Keragaman suku, agama, ras, dan antargolongan di Indonesia rawan memicu konflik dan disintegrasi bangsa jika toleransi dan saling pengertian antar kelompok masyarakat tidak dibangun dengan baik. Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat peningkatan aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Wakil Direktur Direktorat Sosial Budaya Baintelkam Polri Puluhan kasus intoleransi terjadi di Indonesia sejak 2019-2023. Dari data yang dipaparkan, terjadi 7 kasus intoleransi di 2019, 14 kasus di 2020, 11 kasus di 2021, dan 3 kasus di 2022. Pada 2023, kasus intoleransinya cukup tinggi hampir setengahnya ada 30 kasus.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA) selama satu dasawarsa, yaitu dari tahun 2011 hingga 2021, terdapat setidaknya 6 kasus intoleransi yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Dari hasil studi yang dilakukan oleh ELSA, ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan Provinsi Jawa Tengah menjadi rawan intoleransi, yaitu: pertama, perbedaan agama dan kepercayaan, Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki beragam agama dan kepercayaan, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Perbedaan agama dan kepercayaan ini dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya intoleransi. kedua, Pengaruh media sosial, Media sosial dapat menjadi sarana penyebaran kebencian dan intoleransi. Ketiga, kurangnya pemahaman tentang toleransi beragama. Masih banyak masyarakat yang belum memahami pentingnya toleransi beragama.
Salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang majemuk dan rawan intoleransi adalah Kabupaten Boyolali. Menurut data BPS 2020, jumlah penduduk di Kabupaten Boyolali menganut beberapa agama yakni penganut agama islam 1.015.209 jiwa, kristen 16.148 jiwa, katolik 7.889 jiwa, hindu 4330 jiwa, Budha: 9.256 jiwa. Kondisi masyarakat Boyolali yang heterogen ini berisiko menimbulkan konflik sosial dan agama jika toleransi antar kelompok tidak dibangun secara intensif.
Oleh karena itu, upaya membangun toleransi dan kerukunan antar umat beragama sangat dibutuhkan di berbagai wilayah Kabupaten Boyolali. Salah satu desa di Boyolali yang unik untuk dipelajari adalah Desa Cluntang, Kecamatan Musuk. Desa ini terletak di lereng gunung Merapi yang berjarak kurang lebih 4,5 km dari puncak Gunung Merapi dan berada pada ketinggian 1020 mdpl dari permukaan laut. Desa seluas 402.1941 Ha ini merupakan desa pertanian dengan sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani. Berdasarkan data profil Desa Cluntang tahun 2020, terdapat 2951 kepala keluarga (KK). Desa Cluntang relatif aman dari konflik agama dan intoleransi. Hal ini tidak terlepas dari budaya lokal yang membangun toleransi seperti tradisi sadranan.
Budaya Sadranan di Desa Cluntang
Sadranan merupakan tradisi tahunan warga Desa Cluntang berkaitan dengan ritual ziarah ke makam leluhur dan tokoh agama setempat. Sadranan biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan dan diawali dengan membersihkan makam serta menabur bunga. Ritual sadranan melibatkan semua warga desa tanpa memandang perbedaan agama dan suku. Perempuan memiliki peran penting dalam mempersiapkan sesaji, memasak makanan, hingga membersihkan makam. Melalui keterlibatan bersama inilah terbangun interaksi dan komunikasi lintas agama secara intensif.
Tradisi sadranan di Desa Cluntang sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Menurut Suranto (60) Tokoh adat dari Desa Cluntang, sadranan sudah ada sejak dia masih kecil dan masih berlangsung secara turun temurun hingga saat ini. Ritual sadranan dilaksanakan untuk menghormati leluhur dan mempererat silaturahmi antar warga. Hingga kini, tradisi tersebut masih dilestarikan dan diikuti semua warga Desa Cluntang. Bagi warga setempat, sadranan bukan sekadar ritual keagamaan, tapi momen penting untuk berkumpul bersama tanpa memandang latar belakang. Interaksi sosial dalam sadranan berperan dalam memelihara kerukunan umat beragama di Desa Cluntang.
Peran Penting Perempuan dalam Melestarikan Budaya Sadranan
Perempuan memiliki peran yang sangat vital dalam melestarikan tradisi sadranan di Desa Cluntang dari generasi ke generasi. Tanpa dedikasi dan ketekunan para perempuan, tradisi luhur warisan leluhur ini mungkin sudah punah ditelan perubahan zaman. Perempuan-perempuan Desa Cluntang, sejak dahulu hingga kini, secara konsisten dan penuh tanggung jawab mengambil peran penting dalam setiap ritual sadranan. Mereka bekerja bak pahlawan lokal yang rela berkorban demi menjaga tradisi leluhur demi kebaikan bersama.
Sejak persiapan hingga pelaksanaan sadranan, para perempuan bekerja dengan penuh dedikasi. Mereka membersihkan rumah dan halaman, memasak beraneka makanan ritual, dan menyiapkan “ubo rampe” yang diperlukan. Saat pelaksanaan sadranan, mereka ikut bersih-bersih makam, berdoa khusyuk, hingga membagikan makanan untuk semua peserta. Para perempuan tua Desa Cluntang juga berperan dengan mendidik generasi muda perempuan dan laki-laki untuk meneruskan tradisi mulia ini.
