Nama Dani Dwi Permana mungkin tidak familiar dalam benak kita, namun pada 17 Juli 2009, ia diberitakan menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton. Saat itu, ia masih berusia 18 tahun.10 tahun kemudian pada tanggal 12 September 2019, terdengar serangan bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan pada 13 September 2019. Pelakunya adalah Rabbial, mahasiswa yang menyamar sebagai pengemudi ojek online. Ia ditenggarai berkaitan dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Selang dua tahun kemudian, tanggal 31 Maret 2021, Mabes Polri dikejutkan dengan serangan yang dilakukan Zakiah Aini, berusia 25 tahun, dan sempat berstatus sebagai mahasiswa S2 yang sudah dicabut dari kampusnya.
Zakiah menggunakan senjata airgun yang sudah dimodifikasi untuk menembak dengan peluru 4,5 milimeter dan gas C02 sebagai pendorong peluru. Akhirnya, Zakiah tewas ditembak setelah aksinya. Gambaran tersebut memperlihatkan betapa kelompok muda di Indonesia berpotensi untuk direkrut dalam jaringan ekstremisme kekerasan mengarah kepada terorisme. Temuan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengindikasikan gerakan ekstremisme kekerasan dengan sasaran kelompok muda, termasuk mahasiswa. menunjukkan ekstremisme banyak menyasar anak muda, termasuk mahasiswa.

Pun, sebelum menjadi bagian dari ekstremisme, banyak anak muda sedang gandrung untuk turut dalam gerakan radikalisme. Menjadi radikal adalah bagian dari perjuangan hijrah mereka untuk menegakkan agama sebagai bagian ideologi mereka. Hal ini dikemukakan oleh Anas Saidi, peneliti LIPI (BRIN, saat ini), yang menyoroti betapa radikalnya kelompok anak muda dalam ideologi serta intoleran terhadap banyak perbedaan agama dan keyakinan. Ditambah lagi kondisi perguruan tinggi yang didominasi kelompok garis keras.
Pandemi COVID-19 lalu yang menyebabkan banyaknya pembatasan sosial di luar rumah tidak serta merta menyurutkan gerakan radikalisme dan ekstremisme untuk bergerak. Peningkatan aktivitas daring yang dimanfaatkan banyak oleh anak-anak dan remaja menjadi corong baru gerakan radikalisme dan terorisme. Media digital, termasuk media sosial, menjadi alat untuk menyebarkan paham radikalisme dan ekstremisme, sekaligus perekrutan yang memang menyasar kelompok muda., seperti yang diungkapkan Kepala BNPT, Komjen Rycko Amelza Dahniel. Bahkan, jauh sebelum pandemi menyerang, Islamic State of Iraq and Syria atau lazim disebut ISIS, telah melakukan rekruitmen melalui media sosial.
Kondisi di luar negeri pun sama halnya dengan di Indonesia. Tahun 2015, pimpinan Kepolisian Metropolitan London, Richard Walton, menyampaikan kekhawatirannya bahwa beberapa remaja Inggris berusia muda, yaitu Shamima Begum, berusia 15 tahun, Kadiza Sultana, 16 tahun, dan seorang lainnya (anonym) umur 15 tahun, seluruhnya adalah murid sekolah Bethnal Green Academy, terbang menuju Turki dari bandara Gatwick, London, untuk selanjutnya terbang ke Suriah. Lalu, pihak Kepolisian mendeteksi mereka melakukan komunikasi dengan salah seorang perempuan Inggris yang berada di Suriah Aqsa Mahmood melalui media sosial, yang sudah bergabung dengan ISIS sejak 2013.
Bagaimana dengan Kelompok Muda Indonesia Sekarang?
Pada masa pemulihan pandemi COVID-19, tepatnya pada tanggal 7 Desember 2022, Bandung diguncang teror bom bunuh diri di Markas Kepolisian Sektor Astanaanyar, Bandung. Pelaku dipastikan adalah mantan narapidana terorisme, Agus Sudjadno, yang dulu pernah ditangkap pada tahun 2017 terkait kasus terorisme bom panci. Menjadi narapidana terorisme lalu, sudah bebas, belum menjamin yang bersangkutan tidak kembali kepada kelompoknya untuk melakukan serangan teror. Agus sendiri masih terafiliasi dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bandung atau Jawa Barat.
