It takes courage to disrupt harassment while it’s happening. And takes agency and voice, and agency and voice is what all girls and women around the world are entitled to. – Ashley Judd – founder MeToo
Dibutuhkan keberanian untuk menghentikan pelecehan yang sedang terjadi. Dan keberanian untuk tidak mengabaikan hal yang terjadi, lalu menyuarakannya; seharusnya disadari sebagai hak semua anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia.
Seruan #MeToo movement’s dengan tokoh pencetusnya aktris Ashley Judd, yang berbicara tentang hak perempuan mengendalikan ketubuhannya dan merdeka dari kekerasan lelaki, serupa dengan hal yang seharusnya diimplikasikan pada isu perempuan dan terorisme.
Karena disadari bahwa isu terorisme belum mendapatkan perhatian yang cukup memadai, terutama oleh pemerintah. Beberapa lembaga mulai menyadari dan memberi dorongan dan dukungan untuk memperjuangkan lebih banyak keterlibatan perempuan dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan (P/CVE).
Terkait hal tersebut maka Konferensi Nasional Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (WGWC): Perempuan, Agensi, dan Pemberdayaan dalam Melawan Ekstremisme Kekerasan diselenggarakan di Purwakarta, Senin, 6 Mei 2024 lalu. Dr. H. Mohammed Rycko Amelza Dahniel, M.Si., sebagai Kepala BNPT dalam rekaman yang ditayangkan pada Konferensi tersebut memaparkan temuan yang cukup meresahkan dan perlu pemikiran lebih lanjut. Perempuan yang dahulu dianggap hanya ikut-ikut saja ternyata kini perannya telah mengalami pergeseran. Dari di belakang layar, berubah menjadi pelaku aktif yang ikut melakukan penyerangan.
Kekhawatiran itu tentu bukan tanpa alasan. Berdasarkan The Global Terrorism Index 2024 yang dikeluarkan Institute for Economics and Peace (IEP), saat ini Indonesia berada di peringkat ke-31 atau naik tujuh peringkat dibandingkan indeks sebelumnya; dan berdasarkan data BNPT, saat ini terdapat 60 perempuan yang terlibat dalam terorisme dan selama 2000 — 2023 tercatat 65 putusan pengadilan dengan terpidana perempuan yang terlibat terorisme.
Lalu, Mengapa Perempuan Menjadi Subyek yang Patut Diperhatikan?
Salah satunya karena keterlibatan perempuan menjadi tren terbaru aksi teror ISIS, di mana diposisikan peran taktis dan operasional, seperti pelaku bom bunuh diri, martir penyerangan, perekrut dan donatur. Masalahnya, perbincangan terkait perempuan dan terorisme masih terpaku posisi perempuan sebagai pelaku atau korban, dibanding membahas tipe khas dan identifikasi risiko secara proporsional. Tidak heran, karena dalam kenyataannya penghakiman dan asumsi publik terhadap pelaku terorisme perempuan bersifat irasional. Seringkali dianggap tak mungkin karena (seolah) melanggar sifat keibuan yang dikonstruksikan sebagai sosok welas asih.
Padahal kemunculan agensi perempuan dalam aktivitas terorisme ditenggarai punya latar belakang pengalaman penindasan, viktimisasi, manipulasi dan mistifikasi yang mendahului. Sehingga karakter dan nilai motherhood yang distigmakan kepada tiap perempuan pelaku terorisme tak bisa disamaratakan satu sama lain. Dalam FGD Group 2 Konferensi Nasional tersebut, yang mengangkat “Are We Strong Enough? Akar-Akar Agensi Perempuan Melawan Ekstremisme”, terungkap bahwa kini, di masa sekarang, selain mencemaskan sebagai pelaku ekstremisme, sebaliknya perempuan berpotensi sebagai agen perdamaian.
Melihat kondisi tersebut, keterlibatan perempuan dalam upaya pencegahan menjadi sangat relevan. Langkah-langkah pencegahan dikatakan perlu mengutamakan prinsip toleransi, inklusi, dan kesetaraan gender, seperti memberikan pemahaman yang lebih baik melalui pendidikan dan memberikan ruang partisipasi bagi perempuan. Berdasarkan pengalaman baik yang dilakukan oleh AMAN Indonesia dan Yayasan Empatiku, perempuan ternyata juga memiliki peran penting dalam reintegrasi sosial dan pemulihan korban. Dalam reintegrasi sosial misalnya, terjadi pemenuhan hak dasar serta perlunya kesiapan masyarakat dalam mencegah mantan narapidana teroris atau deportan berpindah-pindah.
