutnya”, ucap Bu Pera dari Rahima.
Praktik-praktik baik yang dilakukan Rahima mendukung ulama perempuan bersuara tentang keadilan gender dan kesalingan, pelan-pelan melunturkan stigma di masyarakat. Anggapan-anggapan buruk yang sempat populer, yaitu “Perempuan adalah sumber fitnah”, ‘Suara perempuan adalah aurat”, “Perempuan harus pasrah kalau suami melakukan poligami, karena kelak balasannya adalah surga”. Waduh, saya ngeri sekali mendengarnya.
Berpikir Kritis dan Berani Melakukan Hal Bermanfaat
Para ulama perempuan mengajarkan kepada masyarakat agar mereka tidak menelan mentah-mentah anggapan negatif tentang perempuan. Berpikir kritis dan berlogika sangat penting agar perempuan tidak merasa dibatasi untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Tinggal stigma-stigma yang mengerdilkan kemampuan perempuan.
Rahima Salah Satu Penyelenggara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)
Rahima pun jadi salah satu penyelenggara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Ruang dialog yang digagas itu membahas mengenai ekstremisme, kekerasan seksual, sunat perempuan, perkawinan anak, isu lingkungan, disabilitas, dan sebagainya. Kongres dihadiri oleh ulama perempuan dan laki-laki, kelompok rentan, jurnalis, dosen, mahasiswa, guru dari seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri. Ini mengingatkan kita agar tidak berjuang sendiri, perlu saling berkolaborasi untuk kebaikan.
Upaya Rahima merangkul, mengajak, dan menguaykan ulama perempuan dan beragam komunitas sangat patut diapresiasi dan didukung keberlanjutannya. Melawan ekstremisme dan diskiminasi perlu dibarengi dengan upaya pengorganisasian dan resiliensi. Kalau tidak dibarengi kemampuan adapatasi di situasi sulit dan pemberdayaan, korban yang terpapar paham ekstrem sangat rentan dan rawan untuk kembali.
Menguatkan Orang yang Keluar dari Kelompom Eksktrem
“Orang yang baru keluar dari kelompok ekstrem akan merasakan gejolak karena mereka dimusuhi oleh kelompoknya, dapat tekanan psikologis, diputus segala akses, dan itu terjadi sistematis”, ujar Bu Pera dari Rahima. Hal tersebut tentu akan membuat orang yang berniat keluar akan bimbang. Peran ulama perempuan dengan ajarannya yang memanusiakan manusia dan peka gender itu diharapkan bisa menguatkan untuk menjauhi kelompok ekstrem.
Orang-orang yang masuk ke dalam kelompok ekstrem itu jalan hidupnya sudah disetir oleh kelompok, karena tujuannya untuk merebut ruang dan kebijakan publik. Mereka Mereka disuruh masuk ke formasi CPNS, masuk birokrasi pemerintah, mengubah kebijakan, atau membangun negara Islam”, sambung Bu Pera.
Upaya ulama perempuan yang peka terhadap masalah yang ada di sekitar perlu terus dilakukan supaya masyarakat sekitar hidup nyaman, berdaya bagi diri sendiri dan sekitar. Dengan begitu, ideologi ekstrem dan hoaks tidak mudah menjalar. “Perempuan merupakan agen perdamaian, bukan hanya sebagai korban maupun pelaku”, ucap Bu Debbie dari Fisipol UMJ.
Upaya Rahima perlu kita dukung, sebarkan, rawat, dan reproduksi terus menerus agar makin banyak masyarakat yang berpikit kritis, berani menyampaikan pendapat, beradaptasi, dan berdaya, dan say good bye dengan paham ekstrem.