Kejadian tersebut mengindikasikan bahwa potensi serangan berbasis ekstremisme kekerasan mengarah terorisme masih besar dan siapa pun bisa menjadi korban dan pelaku. Walau demikian, sudah terdapat indikasi berkurangnya aksi. Akan tetapi, kewaspadaan masih harus menjadi prioritas karena aksi seperti ini layaknya bom waktu, menunggu situasi dan waktu yang tepat untuk dieksekusi. Sementara itu, gurita penyebaran ideologi radikalisme yang semakin masif lewat media sosial semakin sulit dibendung, terutama untuk penerimanya, yaitu kelompok muda serta perempuan. Hal ini diperkuat riset I-Khub Outlook BNPT RI tahun 2023, bahwa terdapat kelompok rentan target radikalisasi, yaitu perempuan, remaja, khususnya Gen Z umur 11-26 tahun dan aktif di internet.
Khususnya, kelompok muda ini pernah disinyalir oleh peneliti di PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai mereka yang membatasi hidup dalam kelompoknya saja, menghindari bergaul dengan kelompok berbeda, menolak kesetaraan gender, mau menerima demokrasi tetapi lebih karena ketaatan kepada pemerintah. Selain itu, hasil survey PPIM juga pernah mengungkapkan bahwa 30 persen mahasiswa berada dalam kategori toleransi rendah, terlihat dari penolakan mereka terhadap hak-hak kebebasan sipil, seperti mendirikan rumah ibadah, keberatan mendirikan sekolah agama lain, dan menolak pejabat yang berbeda agama.
Pentingnya Narasi Pencegahan Alternatif
Dalam konteks ini, sebenarnya Negara, melalui Presiden RI Joko Widodo, telah menandatangani Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Tahun 2020-2024. Lebih jauh lagi, pelaksanaan RAN PE ini meningkatkan komitmen pemerintah di daerah untuk menyusun Rancangan Aksi Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang Mengarah kepada Terorisme (RAD PE) di 9 provinsi dan 8 kabupaten/kota. Harapannya adalah bagaimana Negara dan Daerah dapat berkomitmen dengan seluruh praktik baiknya untuk menciptakan kondisi nol serangan teroris atau zero terrorist attack.
Selain itu, keberadaan RAN PE mengindikasikan signifikansi peran masyarakat yang dapat dilihat dari kegiatan komunitas atau jaringan yang terutama melibatkan kelompok muda. Ini merupakan bentuk narasi pencegahan alternatif melawan narasi radikalisme yang terus berkembang dan menciptakan penguatan sel-sel kelompok radikalisme dan terorisme. Praktik-praktik baik yang dilaksanakan masyarakat akan memungkinkan mendapatkan rekognisi dari pemerintah daerah dan nasional, terutama dengan keberadaan RAN PE.
Keterlibatan masyarakat untuk mengangkat praktik-praktik baik tersebut memiliki target kelompok masyarakat yang perlu diajak untuk berpartisipasi. Kelompok muda merupakan target potensial yang dapat dipengaruhi narasi radikalisme, namun dapat menjadi kelompok yang menyuarakan perdamaian antar kelompok yang berbeda. Dengan melihat keberagaman di Indonesia, prinsip toleransi dan mengembangkan empati terhadap pengalaman-pengalaman yang dialami kelompok beragama yang berbeda menjadi penting sebagai salah satu upaya menggerus radikalisme. Seperti yang dilakukan oleh komunitas Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) Bandung, yang mengkhususkan pemberdayaan kelompok muda lintas agama untuk menyemai toleransi, menerima perbedaan, dan melakukan upaya-upaya bersama kelompok yang berbeda untuk membumikan perdamaian.
Untuk menjembatani perbedaan tersebut, SEKODI Bandung hadir dengan kelas-kelas gratis yang melibatkan diskusi setiap hari Sabtu dengan topik-topik agama dan konflik, gender dan seksualitas, literasi media, dan politik dan demokrasi. Telah berjalan sejak 2018, kegiatan SEKODI Bandung didukung oleh akademisi, aktivis, tokoh-tokoh perdamaian dan lintas agama yang menjadi bagian narasumber di kelas-kelas mingguan. Hadirnya SEKODI Bandung diharapkan menjadi suatu alternatif untuk narasi pencegahan radikalisme dan ekstremisme kekerasan mengarah kepada terorisme yang dapat memberdayakan kelompok muda.