Salah satu inisiatif utama yang dilakukan Yayasan Empatiku adalah memperkenalkan Sistem Deteksi Dini, dengan melibatkan berbagai pihak terkait seperti kelurahan dan yayasan, yang baru bisa dilakukan dengan adanya payung hukum di berbagai tingkatan wilayah. Sistem deteksi dini bisa menerapkan pendekatan yang terstruktur dan efisien dengan fokus pada empat pilar, yaitu edukasi masyarakat, menentukan aktor kunci, memahami kondisi wilayah dan melakukan dialog.
Dengan proses reintegrasi sosial dan sistem deteksi dini, perempuan menjadi krusial posisinya dalam memegang peran kunci. Yaitu sebagai agen propaganda dalam mempromosikan pemahaman tentang isu tersebut di masyarakat. Lalu tentu mampu terlibat langsung dalam berbagai hal terkait advokasi kebijakan. Lebih lanjut lagi, perempuan yang menjadi agensi ini memiliki ciri khas yang mencakup otonomi individu perempuan serta kemampuan untuk berkontribusi pada masyarakat secara luas. Pun punya komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kontrol terhadap kebijakan tertentu.
Namun, tentu saja tantangan-tantangan yang dihadapi agensi perempuan tidak sedikit, termasuk kurangnya infrastruktur yang memadai, akses terbatas terhadap pendidikan, dan kurangnya pengakuan terhadap peran perempuan dalam masyarakat. Yang kini perlu dipikirkan adalah langkah-langkah penting untuk memperkuat agensi perempuan. Diantaranya, memperkuat kepemimpinan, memastikan representasi perempuan merata di berbagai lini, menerapkan pendekatan Peace Building, menjalin kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan dan melanjutkan upaya pemulihan korban.
Hal ini menjadi penting untuk tahap selanjutnya. Ketika perempuan terus memperjuangkan pemutusan budaya patriarki, mengevaluasi ulang peran mereka dalam ranah domestik dan publik, serta memastikan tidak adanya beban ganda dalam tanggung jawab mereka, sambil memberikan perhatian pada pemulihan korban yang membutuhkan dukungan. Jadi, bila tetap saja ada keraguan banyak pihak tentang mengapa Perempuan menjadi penting dalam isu ektremisme kekerasan, termasuk pencegahannya; pernyataan Dwi Rubiyanti Kholifah atau Ruby Kholifah, Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN), Country Representative of AMAN Indonesia bisa menjadi catatan kita bersama.
Ruby memaparkan, dokumen ASEAN terkait Women, Peace and Security Regional Plan of Action tak lagi bisa kerangka penanganan ekstrimisme kekerasan dipakai atau terkungkung hanya untuk persoalan arm conflict. Karena persoalan security sudah meluas, ke banyak hal. Tak hanya violence extremism, tapi juga climate change. Ruby menuturkan, di beberapa negara yang mengeksploitasi sumber daya alam berlebihan, para teroris ini bahkan menyasar para perempuan Human Rights Defender yang bicara di mana-mana tentang sumber daya alam dan terorisme itu. Sementara, para teroris ini tak mau kehilangan sumber daya yang mereka kuasai, sebagai ‘sumber’ pendanaan aktivitas mereka.
Belum lagi temuan tentang korbannya adalah perempuan eks dari combatant mereka sendiri. Jadi, kini bahkan sesama anggota kelompok teroris pun, para perempuan ini juga mengalami kekerasan seksual yang berlebihan. Situasi yang demikian kompleks akhirnya mendorong WGWC dan lembaga terkait terus mengupayakan pendidikan terhadap para perempuan seperti kontra radikalisasi dan deradikalisasi yang melibatkan komunitas agama moderat, seperti NU, untuk menyebarkan dakwah yang toleran dan mendorong sikap inklusif terhadap masalah sosial.
Tentu saja upaya tersebut disertai harapan, agar komitmen para agensi perempuan ini terhadap kebangsaan, kepemilikan sikap toleransi, sikap asertif menolak kekerasan, dan bisa membuka diri terhadap tradisi yang beragam, menjadi lebih dikuatkan. Sudah saatnya kita sepakat dengan pernyataan Maya Angelou.
Each time a woman stands up for herself, without knowing it possibly, without claiming it, she stands up for all women.”
Hanya perempuan yang bisa menjadi agen perdamaian terhadap ekstremisme kekerasan, termasuk mengedukasi para pelaku perempuan dan keluarganya.