Akhir-akhir ini banyak perempuan di Indonesia secara perlahan menjadi bagian aktif dalam jaringan ekstremisme kekerasan mengarah kepada terorisme., tidak hanya mendukung  laki-laki untuk ‘tugasnya’ di garda terdepan. Dete Aliah, peneliti dari SerVE Indonesia, menyatakan pertambahan jumlah perempuan sebagai bagian strategis ekstremisme kekerasan sudah mencapai 500-an. Bulan Mei 2018, kita dikejutkan dengan peristiwa bom bunuh diri d halaman Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro, Surabaya yang melibatkan pelaku perempuan. Pada bulan Maret 2021, seorang perempuan berusia 25 tahun, diduga sebagai anggota Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), mencoba menembaki Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta dan tewas ditembak.
Potensi ekstremisme kekerasan mengarah kepada terorisme di Indonesia memang besar, merusak kohesi sosial, mengancam keamanan dan stabilitas negara dan kehidupan masyarakat, serta merusak nilai-nilai kemanusiaan yang sudah dimiliki karena adanya dua faktor penting, yaitu pendorong dan penarik. Konteks pendorong di sini bisa ditarik dari kondisi yang sudah tercipta secara struktural, seperti situasi ekonomi yang tidak menguntungkan bagi sekelompok masyarakat, peminggiran dan diskriminasi di suatu negara. Sementara itu, motivasi pribadi yang didorong dari kondisi marginal, viktimisasi, ideologi, serta jejaring sosial merupakan konteks penarik mengapa banyak yang ingin melakukan tindak ekstremisme kekerasan.
Penggunaan media sosial yang intens dengan jumlah penggunanya di Indonesia telah mencapai 173, 59 juta  di tahun 2024. menurut the Global Statisics. Ini merupakan potensi besar bagi kepentingan ekstremisme kekerasan. Ismail Fahmi dari Drone Emprit menambahkan algoritma media sosial cenderung menampilkan informasi sejenis dan diyakini benar oleh para penggunanya. Hal ini mengisyaratkan bahwa para perempuan pengguna media sosial mendapatkan dan meyakini  benar informasi tentang ekstremisme kekerasan dan semua aspeknya tanpa melihat narasi alternatif lainnya.
Rekrutmen Perempuan untuk Ekstremisme Kekerasan
Media sosial memang dapat mempercepat interaksi para penggunanya serta memperluas jejaring sosial dari berbagai latar belakang, termasuk jaringan ekstremisme kekerasan yang mengarah kepada terorisme. Nurshadrina Khaira Dhania atau dikenal dengan Dhania berkenalan dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS ) melalui Facebook pada tahun 2015. Perkenalannya dengan ISIS membentuk pola pikirnya berubah bahkan hingga mengajak keluarganya untuk pindah ke Syria karena iming-iming janji kekhilafahan di Syria untuk kehidupan dan keadilan yang lebih baik.
Facebook juga merekatkan para perempuan dalam satu relasi personal, seperti hubungan asmara hingga bertunangan yang pada akhirnya menjerat mereka ke dalam lingkar ekstremisme kekerasan. Beberapa waktu lalu, 2 perempuan pekerja migran Indonesia, Turmini dan Retno Hernayani, dijatuhi hukuman penjara di Singapura karena terbukti telah mendanai kegiatan terorisme yang dilakukan oleh Edi Siswanto dan Fikri Zulfikar, rekan prianya yang menjadi tunangannya dan terkoneksi dengan jaringan Jemaah Ansharut Daulat (JAD) yang berelasi dengan terorisme di Indonesia.
Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari, pekerja migran di Taiwan dan Hongkong, menjadi terpidana karena berencana melakukan bom bunuh diri, masing-masing di luar Istana Presiden dan Bali. Keduanya mempelajari ISIS melalui Facebook dan perkenalan dengan teman pria mereka bahkan hingga menikahi mereka, yang juga pendukung ISIS. Selanjutnya, komunikasi secara pribadi dan intens dilakukannya melalui saluran Telegram. Sementara itu, perempuan yang menembaki Mabes Polri pada tahun 2021 sangat aktiif menyebarkan propaganda dan bendera ISIS di Instagram.