Mereka secara sabar mentransmisikan nilai-nilai luhur sadranan dan memastikan anak cucu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari demi kebaikan bersama. Berkat dedikasi para perempuan di desa ini, nilai-nilai toleransi, kerukunan, dan kebersamaan dalam tradisi sadranan masih terpelihara dengan baik di tengah masyarakat Desa Cluntang. Mereka adalah teladan bagaimana perempuan dapat berkontribusi nyata dalam membangun perdamaian.
Peran Perempuan dalam Budaya Sadranan untuk Pencegahan Intoleransi dan Ekstremisme
Budaya sadranan yang dilestarikan oleh perempuan Desa Cluntang secara efektif berperan dalam mencegah tumbuhnya intoleransi dan radikalisme di tengah masyarakat. Pertama, ritual sadranan yang melibatkan semua warga lintas agama sehingga secara langsung menanamkan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan menghargai perbedaan. Interaksi positif yang terbangun dalam ritual ini mencegah munculnya prasangka dan kebencian terhadap kelompok lain. Kedua, gotong royong dan kerja bakti perempuan dari beragam latar belakang dalam sadranan menumbuhkan solidaritas sosial yang kuat. Ikatan persaudaraan yang terjalin melalui ritual bersama ini mencegah munculnya konflik dan disintegrasi sosial.
Ketiga, perempuan memiliki peran kunci dalam mentransmisikan nilai-nilai perdamaian dan anti kekerasan kepada generasi muda melalui tradisi sadranan. Hal ini penting untuk memutus rantai kebencian dan mencegah tumbuhnya paham radikal di kalangan pemuda desa. Keempat, kepemimpinan perempuan dalam melestarikan budaya lokal yang inklusif dapat menginspirasi upaya-upaya serupa di daerah lain. Pengalaman Desa Cluntang membuktikan bahwa memberdayakan perempuan berarti membangun fondasi kokoh bagi perdamaian dan toleransi dalam masyarakat.
Refleksi SPEK-HAM terhadap Peran Perempuan dalam Sadranan
Sebagai lembaga yang concern terhadap pemberdayaan perempuan, SPEK-HAM memberikan apresiasi yang tinggi atas inisiatif perempuan Desa Cluntang dalam melestarikan tradisi sadranan. SPEK-HAM menilai bahwa upaya para perempuan setempat dalam menjaga ritual sadranan secara turun temurun telah secara signifikan berkontribusi dalam memperkuat toleransi, menjaga kerukunan, dan mencegah benih-benih radikalisme di Desa Cluntang.
Selama ini SPEK-HAM memberdayakan perempuan Desa Cluntang melalui program pertanian, peternakan, UMKM, dan koperasi syariah. Namun SPEK-HAM menyadari, upaya pemberdayaan ekonomi saja tidak cukup tanpa diiringi penguatan toleransi dan moderasi melalui budaya lokal seperti sadranan. Oleh karena itu, ke depannya SPEK-HAM berkomitmen untuk terus mendukung dan memfasilitasi inisiatif-inisiatif perempuan Desa Cluntang dalam melestarikan tradisi-tradisi lokal seperti sadranan.
SPEK-HAM yakin bahwa memperkuat budaya lokal yang inklusif adalah fondasi penting bagi upaya pencegahan intoleransi dan radikalisme di akar rumput. SPEK-HAM juga akan mengadvokasi pengalaman positif Desa Cluntang kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terkait. Sehingga program serupa dapat didukung dan direplikasi di desa-desa lain demi memperkuat peran strategis perempuan dan budaya lokal dalam pencegahan radikalisme di Indonesia.
Peran Vital Perempuan dalam Melestarikan Tradisi Sadranan
Budaya sadranan yang dilestarikan oleh Desa Cluntang secara turun-temurun merupakan teladan luar biasa dalam membangun pondasi kokoh bagi toleransi dan kerukunan antar umat beragama di tingkat akar rumput. Ritual tahunan yang melibatkan seluruh warga lintas agama ini efektif menanamkan nilai-nilai persatuan, saling menghargai perbedaan, dan solidaritas social. Peran aktif perempuan dalam mempersiapkan, melaksanakan, serta mengedukasi generasi penerus terkait makna filosofis sadranan patut diapresiasi.
Dedikasi dan ketekunan mereka dalam melestarikan tradisi leluhur ini berkontribusi nyata dalam mencegah benih-benih intoleransi, radikalisme, dan konflik horizontal di tengah masyarakat Desa Cluntang yang majemuk. Pengalaman positif ini penting untuk diteladani dan direplikasi di daerah lain. Pemerintah dan elemen masyarakat sipil seperti NGO perlu mendukung dan memfasilitasi upaya-upaya pelestarian tradisi lokal oleh perempuan yang bermuatan memperkuat toleransi dan kerukunan. Dengan demikian, keberagaman yang kita miliki akan menjadi kekuatan bangsa.