Narasi Alternatif Perempuan di Media Sosial
Media sosial menjadi perekat bagi para perempuan yang terlibat ekstremisme kekerasan mengarah terorisme. Mereka berinteraksi dengan mudah dengan teman-teman sebaya sekaligus terlibat kisah romansa bersama pasangan mereka yang perlahan mengajak mereka dalam gerakan ekstremisme. Pun, media sosial menjadi sarana penyebaran propaganda gerakan ekstremisme dengan janji-jani indah yang tidak terverifikasi kebenarannya.
Kondisi tersebut membuat para perempuan sebagai target mereka luput untuk memeriksa ulang informasi serta mempertanyakan kebenarannya. Hal ini tidak disangkal oleh Dhania ketika tertarik untuk bergabung dengan ISIS, dan semakin  menjauhkannya dari berpikir kritis. Ini juga tidak terlepas dari peran media sosial sebagai media media baru dengan banyak kemudahan berinteraksi di tambah sebaran informasi yang sedemikian masif dan seragam tergantung dengan kepentingan para penggunanya. .
Dalam era revolusi 4.0, di mana media sosial telah menjadi tempat utama bagi interaksi sosial, peran perempuan dalam memerangi ekstremisme kekerasan menjadi krusial, terutama untuk mempengaruhi kelompok perempuan lainnya. Perempuan memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan positif dalam mencegah penyebaran ideologi radikal, didukung dengan keberadaan media sosial  untuk pembentukan narasi alternarif pencegahan hoaks terkait kebencian terhadap pemerintah, kelompok beragama lainnya, serta menjadi benteng pemikiran kritis terhadap informasi terkait ideologi yang terkait dengan gerakan ekstremisme kekerasan.
Dalam konteks ini, cukup banyak ruang aman bagi masyarakat, terutama perempuan, untuk saling berbagi informasi serta menyebarkan narasi alternatif untuk melawan ekstremisme kekerasan. Salah satunya adalah upaya yang dilakukan Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism atau dikenal dengan WGWC. Upaya-upaya baik yang dikerjakan perempuan dan komunitas-komunitasnya, termasuk yang dilakukan aparat pemerintah terkait pencegahan ekstermisme kekerasan,dirangkum WGWC sebagai media konsolidasi pengetahuan bagi masyarakat.
Melalui WGWC, kita mengetahui penguatan kerja-kerja masyarakat sipil dan pemerintah dengan penguatan pengarusutamaan gender (gender maintreaming) dalam setiap kebijakan policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. WGWC menjadi media kolaborasi 26 lembaga dari organisasi masyarakat sipil, organisasi kelompok agama, universitas, media hingga organisasi pemerintah di tingkat nasional maupun daerah sebagai mitra. Ini merupakan upaya strategis sebagai gerakan kolektif dalam diseminasi narasi alternatif melawan ekstremisme kekerasan mengarah terorisme dengan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan.
Walau pun aksi ekstermisme kekerasan mengarah terorisme di daerah-daerah di Indonsia relatif berkurang, narasi alternatif untuk menangkalnya harus digaungkan, sehingga ini menjadi upaya preventif positif yang dapat melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luasnya, terutama bagi perempuan. WGWC menjadi ruang alternatif ini, di mana menjadi bagian ruang diskusi dan pemberdayaan perempuan untuk berdaya secara pengetahuan, pendidikan, dan ekonom menjadi suatu ekosistem alternatif dengan menggunakan teknologi digital.
Dalam masa Indonesia memasuki Revolusi 4.0, di mana dominasi ruang dan aspek mengalami digitalisasi, maka ini memberikan dampak bagi perempuan untuk semakin mudah mengakses dan melakukan banyak upaya komunikasi, salah satunya terkait ekstremisme kekerasan mengarah terorisme . Resilensi perempuan untuk mencegah mereka terseret di dalamnya diperlukan sehingga mereka menjadi aktor penting dalam pencegahan ekstremisme kekerasan. Oleh karena itu, Â dukungan dan pemberdayaan perempuan dalam ruang daring dan dunia nyata perlu terus ditingkatkan dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan platform media sosial, untuk melawan ekstremisme dan memastikan keamanan daring dan di lapangan bagi semua.